Oleh: Asmu’i Syarkowi
Selama ini telah terjadi polemik mengenai ketentuan minimal usia perkawinan. Banyak yang bilang, bahwa ketentuan usia minimal untuk melakakukan perkawinan dalam UU Perkawinan perlu diubah. Ketentuan usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan sangat tidak relevan bagi perkembangan zaman. Dan, yang lebih penting, sangat tidak sejalan dengan pengereman laju pertumbuhan penduduk.
Perlu kita ingat menurut data United Nation, sebagaimana dikutip kompas.com pada tahun 2011 jumlah penduduk dunia mencapai angka 7 milyar, tahun 2016 mencapai 7,4 milyar, dan tahun 2020 mencapai 7,7 milyar. Berdasarkan tren tersebut diperkirakan penduduk dunia 2030 mencapai 8,5 milyar dan pada tahun 2050 akan mencapain 9,7 milyar. Kenaikan jumlah penduduk tersebut memang disebabkan oleh banyak faktor. Seiring dengan peningkatan kesejahteraan, kenaikan tingkat harapan hidup, menjadi salah satu peyebab meningkatnya polulasi jumlah penduduk. Tetapi juga tidak dapat dipungkiri angka kelahiran akibat perkawinan juga menjadi salah satu pemicunya. Logikanya sederhana, bagi perempuan semakin lama rentang masa suburnya akan semakin besar kemungkinannya memperbanyak kesempatan melahirkan anak. Dari sinilah, ikhtiyar berupa konsep peningkatan usia perkawinan bagi perempuan semakin terlihat urgen. Meningkatkan usia nikah berarti semakin mengurangi kesempatan bereproduksi. Kiranya inilah yang menjadi pijakan cara berfikir para pembuat kebijakan kependudukan dengan konsep KB pada era Orde Baru. Bersama sejumlah misi yang ada, pada waktu itu ada semacam anjuran keras hendaknya laki-laki dan perempuan menikah di atas usia 24 tahun.
Pembedaan batas usia minimal, bagi sejumlah pengamat juga terasa tumpang tindih ketika harus bersanding dengan sejumlah aturan lain. UU perlindungan anak menetapkan batas usia anak adalah 17 tahun, ketentuan usia 19 tahun bagi laki-laki tentu sudah lumrah. Sebab, sudah melampuai batasan sebutan anak. Akan tetapi ketentuan usia minimal 16 tahun bagi perempuan, tentu kurang sejalan dengan UU Perlindungan Anak tersebut. Dalam konteks ini, UU perkawinan tertuduh sebagai pelegal perkawinan di bawah umur. Dalam tataran tertentu pembedaan usia tersebut, bagi perempuan oleh para pengamat juga bernuansa diskriminatif sekaligus melanggar HAM.
Diskriminatif dan pelanggaran dimaksud adalah ketika pembedaan usia tersebut akhirnya bermuara pada pembatasan kesempatan bagi perempuan untuk tumbuh kembang seperti laki-laki. Hal ini sudah tentu juga bertentangan dengan misi perjuangan para pegiat kesetaraan jender.
Memang, sekilas sitigma diskriminatif dan pelanggaran HAM tersebut sulit dicerna. Akan tetapi, apabila hal tersebut dikaitakan dengan pengalaman empiris di lapangan sangat mungkin terjadi. Di beberapa tempat masih ada praktik, misalanya kawin paksa terselubung. Seorang anak perempuan diam-diam telah ditunangkan dengan laki-laki pilihan orang tua. Orang tua melakukan demikian karena dua hal, pertama karena alasan psikologis dan karena budaya. Atau bahkan karena faktor ekonomi. Secara pskilogis tampaknya orang akan menjadi aib di mata masyarakat kalau punya anak perempuan yang sudah masak dari sisi biologis tidak segera menemukan jodoh. Stigma punya anak perempuan tidak laku sebagai hal yang tidak saja menakutkan tetapi juga aib.
Secara budaya, terdapat kebiasan masyarakat tertentu yang memang harus segera menikahkan perempuan karena perempuan dipandang sebagai ‘konco wingking’ yang hanya bertugas melahirkan dan mengurus rumah tangga dalam rumah (memasak mencuci ,dsb). Perempuan dengan alat reproduksi biologis yang ada tidak layak mencangkul di sawah, bekerja di sektor jasa. Kemulusan kulit dan kelembutan watak jangan sampai rusak karena harus menekuni pekerjaan ‘kasar’ yang biasa dikerjakan laki-laki. Tetapi bukan mustahil keinginan segera menikhakan anak perempuan juga karena faktor ekonomi. Kisah Siti NUrbaya yang diangkat Marah Rusli dalam novelnya memang bukan isapan jempol. Potret orang tua haus dunia memang ada. Beberapa tahun lalu kasus Syekh Puji yang menghebohkan itu setidaknya juga menggambarkan bahwa praktik itu, secara terselubung, masih ada di era modern.
