Penyebab Tanah Retak Di Ponorogo Karena Alih Fungsi Lahan

  • Whatsapp

 

PONOROGO, beritalima.com- Dari penilitian tim dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi, Bandung, ternyata yang menyebabkan tanah retak di beberapa lokasi di Ponorogo, Jawa Timur, dikarenakan alih fungsi lahan dari hutan menjadi permukiman.

Menurut ketua Tim Peneliti, Heri Purnomo, ada empat titik yang disurvei dari belasan titik tanah gerak yang dilaporkan DPBD Ponorogo ke Badan Geologi. Titik yang disurvei tersebut adalah Desa Bekiring Kecamatan Pulung, Desa Sriti dan Tempuran Kecamatan Sawoo, Desa Talun Kecamatan Ngebel dan Desa Tugurejo Kecamatan Slahung.

“Ada empat penyebab terjadinya tanah gerak di Ponorogo. Yaitu jenis tanah yang merupakan tanah pelapukan, kondisi kemiringan tanah yang terjal, curah hujan yang tinggi selama setahun terakhir dan alih fungsi lahan,” terang Heri Purnomo saat berada di Tugurejo, kepada wartawan, Selasa 10 Januari 2017.

Menurutnya lagi, seluruh wilayah di Ponorogo rawan tanah gerak. Terutama yang berada di lereng gunung. Hal ini mengingat Ponorogo didominasi daerah yang berada di lereng Gunung Wilis dan berbukit-bukit.

Dijelaskan Heri, di semua lokasi yang didata, termasuk di Tugurejo, jenis tanahnya merupakan tanah pelapukan sehingga mudah tergerus air dan tidak memiliki daya cengkeram yang kuat dangan lapisan batuan di bawahnya. Kemiringan cukup terjal sekitar 70 derajat sehingga mudah menggelincir. Sedangkan curah hujan yang tinggi membuat air mudah meresap dan membuat tanah semakin gembur sehingga mudah bergerak.

“Yang juga sangat berpengaruh adalah alih fungsi lahan. Dari hutan yang memiliki tanaman keras dan akar yang kuat menjadi pemukiman, ladang, kebun atau sawah. Hal ini membuat air yang meresap tidak ada yang menahan karena tidak ada akar di bawah sana. Akibatnya, tanah menggembur dan mudah meluncur,” paparnya.

Untuk itu, tim merekomendasi agar warga segera mengungsi ke lokasi yang aman bila terjadi hujan. Sebab kemungkinan pergerakan tanah masih akan terus terjadi. Pembuatan selokan untuk mengalirkan air hujan langsung menuju sungai juga sangat disarankan selain segera menutup retakan tanah dengan tanah lempung untuk mencegah air masuk ke celah-celahnya.

Dari seluruh titik yang disurvei, lanjut Heri, relokasi adalah upaya mitigasi terakhir yang bisa menjadi pilihan. “Warga masih bisa tetap tinggal di lokasi tapi dengan berbagai catatan. Di antaranya membuat rumah semi permanen atau rumah panggung dari kayu, menghindari lereng dan tidak memotong lereng secara tegak bila ingin membuat rumah,” pungkasnya. (Rohman/Dibyo).

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *