Citizen Reporter
Annisa Muslimah
Mahasiswa Komunikasi UMI Makassar
Melaporkan dari Makassar
Sosok perempuan saat ini, tidak dapat diragukan dengan sebuah kata ketangguhan. Ketangguhan yang tak pernah padam dengan arti sebuah perjuangan. Perjuangan untuk berjuang menghadapi pahit getirnya hidup yang silih berganti menghadang tak pernah lelah.
Semangat dan tekad yang kuat untuk menghadapinya, dengan sebuah tekad bahwa kita pasti bisa. Karena kita yakin Allah SWT tak pernah meremehkan perjuangan hambanya yang selalu berusaha dan berdoa.
Sosok perempuan inspiratif yang memberi sebuah pembelajaran hidup itu adalah Hj Baya yang berusia 80 tahun. Untuk mengcukupi segala kebutuhan hidupnya ia harus berjualan es cendol di dekat Balang Tonjong Jl Perumnas Antang Kecamatan Manggala Makassar.
Hj Baya mengungkapkan bahwa ia berjualan es cendol sudah hampir 20 tahun. Dialah orang yang pertama kali berjualan di tempat itu. Dimana tempat itu masih banyak alang-alang, rumput liar, teratai eceng gondok dan jalanannya yang masih rusak.
Hj Baya tinggal bersama suaminya yang berusia 60 tahun. Sang suami inilah yang menemaninya berjualan, membantu melancarkan usahanya, mengangkat kursi dan meja jualannya. Serta sang suami selalu setia menemani baik suka maupun duka.
Tempat jualannya yang sederhana terbuat dari kayu, terkadang apabila turun hujan maka percikan air hujan membasahi meja dan kursi jualan. Jarak rumah tidak jauh dari tempat jualan sekitar 10 menit.
Suami Hj Baya bekerja sebagai buruh. Pekerjaannya itu juga tidak menentu kalau ada yang menawari baru ia bekerja sebagai seorang buruh. Penghasilan pun tidak tetap. Upah yang dihasilkan Rp 700.000 per minggu.
Hj Baya memiliki 4 orang anak. Dimana semua anaknya sudah berkeluarga dan ada yang merantau sehingga ia tinggal hanya bersama suami. Rumah yang ia tempatipun begitu sederhana dan masih dikontrak. Karena belum punya uang untuk membeli rumah yang harganya begitu mahal.
Sebenarnya ia bukan orang Makassar melainkan orang Maros. Ia memiliki rumah di daerah Pakkatto, tetapi disana suasananya sepi tidak bisa berjualan sehingga ia memutuskan untuk ke Makassar.
Es cendol yang dijual harganya Rp 6,000 per gelas. Di usianya sudah tua apalagi sakit rematik yang diderita sehingga 3 tahun terakhir ini tidak sanggup lagi membuat sendiri adonan cendol. Jangung rebuspun sudah tidak dijuanya lagi. Hanya gula dan santan yang ia racik sendiri untuk bahan pembuatan cendol di rumah.
Ia harus membeli cendol di pasar Terong seharga Rp 40,000 belum lagi ongkos angkutan umum untuk ke Pasar Terong dan pulang ke rumah Rp 10,000. Ongkos ojek untuk masuk dan keluar di Pasar Terong Rp 10,000 serta gula merah dan kelapa santan.
Saat inipun es cendol yang dibuatnya tidak banyak. Pendapatan yang diperoleh tidak menentu. Pendapatan yang paling tinggi berkisar Rp 100,000. terkadangpun tidak ada yang terjual. Hj Baya mengatakan bahwa 100,000 pun itu hanya sebagai pembeli modal untuk membeli bahan cendol lagi.
Tetapi dari keadaan itu Hj Baya tidak putus asa dan tetap semangat dengan wajah dan senyuman yang tulus mengungkapkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjuangan. Walaupun persaingan penjual cendol dan es buah sudah banyak ia tetap optimis bahwa rezeki itu Allah SWT yang mengatur.
Kita sebagai manusia hanya berusaha semampu kita dan berdoa. Karena yang terpenting dalam hidup ini bukan banyaknya, melainkan berkahnya. Walaupun sedikit yang didapatkan dari usaha kita, yang terpenting itu adalah keberkahannya, katanya.