Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Seorang penulis, M. Tatam Wijaya sebagaimana ditayangkan pada laman nuonline (26 Agustus 2019) mengangkat kembali sepenggal kisah hidup salah seorang Nabi sekaligus seorang rasul, yaitu Sulaiman alaihis salam, dalam hal ini ketika beliau mengadili dua orang wanita yang sedang berebut seorang bayi di hadapannya. Kisah tersebut pada pokonya adalah sebagai berikut:
Alkisah, ada dua orang wanita yang mengadukan perkara kepada Nabi Dawud ‘alaihissalam. Perkara mereka bermula saat keduanya sama menaruh bayinya di satu tempat karena ada suatu urusan. Di luar dugaan rupanya seokor serigala telah lama mengintai bayi tak berdaya. Saat kedua wanita lengah diterkamlah salah seorang bayi dan dilahapnya bersama kawanan serigala lain. Selanjutnya keduanya pun terlibat perselisihan dan saling klaim bahwa anak yang masih hidup adalah anaknya. Wanita yang lebih tua berkata, “Anakmu telah dimakan serigala. Dan ini anakku.” Wanita yang lebih muda pun tak mau kalah, “Justru yang dimakan serigala adalah anakmu. Dan ini anakku.” Berdasarkan pengaduan mereka dan bukti-bukti yang ada, Nabi Dawud ‘alaihissalam pun memutuskan bahwa anak yang masih hidup adalah anak wanita yang lebih tua, sedangkan anak wanita yang lebih muda, dinyakakan telah diterkam serigala. Atas putusan itu, wanita yang lebih tua segera mengambil anaknya dengan penuh rasa senang. Sementara wanita yang lebih muda pulang dengan wajah murung sambil menahan kesedihan dan meratapi nasib yang dialaminya.
Rupanya keadaan mereka berdua terlihat oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Beliau kemudian memanggil dan menanyai mereka. Mereka pun bercerita apa yang telah menimpa, termasuk apa yang telah diputuskan Sang Ayah Nabi Dawud ‘alaihissalam. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam memang dikenal seorang nabi yang memiliki pandangan tajam, diberi hikmah yang mendalam oleh Allah subhanahu wata’ala dan diajari bagaimana menjelaskan seruan-Nya. Dalam hati, beliau berpikir, “Yang dapat memutus perkara ini adalah perasaan yang lembut, bukan akal. Karena itu, aku akan meminta pandangan kedua wanita itu. Siapa yang kecintaannya lebih besar terhadap si anak, maka aku akan berikan anak itu padanya.” Kemudian, Nabi Sulaiman bertanya kepada mereka, “Masing-masing meyakini bahwa ini adalah anak kalian?” “Betul,” jawab mereka. “Dan kalian mengklaim itu adalah anak kalian?” “Betul sekali.” “Sekarang berikanlah aku pisau tajam untuk membelah anak ini jadi dua!” Sontak wanita yang lebih muda berteriak keras, “Jangan, jangan lakukan itu! Itu anak dia!” Sementara wanita yang lebih tua hanya diam. Akhirnya, wanita yang lebih muda merelakan anaknya diberikan kepada wanita yang lebih tua agar si anak bisa tumbuh bersamanya daripada harus dibelah dua. Dengan tumbuhnya si anak itu, walaupun bukan dalam asuhan dirinya, si wanita muda merasa lebih tenang. Memang, ibu mana yang tega melihat anaknya dibelah dua? Dari situ saja Nabi ‘alaihissalam bisa melihat, hingga kemudian beliau melirik kepada wanita yang lebih muda dan berkata, “Berarti itu adalah anakmu, ambillah!”
Untuk meyakinkan kepada kita, penulis menegaskan bahwa kisah yang dipaparkan tersebut disarikan dari hadits sahih yang diriwayatkan al-Bukhari dalam Shahîh-nya, tepatnya dalam Kitâb Ahâdîts al-Anbiyâ, Bâb Tarjamah Sulaimân, jilid 6, hal. 458, nomor hadits 3427, juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitâb al-Aqdhiyah, Bâb Ikhtilâf al-Mujtahidîn, jilid 3, hal. 1344, nomor hadits 1720.
Kisah tersebut sangat populer dalam kisah-kisah dunia kenabian. Dalam konteks dunia peradilan kisah tersebut juga sering disebut sebagai “Peradilan Sulaiman”. Ada beberapa pelajaran yang dapat kita petik dari kisah tersebut, antara lain.
1. Tentang Penemuan Hukum
Dalam kasus tersebut Dawud tampaknya mengadili kasus dua orang ang berebut bayi tersebut memakai pendakatan formal. Berdasarkan kaidah-kaidah yang diakui benar tentu tidak salah apapun putusan yang dihasilkan sejauh telah mengikuti prosedur sesuai dengan kaidah-kaidah tersebut. Akan tetapi, ternyata putusan tersebut tetaplah dirasakan tidak adil karena ‘menyimpang’ dengan fakta yang sebenarnya. Akibat dari cara mengadili ini bayi itu pun jatuh ke tangan pihak yang salah.
