JAKARTA, beritalima.com – Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) yang berkantor pusat di Grand Slipi Tower, Lantai 11, Jalan S. Parman Kav. 22 – 24, Jakarta Barat, dinilai banci dan tidak bisa menjalankan amanah Undang-Undang No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat.
Demikian hal itu diungkapkan Sekretaris Divisi Advokat DPP Partai Demokrat, MM. Ardy Mbalembout, SH., MH. CLA atas kekecewaannya setelah mendapat tanggapan surat jawaban PERADI No.557/PERADI/DKD/DKI.JKT/EKS/IV/28 tertanggal 16 April 2018 yang menyatakan tidak dapat memeriksa Dr. Firman Wijaya, SH., MH atas dugaan pelanggaran kode etik advokat.
Dikatakan Ardy, yang pernah mengadukan Firman Wijaya kepada Dewan Kehormatan Daerah PERADI DKI Jakarta, 5 Februari 2018 lalu, karena diduga melanggar kode etik advokat di luar persidangan dan dianggapnya bertentangan dengan Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Hal ini menurutnya tidak profesional bila dikatakan salah alamat, kendati Firman Wijaya bukan anggota PERADI yang berkantor di Grand Slipi Tower setelah PERADI memgalami perpecahan melainkan tercatat sebagai anggota PERADI yang berdomisili di LMPP Building Lantai 3, Jalan KH. Wahid Hasyim No.10, Rt2/Rw7, Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat. Dibawah Kepemimpinan Dr. Luhut MP. Pangaribuan, SH., LLM dan Sugeng Teguh Santoso, SH., MH.
“Alasan tersebut sangat disayangkan dan tentunya merugikan pihak pengadu karena adanya pelanggaran kode etik, yang diduga dilakukan oleh Firman Wijaya. Mengingat Mahkamah Agung Republik Indonesia mengakui keberadaan PERADI sebagai organisasi besar advokat selain KAI (Kongres Advokat Indonesia) yang dibentuk berdasarkan Akta Pernyataan Pendirian Perhimpunan Advokat Indonesia yang dibuat dihadapan Notaris Buntario Tigris, SH., SE., MH pada tanggal 8 September 2005 serta Deklarasi Pendirian Perhimpunan Advokat Indonesia pada tanggal 21 Desember 2004 di Jakarta dan ditandatangani oleh delapan kelompok advokat Indonesia,” tegas Ardy.
Selain itu Ardy pun mengetahui bahwa PERADI yang dipimpin Fauzie Yusuf Hasibuan dan Thomas E Tampubolon mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 8 Desember 2017 lalu, dengan nomor pendaftaran 667/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst, dimana salah satu pokok perkara yang diajukan, meminta agar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Penggugat, Fauzie Yusuf Hasibuan dan Thomas E. Tampubolon masing-masing adalah Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) periode 2015 – 2020 yang sah berdasarkan keputusan Munas II PERADI di Pekanbaru pada tanggal 13 – 13 Juni 2015, yang dilaksanakan sesuai Anggaran Dasar PERADI. Serta adanya permohonan agar melarang Luhut MP Pangaribuan dan Sugeng Teguh Santoso melakukan tindakan-tindakan perbuatan-perbuatan apapun juga yang mengatasnamakan PERADI.
“Sebenarnya surat pengaduan pelanggaran kode etik yang dilakukan Firman Wijaya dapat diproses dan dilakukan penindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 sampai Pasal 8 UU No.8 tahun 2003 tentang Advokat, tanpa harus lempar sana sini dengan alasan perpecahan yang tengah dihadapi PERADI saat ini,” pungkasnya.
Masih menurut Ardy, pecahnya PERADI saat ini bukanlah sebuah alasan untuk tidak dapat memproses aduan tindakan pelanggarsn kode etik yang dilakukan salah satu anggotanya. Bahkan sampai saat ini belum ada keputusan dan tindakan dari pengadilan tentang perpecahan yang terjadi di dalam organisasi PERADI, sehingga dapat dikatakan PERADI tetap ada satu sekalipun ada perpecahan di dalamnya.
“Maka dari itu sangat tidak profesional apabila surat pengaduan pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan oleh Firman Wijaya tidak dapat diproses hanya karena alasan bukan menjadi anggota PERADI dibawah pimpinan Fauzie Yusuf Hasibuan,” imbuhnya.
Sebelum berita diturunkan, crew beritalima.com mencoba menghubungi Ketua Umum, Sekjen, dan anggota DPN PERADI yang berkantor di Grand Slipi Tower tidak mau menanggapi baik melalui telepon atau melalui WA. dedy mulyadi