Penulis: Dian Novita Susanto (Ketua Umum Perempuan Tani HKTI)
Presiden Joko Widodo, dalam dokumen Nawacita telah menjadikan kedaulatan pangan sebaagi salah satu program prioritas. Anggaran Kementerian Pertanian pun naik berkali-kali lipat bahkan yang tertinggi sepanjang sejarah Republik ini. Berturut-turut 2014 (14,23 Triliun), 2015 (32,72 Triliun), 2016 (27,72 Triliun) 2017 (24,22 Triliun), 2018 (24,03 Triliun), 2019 (21,71 Triliun).
Periode kedua, Jokowi masih tetap menempatkan sektor pertanian menjadi prioritas, terutama komoditas pangan yang masih diimpor dalam jumlah besar seperti jagung, kedelai, dan beras (untuk beras tahun 2020 tidak terjadi impor) dan komoditas lainnya yang jumlah impornya masih jutaan. Alokasi APBN pun untuk sektor ini masih cukup besar 2020 (21,05), dan 2021 (15,51 Triliun).
Dalam Rakernas Pembangunan Pertanian 2021 pada 11 Januari, Joko Widodo kembali mengingatkan para Menteri terkait, utamanya Kementan untuk terus berkordinasi dan mengambil kebijakan-kebijakan yang tepat untuk menjadikan Indonesia berdaulat pangan bahkan menjadi pemain pangan dunia. Terkhusus beras Jokowi meminta agar keberhasilan tahun 2020 yang tidak ada impor beras untuk dipertahankan.
Namun awal Maret 2021, publik terutama petani dikagetkan dengan rencana pemerintah Indonesia yang akan mengimpor beras yang jumlahnya sampai 1 juta ton. Padahal Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi beras periode Januari-April 2021 cukup tinggi, diangka 14,54 juta ton artinya meningkat 26,84 persen dibandingkan produksi beras periode yang sama tahun 2020 yang hanya 11,46 juta ton. BPS juga menghitung panen raya dibulan yang sama ± 4,8 juta ton beras.
Dengan cepat rencana kebijakan tersebut mendapatkan reaksi dari petani, akademisi dan praktisi pertanian, dan berbagai organisasi non pemerintah yang fokus pada pertanian menyuarakan penolakannya. Argumentasi mereka didasarkan pada waktu panen raya yang sudah mulai dan puncaknya April dan berdampak pada harga gabah dilapangan sebab tidak semua gabah petani terserap oleh Bulog. Jelas impor ini akan merugikan petani.
Masih Tergantung Impor
Dalam sejarah pemerintahan Indonesia, komoditas beras menjadi prioritas utama. Dalam hal ini, strategi kebijakan beras Indonesia berfokus pada upaya meningkatkan produksi dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat.
Beras tidak hanya komoditas strategis dalam arti pembangunan nasional karena sebagai bahan pangan utama yang harus tersedia dalam jumlah banyak dan sumber pendapatan serta lapangan kerja khususnya di pedesaan. Namun beras di Indonesia sudah menjadi komoditas politik yang berdimensi kompleks.
Meskipun kontribusi pertanian di masa pandemic Covid-19 ini tumbuh positif dan berkontribusi pada ekonomi nasional, impor beras yang kemungkinan besar akan dilakukan pada 2021. Jika Kembali kebelakang, memang pemerintahan Jokowi tercatat melakukan beberapa kali kebijakan impor beras, tahun 2015 mengimpor 861 ribu ton, tahun 2016 meningkat menjadi 1.28 juta ton, tahun 2017 mengimpor 305 ribu ton, dan puncaknya di tahun 2018 2,25 juta ton, tahun 2019 mengimpor 444 ribu ton, turun drastis sekitar 80,3 persen dari tahun sebelumnya. Praktis Indonesia hanya berhenti mengimpor tahun 2020.
Kebijakan impor beras di Indonesia melibatkan sejumlah lembaga atau kementerian terkait, antara lain: Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Badan Usaha Logistik (Bulog), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Kebijakan impor beras pada masa pemerintahan Joko Widodo diwarnai pro dan kontra antara lembaga-lembaga tersebut. Masing-masing memiliki perbedaan data yang saling kontra produktif sehingga menjadi polemik berkepanjangan terkait impor beras.
Kebijakan impor beras juga terkadang menimbulkan pro dan kontra antar sejumlah lembaga terkait, mengindikasikan secara kuat bahwa kebijakan impor beras tidak didukung pada analisis data yang akurat melalui kajian akademik. Sebaliknya, kebijakan impor beras lebih bersifat politik terkait pertarungan kepentingan antar kelompok atau aktor yang terlibat yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Bulog, DPR dan BPS. Asumsi dasar bahwa kebijakan impor beras dinilai sebagai kompetisi aktor untuk memenangkan kepentingannya. Asumsi dasar ini didasarkan pada perbedaan ketersediaan beras yang berbeda antar instansi terkait.
Dalam menganalisis kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah maka poin utama yang menjadi perhatian adalah proses pengambilan kebijakan itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam tiap pengambilan kebijakan suatu negara terdapat pertarungan antara kelompok-kelompok kepentingan baik dalam pemerintahan maupun yang bertindak sebagai kelompok penekan. Pemerintah dalam hal ini, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Badan Usaha Logistik (Bulog), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi representasi kepentingan nasional. Di sisi lain ada asosiasi petani beras yang mewakili kepentingan mereka masing-masing. Dengan demikian, kompleksnya hubungan dan kepentingan tentunya menciptakan pro dan kontra dalam kebijakan impor beras. Terlebih lagi, tidak ada adanya sinkronisasi antara data.
Pentingnya Keterbukaan Data
Penting bagi stakeholder terkait, melalui Kemenko Perekonomian mengkordinasikan persoalan ini dengan Kementan, Kemendag, Bulog, BPS termasuk DPR RI dengan duduk bersama dan membuka data ril produksi, cadangan beras, kebutuhan dan harga.
Transparnasi diperlukan agar tidak ada kebijakan impor yang salah. Artinya impor hanya dilakukan manakala cadangan tidak mencukupi dan sekali lagi tidak dilakukan saat sedang panen raya. Jadi pemerintah perlu berhati-hati sebelum memutuskan impor karena petani akan sangat terkena dampaknya. Kalaupun cadangan beras pemerintah dan atau bulog dirasa tidak cukup, dibulan September bisa dilakukan karena biasanya produksi mulai menurun.
Dan jika ternyata stok cukup, kebijakan impor untuk apa dan siapa? Karena sangat bertolak belakang dengan semangat Presiden Joko Widodo yang menyerukan harus berdaulat pangan dan mensejahterakan petani.