Berbeda dengan Sulaiman, rupanya ketidak puasan salah satu wanita itu memicu untuk berfikir dengan cara lain. Mengadili perkara yang luar biasa ini tidak boleh dengan cara biasa. Sejumlah trik perlu dilakukan untuk menemukan hukum yang bener-benar memenuhi rasa keadilan. Trik tersebut tidak lain ialah dengan menggunakan seperangkat ilmu pendukung non hukum. Karena ini menyangkut perasaan, kelembutan, dan kasih sayang maka ilmu pendukung yang paling utama selain hukum adalah psikologi. Dan, trik yang dilakukan ternyata jitu. Langkah yang ditempuh Nabi Sulaiman sebelum menjatuhkan putusan benar-benar tidak diduga, oleh kedua belah pihak sekalipun. Tetapi akhirnya siapa pun mengakui, putusaan dijatuhkan itu benar-benar sesuai fakta yang sebenarnya sehingga keadilan itu benar-benar diberikan kepada yang berhak mendapatkannya.
Berkontemplasi untuk menemukan kebenaran agar dapat memeberikan keadilan kepada siapa yang memang berhak, tentu patut diteladani. Dalam dunia peradilan, upaya menemukan hukum merupakan bagian penting bagi hakim dalam mengadili setiap perkara. Sebagaimana diketahui semua aturan hukum (tertulis) merupakan barang mati dan yang lebih penting mudah mengalami keusangan. Hal ini disebabkan sebuah aturan dibuat berdasarkan situasi dan kondisi manusia yang melingkupinya serta tidak mungkin bisa lengkap sehingga mencakup semua aspek kehidupan manusia. Pada saat yang sama dinamika masyarakat berkembang begitu cepat. Dengan penemuan hukum itu, di samping suatu aturan hukum akan selalu memperoleh ruhnya– sehingga tidak serta merta distigmakan sebagai aturan usang—maka yang lebih penting, kekokosongan hukum juga dapat dihindari. Sikap demikian sejatinya telah jelas-jelas diamanatkan oleh Pasal 5 Ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009.
2. Tentang Senioritas Hakim
Dalam kisah di atas, terdapat dua hakim dalam waktu yang berbeda atas perkara yang sama. Hakim pertama dan kedua berbeda putusannya, bahkan bertolak belakang. Hakim pertama adalah Dawud ‘alaihis salam dan hakim kedua tidak lain putranya sendiri, yaitu Sulaiman ‘alaihis salam. Jika kita hendak memetakan kedua orang mulia, dari sisi senioritas, pasti semua orang tahu bahwa antara Dawud dan Sulaiman jelas lebih senior Dawud. Dawud adalah sang Ayah sekaligus yang berkuasa sedangkan Sulaiman adalah sang putra. Akan tetapi, dengan sistem dan keahlian yang berbeda ternyata rasa keadilan dihasilkan dari cara mengadili juga berbeda. Dan, justru dari hakim yuniorlah, para pihak menemukan keadilan yang sebenarnya.
Pola senioritas dalam dunia ‘perhakiman’ memang diperlukan. Pola ini dimaksudkan untuk memposisikan para pengadil ini pada proporsinya dari segi karir, struktural, atau hal-hal lain yang berkaitan dengan ‘teknis administratif’.
Akan tetapi, betapun ada penggolongan kepangkatan atau senioritas, semua hakim dari sisi fungsi tetap sama: “mengadili perkara”. Saat mengadili perkara seorang hakim tidak mengenal senioritas. Semua hakim dengan seperangkat ilmu hukum dan ilmu pendukung yang dimiliki, sama-sama dituntut untuk menerapkan keilmuannya tidak sekedar teori melainkan menjadikannya ilmu yang benar-benar diterapkan dalam kasus nyata (aplicatable). Dalam berkontemplasi sebelum menerapkan hukum mengenai kasus nyata yang sedang dihadapi tidak dikenal senior dan yunior. Putusan yang dihasilkan pun akan benilai sama dan sederajat dengan hakim-hakim lainnya, yaitu sama-sama bernilai hukum dan oleh karenanya mengikat dan harus dipatuhi. Ketika sudah demikian, mempertanyakan siapa yang memutus apakah hakim senior atau hakim yunior menjadi pertanyaan yang kehilangan relevansinya.