Ketika kita hendak mengaitkan dengan agama, khususnya Islam, kita akan segera tahu bahwa masalah batasan minimal usia kawin adalah ranah fikih yang memang membuka ruang perbedaan pendapat ( khilafiyah ). Sesuai dengan karakteristiknya, masalah fikih sangat mungkin berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Akar persoalannya adalah karena secara eksplisit, di dalam Al Qur’an tidak pernah ditemukan ayat yang berkaitan dengan batas usia perkawinan. Menurut penelitian para ahli tafsir, hanya ada dua ayat dalam Al Qur’an, yaitu Surat An Nur ayat 32 dan Surat An Nisak ayat 6 yang tampaknya memiliki korelasi dengan usia baligh terutama dalam lafad “salihin” dan “rusydan”.
Kalimat “salihin” menurut Prof. Quraisy Shihab adalah seorang yang mampu secara mental dan spiritual untuk membina rumah tangga, bukan dalam arti yang taat beragama. Sedangkan kata “rusyd” adalah kesempurnaan akal dan jiwa yang menyebabkan seseorang mampu bertindak setepat mungkin. Dengan tafsiran demikian, Al Qur’an memberikan sinyal, bahwa kedewasaan atau baligh identik dengan usia seseorag secara umum. Dalam hal ini, Al Quran hanya memberikan isyarat umum tentang cara menetapkan seseorag itu baligh atau tidak baligh. Inilah sebabnya di dunia Islampun, di Mesir, Iran, Irak, Maroko, dan dunia Islam lainnya, masalah usia minimal perkawinan berbeda-bada.
Di Indonesiapun ijtihad mengenai batas minimal usia perkawinan tampaknya untuk sementara selesai setelah, atas usulan berbagai kalangan DPR berhasil mengamandemen UU Nomor 1 Tahun 1974 yang pada tahun 2019 lalu diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2019, dalam hal ini ketentuan Pasal 7 ayat (1). Akhirnya, memang seperti yang telah diperkirakan sebelumnya. Segera setelah itu Pengadilan Agama menjadi kalang kabut. Pasalnya, setelah perubahan usia dari 16 tahun menjadi 19 tahun, perkara dispensasi kawin menjadi perkara masuk dengan hitungan jumlah yang luar biasa banyaknya. Sudah hampir setahun ini, sejak perubahan UU tersebut disahkan, jumlah tersebut belum ada tanda-tanda surut. Pengadilan Agamapun sebagai penerima perkara dan cenderung untuk mengabulkan, sering mendapat tuduhan minor. Ketika aturan hukum mencoba ingin membentuk perilaku masyarakat agar tidak nikah di bawah umur, pengadilan agama justru ‘melegalkannya’. Tudingan demikian sering terlontar dalam forum-forum akademik maupun diskusi-diskusi di luar. Bagi orang yang berkecimpung langsung menjawab tudingan minor tersebut tentu bukan perkara mudah. Apalagi, jika hanya lewat jawaban sekilas.
Terlepas dari belum selesainya diskusi panjang mengenai hal di atas, tampaknya ada segmen yang sering kita lupakan. Cara pandang kita terhadap anak sering ambigu. Di satu sisi anak-anak sekarang banyak yang mempnyai kecerdasan lebih dibanding anak sebaya pada zaman dulu. Arus globalisasi dan kemajuan teknologi informasi yang mudah dijangkau anak, menyebabkan anak lebih cepat tahu banyak tentang isi dunia dibanding anak zaman dulu. Bahkan, dengan kedua orang tuanya sekalipun. Betapa tidak, sering kita lihat orang yang tua bertanya atau belajar mengoperasikan komputer dan gawai (gadget) kepada anaknya yang baru masuk sekolah dasar.
Pada kesempatan lain, kepandaian anak ini sering dilupakan oleh orang tua. Kaitanaya dengan perkawinan, siapa yang menjamin anak masa kini belum mengenal alat-alat reproduksi lawan jenis, ketika mereka hampir dalam lebih 10 jam sehari memegang gadget dengan segala isinya, termasuk sajian pornografi. Kemajuan zaman yang menggiring anak-anak ke wlayah-wilayah demikian memang menjadi ironis ketika pada saat yang sama, dalam kasus perkawinan, justru distigma sebagai anak-anak belum pintar, sehingga belum diangap layak menikah karena belum berusia 19 tahun. (Juma’at, 22-01-2021)