beritalima.com | Salah satu program strategis Pemerintah RI saat ini adalah ingin mewujudkan perairan Indonesia sebagai poros maritim dunia, yang berarti mengandung konsekuensi agar seluruh perangkat negara turut serta mensukseskan program tersebut. Termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam hal ini Kepolisian perairan (Polair), baik dalam konteks memberi jaminan keamanan maupun keselamatan perairan dan juga perlindungan lingkungan laut. Hal ini selaras dengan politik luar negeri Indonesia yang mencerminkan identitas negara kepulauan yang diwujudkan melalui diplomasi maritim. Partisipasi aktif Indonesia sejak tahun 1961 di dalam International Maritime Organization (IMO) merupakan upaya penguatan kebijakan politik luar negeri Indonesia yang dilandasi pada kepentingan nasional dan jati diri sebagai negara maritim.
Komisioner Kompolnas RI Dede Farhan Aulawi ketika diminta tanggapannya terkait penyerahan Dokumen Aksesi Konvensi Internasional IMO dari Menhub RI kepada Sekjend IMO pada tanggal 29 November 2019 di London. Dede menyatakan bahwa sebagai anggota IMO, Indonesia wajib dan telah meratifikasi Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal (Basel Convention) tahun 1989, International Convention on Maritime Lines and Mortgages tahun 1993, dan Konvensi ILO 185 tentang Dokumen Identitas Pelaut tahun 1958.
Selanjutnya Dede juga menambahkan bahwa keberhasilan Indonesia pada pemilihan anggota Dewan IMO tentunya memberikan tantangan kepada Indonesia untuk meningkatkan jaminan keamanan dan keselamatan pelayaran yang efisien sekaligus juga meningkatkan perlindungan lingkungan laut. Dalam melaksanakan peran aktifnya sebagai anggota Dewan IMO, Indonesia berkewajiban untuk menempatkan keselamatan sebagai prioritas utama dalam kegiatan pelayaran Indonesia. Pada bulan Desember 2015 Indonesia menyatakan telah meratifikasi Ballast Water Management (BWM) Convention dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 132 Tahun 2015 tentang Pengesahan Konvensi Internasional untuk Pengendalian dan Manajemen Air Ballas dan Sedimen dari Kapal. Dengan diratifikasinya Konvensi BWM tersebut Indonesia akan turut menjaga lingkungan maritim dengan melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap kapal-kapal asing yang membuang air ballas di wilayah perairan Indonesia. Ujar Dede.
IMO merupakan badan khusus PBB yang bertanggungjawab untuk keselamatan dan keamanan aktivitas pelayaran dan pencegahan polusi di laut oleh kapal. Secara teknis, IMO memiliki tugas dalam pemutakhiran legislasi yang ada atau untuk mengembangkan dan mengadopsi peraturan baru melalui pertemuan yang dihadiri oleh ahli maritim dari negara anggota, serta organisasi antar-pemerintah dan non-pemerintah lain seperti BIMCO, CMI, Greenpeace, dan IALA. Hasil dari pertemuan komite dan sub-komite IMO adalah konvensi internasional yang komprehensif yang didukung dengan ratusan rekomendasi yang mengatur berbagai fase dalam bidang pelayaran internasional.
Rekomendasi – rekomendasi di bidang pelayaran yang dikeluarkan oleh IMO pada prinsipnya terkait dengan kegiatan yang ditujukan bagi pencegahan kecelakaan, termasuk standar rancangan kapal, konstruksi, perlengkapan, kegiatan operasional dan ketenagakerjaan berdasarkan perjanjian internasional, antara lain International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS) tahun 1974 dan 1978, Convention for the Prevention of Pollution from Ships (MARPOL) tahun 1973, dan Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW) tahun 1978.
Di samping itu ada juga rekomendasi yang berkaitan dengan kegiatan yang perlu untuk mendata adanya kecelakaan, termasuk mengenai regulasi dalam komunikasi keadaan darurat dan keselamatan, Konvensi SAR Internasional tahun 1979 dan International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response and Co-operation (OPRC) tahun 1990. Termasuk konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kompensasi dan pertanggungjawaban seperti International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage (CLC) tahun 1969, Convention establishing the International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage (FUNDConvention) tahun 1971, dan Athens Convention covering liability and compensation for passengers at sea (Athens Convention) tahun 1974.
Hal penting dalam berbagai konvensi tersebut menekankan bahwa setiap negara memiliki kewajiban untuk menjaga keselamatan navigasi di negaranya dengan menyediakan peralatan aid to navigation seperti mercu suar, buoy dan tanda-tanda yang dibutuhkan. IMO juga mengatur mengenai standarisasi penggunaan alat dan juga keselamatan pelayaran. Sebagian besar dari konvensi maritim internasional tersebut, sebenarnya memanggil peran penting Polair sebagai alat negara untuk melaksanakan kewajiban – kewajiban yang berhubungan dengan keamanan, keselamatan, dan perlindungan lingkungan laut. Hal ini pula yang menjadi salah satu fokus perhatian Kompolnas dalam memperkuat peran strategis Polair di seluruh wilayah perairan Indonesia. Tentu masih banyak hal yang perlu diperbaiki dan harus mendapat perhatian bersama, karena langsung atau tidak langsung akan berdampak pada martabat dan kehormatan negara di mata internasional dalam hal ketaatan menjalankan berbagai aturan yang sudah disepakati bersama. Tegas Dede mengakhiri keterangan.