Sesuai mekanisme, Hakim senior dengan segudang pengalaman lebihnya, memang diharapkan mempunyai kemampuan lebih dari hakim yunior. Akan tetapi, dalam praktik hakim yunior dalam kasus tertentu, kadang-kadang justru dinilai lebih dapat menemukan keadilan dari pada senior. Adanya beberapa putusan tingkat pertama yang dibatalkan oleh hakim pengadilan banding dan pada tingkat kasasi justru dikuatkan dengan membatalkan putusan tingkat banding, setidaknya dapat menjadi contoh mengenai hal ini. Tampaknya dalam dunia peradilan semboyan “primus interpares” terbukti benar adanya. Hal ini sekaligus memberikan pesan kepada para hakim: yang yunior jangan minder karena (merasa) tak sejajar, dan yang senior pun dituntut tetap terus belajar. Sekali lagi, semua hakim dari bawah sampai pusat adalah sama dalam hal fungsi, yaitu “mengadili”. Produknya juga sama yaitu “putusan”. Muaranya sama, yaitu “pencari keadilan”. Dalam konteks demikian, maka wajar jika ada yang berpendapat, bahwa predikat putusan yang bernilai yurispridensi semestinya tidak hanya dari putusan kasasi. Akan tetapi, dengan kriteria tertentu putusan banding, bahkan putusan hakim tingkat pertama pun, juga bisa dikategorikan sebagai yurisprudensi.
3. Tentang Kebenaran Materiil
Putusan yang dijatuhkan Dawud memberikan bayi kepada ibu yang lebih tua tentu menjadi otoritas sepenuhnya beliau. Karena beliau seorang Nabi dan Rasul yang tentu dijaga ke-ma’shum-annya. Dengan demikian, putusan yang diambil, secara formal harus pula dianggap benar. Tentu putusan itu tidak serta merta dijatuhkan melainkan setelah memenuhi tahapan ‘pembuktian’. Akan tetapi, ibu yang lebih muda tentu masygul, tatkala bayi yang nyata-nyata anaknya itu harus jatuh ke tangan orang lain.
Secara umum, ada perbedaan yang paling mencolok dalam sistem pembuktian perkara pidana dan perdata dalam menemkan kebenaran. Dalam perkara pidana kebenaran yang ingin dicapai adalah kebenaran materiil. Cara menemukannya selain harus ditempuh melalui proses pembuktian beradasrakan bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran tersebut harus diyakini oleh hakim. Prinsip demikian dikenal dengan beyond reasonable doubt. Menurut Prof. Soebekti, kebenaran yang diwujudkan dalam perkara pidana ini, benar-benar beradasrakan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki (ultimate truth). Sedangkan dalam perkara perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim, cukup kebenaran formil (fomeel waarheid). Hakim tidak dituntut sampai pada keyakinan. Dengan kata lain, sejauh semua prosedur pembuktian telah ditempuh dan sesuai kaidah yang ada, suatu kebenaran harus sudah dianggap terbukti, meskipun hakim tidak yakin. Konsekuensi dari pandangan demikian, para pihak yang berperkara memang dimungkinkan mengajukan pembuktian berdasarkan kebohongan dan kepalsuan.
Itulah sebabnya, mengapa aliran kebenaran formil yang menempatkan hakim bersifat pasif ini kini ditentang. Sebagaimana ditulis oleh M. Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya Hukum Acara Perdata halaman 502, kini muncul aliran baru. Aliran ini tidak setuju peran dan kedudukan hakim pasif secara total, tetapi harus diberi peran aktif secara argumentatif. Ada dua alasan mengapa demikian, yaitu:
1. Hakim bukan aantreanenimes. Maksudnya, hakim tidak boleh dijadikan sebagai makhluk yang tidak berjiwa yang seolah dianggap tidak mempunyai hati nurani dan kesadaran moral sehingga dapat seenaknya dijadikan boneka yang diharuskan menerima dan menelan begitu saja kebohongan dan kepalsuan bukti atau fakta yang diajukan oleh pihak yang berperkara sebagai kebenaran yang mesti dibenarkannya. Padahal, dia tahu hal itu tidak benar.
2. Tujuan dan fungsi peradilan adalah menegakkan kebenaran dan keadilan. Tujuan demikian tidak mungkin dicapai dengan teori kebenaran formil dan yang menempatkan hakim pasif tersebut.
Akhirnya, semoga tulisan ini dapat bermanfaat sebagai bahan refleksi bagi para hakim, khususnya penulis sendiri dalam mengarungi tantangan yang semakin tidak ringan di masa sekarang, lebih-lebih di masa yang akan datang. Semoga.
Sumber Bacaan:
1. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia oleh Prof.Dr. Abdul Manan CL, S.H., S.IP, M.Hum.
2. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan oleh M. Yahya Harahap, S.H.
3. Hukum Pembuktian oleh Prof.R.Soebekti, S.H.
4. https://islam.nu.or.id/hikmah/kecerdasan-nabi-sulaiman-dan-kisah-anak-diterkam-serigala-1pRsl
BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama, IV/e
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang
Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com