Penting, Revisi UU ITE Mulai Berlaku 28 November Esok

  • Whatsapp

JAKARTA, beritalima.com  – Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mulai berlaku pada Senin, 28 November 2016. Hal ini menuntut masyarakat agar lebih berhati-hati di ranah media sosial.

Di dalam UU ITE itu dijelaskan bahwa masyarakat dilarang membuat dan menyebarkan informasi yang bersifat tuduhan, fitnah, maupun SARA yang mengundang kebencian.

“Yang bisa dijerat bukan hanya yang membuat, tapi justru juga yang mendistribusikan dan mentransmisikannya. Jangan mudah menyebar informasi yang bisa menimbulkan kebencian terhadap kelompok tertentu,” kata Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Hukum Henry Subiakto di Jakarta, Sabtu (26/11).

Henry yang juga merupakan ketua panitia kerja pemerintah dalam penyusunan revisi UU ITE ini menjelaskan poin-poin penting dalam peraturan itu. Dalam Pasal “karet” 27 terdapat pengurangan hukuman pidana untuk kasus pencemaran nama baik dari enam tahun menjadi empat tahun penjara.

Kemudian dalam Pasal 29 tentang pengancaman dengan kekerasan, semula berlaku hukuman 11 tahun, kini juga hanya empat tahun. Aturan ini membuat tersangka baru bisa ditahan setelah keputusan pengadilan inkrah. Henry meyakini, adanya aturan ini tidak akan ada kasus serupa Prita Mulya Sari.Dalam Pasal 27 ayat 3, juga dijelaskan bahwa tuduhan itu harus ditujukan kepada personal baru dapat ditindak.

“Unsur orang, bukan kita seperti kasus Florence yang menghina Yogyakarta,” kata Henry.

Henry juga menyatakan pemerintah memasukkan konsep baru yang diadopsi dari negara Eropa di dalam Pasal 26, yaitu hak untuk dihapuskan informasi di dunia maya yang sudah tidak relevan lagi.Pemerintah, kata Henry, saat ini juga memiliki hak untuk memblokir situs-situs yang melanggar UU ITE.”Sekarang berarti informasi, berita abal-abal bisa dicegah,” ujar Henry.

Di sisi lain, Henry pun menegaskan bahwa revisi UU ITE ini sifatnya bukan untuk melarang orang berpendapat maupun mengkritisi di media sosial. Sekadar diketahui, revisi UU ITE telah disahkan oleh DPR pada 27 Oktober kemarin. Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet) Damar Juniarto mengaku sangat kecewa terhadap pengesahan ini.”Kecewa saya,” ujar Damar.

“Jokowi adalah presiden yang punya visi ke depan karena memperhatikan dunia digital. Namun reformasi hukum UU ITE ini masih minimalis,”.

Ia merasa revisi UU ITE yang terbit hari ini berpotensi mengancam kebebasan berekspresi masyarakat Indonesia di ranah digital. Menurutnya, aturan tersebut bisa jadi ganjalan dalam pelaksanaan demokrasi ke depan dengan lebih banyak orang dipenjarakan karena ekspresinya diberangus dengan alasan pencemaran nama, penodaan agama, dan pengancaman. Sementara itu, Terdapat 7 muatan materi pokok RUU, Revisi UU ITE yang diharapkan mampu menjawab dinamika yang berkembang ditengah masyarakat.Rincian 7 muatan materi tersebut adalah:

1. Menambahkan sejumlah penjelasan untuk menghindari multi tafsir terhadap ketentuan penghinaan/pencemaran nama baik pada Pasal 27 ayat 3.

2. Menurunkan ancaman pidana pencemaran nama baik, dari paling lama 6 tahun menjadi 4 tahun, dan denda dari Rp 1 miliar menjadi Rp 750 juta.

Selain itu juga menurunkan ancama pidana kekerasan Pasal 29, sebelumnya paling lama 12 tahun, diubah menjadi 4 tahun dan denda Rp 2 miliar menjadi Rp 750 juta.

3. Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi atas Pasal 31 ayat 4 yang amanatkan pengaturan cara intersepsi ke dalam UU, serta menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat 1 dan 2 mengenai informasi elektronik sebagai alat bukti hukum.

4. Sinkronisasi hukum acara penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan dengan hukum acara dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

5. Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) UU ITE untuk memutuskan akses terkait tindak pidana TIK.

6. Menambahkan Right to be Forgotten, yaitu kewajiban menghapus konten yang tidak relevan bagi penyelenggara sistem elektronik. Pelaksanaannya dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

7. Memperkuat peran pemerintah untuk mencegah penyebarluasan konten negatif di internet, dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40.

Kewenangan tersebut berupa kewajiban untuk mencegah penyebarluasan informasi elektronik yang memiliki muatan terlarang, dan kewenangan memutus akses atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk memutus akses terhadap informasi elektronik yang melanggar hukum. ***

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *