SIDOARJO, beritalima.com – Posisi pemuda tidak dapat diabaikan dalam kontestasi politik. Kemauan dan arah pemuda melangkah menentukan gerak laju bangsanya.
Arzeti Bilbina, Anggota Komisi X DPR RI, mengemukakan itu saat sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan di Kabupaten Sidoarjo, Rabu (13/3/2019).
Sepanjang sejarah, lanjut Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) ini, gerakan pemuda selalu mempengaruhi kebijakan publik.
“Peristiwa penting seperti Proklamasi, Gerakan ’66, Malari dan Reformasi, membuktikan para elit yang didominasi orang tua mau tidak mau mendengarkan aspirasi para pemuda,” ujarnya.
Peran pemuda juga berpengaruh dalam politik. Dalam Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) untuk Pilkada Serentak 2018, jumlah pemilih pemula mencapai 10.628.883 atau 6,61% dari total DP4. Mereka, 5.455.160 laki-laki dan 5.173.723 perempuan.
Jumlah 10 juta lebih pemilih pemula itu menandakan posisi pemuda berpotensial dan menentukan dalam percaturan politik.
Tentu, suara pemuda akan diperebutkan oleh para kontestan atau paslon dalam suatu pemilu.
Karena itu, tutur Arzeti, perlu mengadakan pendidikan politik bagi para pemuda agar tidak menjadi sekedar “floating mass”. Pendidikan politik menjadi penting, karena untuk penyadaran akan hak-hak yang melekat dalam diri pemuda, termasuk hak menentukan pilihan.
Di lain hal, partisipasi pemuda dalam partai politik tidak banyak. Berbeda dengan pemuda pada era kolonial, mereka malah mendirikan partai sendiri, misalnya Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno pada usia 20-an tahun.
Tidak heran bila melihat hasil survei Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas, 80% DPR RI berlatar belakang pengusaha atau pebisnis maupun elit partai, dan 20%-nya lagi sanak saudara para elit, mantan aktivis, serta akademisi.
Disebutkan sebagaimana dijatakan Max Weber, secara sosiologis kenyataan tersebut merangsang para legislatif cenderung menjaga status quo. Maraknya praktik korupsi berjamaah bagian dari keniscayaan.
“Karena itu, kita butuh peran pemuda dalam percaturan politik. Karena, pemuda tidak memiliki beban masa lalu. Perubahan hanya dapat dilakukan oleh yang tidak memiliki rapor merah, tidak memiliki masalah atau ketergantungan pada siapapun,” tandas dia.
Acap kali para pembuat kebijakan dan stakeholder tidak leluasa memutuskan sesuatu, karena banyak hal yang dipertimbangkan. Kompleksnya “conflict of interest” antar pihak membuat kebijakan yang diputuskan tidak progresif, alih-alih menguntungkan diri sendiri.
Selain itu, pemuda adalah wakil zamannya. “Ada adagium ketika kita ingin menilai kemajuan suatu peradaban lihatlah pemudanya. Dalam bahasa Arab kerap diutarakan dengan ‘syubbanul yaum rijaalul ghod’, yang artinya pemuda sekarang adalah pemimpin di masa depan,” lanjut perempuan cantik ini.
Di sisi lain, peran pemuda sering diremehkan karena alasan pengalaman. Ada yang mengatakan, “memang pemuda tidak memiliki pengalaman, karena pemuda yang memiliki masa depan”.
Oleh karenanya, pemuda lebih cepat tanggap dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, pemuda mengetahui sesuatu yang dibutuhkan. Beda jika orang tua memimpin, bisa jadi akan menggunakan ukuran-ukuran masa lampau untuk menafsirkan fenomena hari ini.
Berikutnya lagi, pemuda memiliki semangat. Semangat inilah yang menjadikan pemuda memiliki optimisme, percaya diri.
Rasa penasaran yang kerap dialami pemuda, membuatnya ingin selalu mencoba dan mencoba. Oleh sebab itu, Soekarno pernah berkata, “1000 orang tua hanya bisa bermimpi, tetapi satu pemuda bisa mengubah dunia”.
Petikan perkataan Soekarno tersebut secara implisit menerangkan bahwa pemuda bukanlah orang yang suka berandai-andai. Pemuda cenderung menjemput bola dari pada menunggu bola. Di samping itu pemuda juga menggunakan akalnya untuk berfikir segala sesuatunya.
Bila pemuda berperan aktif dalam politik akan memberikan warna baru di tengah wacana dan percaturan yang monolitik. Hal demikian dapat terjadi karena pemuda memiliki potensi.
“Korupsi, kolusi, nepotisme, dan birokratisme hanya dapat dikikis bila pemuda mendapat peran politik secara optimal,” pungkas Arzeti.