BANYUWANGI beritalima.com – Kasus illegal fishing merupakan salah satu pelanggaran yang sering terjadi di laut. Praktek seperti itu sangat jarang terpantau masyakarat karena luasnya perairan yang dimiliki Kabupaten Banyuwangi sepanjang 185,3 KM. Satuan Polisi Perairan dan Udara (Satpolairud) Polres Banyuwangi pun harus berjuang ekstra keras untuk mengamankan wilayah perairan ujung timur Pulau Jawa.
Setidaknya 20 dalam sebulan korps dengan semboyan Arnavat Darpha Mahe wajib melakukan patroli perairan. Berarti minimal 5 kali dalam seminggu Police Marine harus rutin mengarungi Selat Bali dan laut selatan Jawa yang terhubung dengan Samudera Indonesia. Sementara jumlah personil Polairud hanya 20 orang.
Sarana yang dimiliki juga sangat terbatas. Sampai Mei 2017, Satpolairud Polres Banyuwangi yang bermarkas di Ketapang cuma memiliki satu buah skoci dan satu Kapal Polisi (KP) X-1033. Skoci itu digerakkan satu mesin tempel dengan kekuatan 40 Paarden Kracht (PK) atau daya kuda. Sedangkan KP X-1033 bermesin ganda dengan kapasitas masing-masing 150 PK dengan kecepatan sekitar 15 knot. Kecapatannya bisa kalah dengan kapal berkapasitas mesin di atasnya.
Baik skoci maupun kapal polisi ini bagian bodinya terbuat dari bahan fiber yang ringan sehingga bisa melaju dengan cepat di atas perairan. Namun bahan ini juga rentan dengan benturan gelombang karena mudah terbelah. Karena itu KP X-1033 tidak berani mengarungi perairan selatan Banyuwangi yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia.
Inisiatifnya, patroli menggunakan kapal polisi hanya sampai di sekitaran Perairan Plengkung di Kecamatan Tegal Dlimo. Selanjutnya patroli perairan di laut selatan harus diganti menggunakan kapal nelayan yang berbahan dasar kayu. Rute yang dilalui adalah Plengkung – Grajagan – Sukamade yang secara administratif masuk tiga kecamatan.
Tiga kawasan ini merupakan titik rawan penangkapan bayi lobster yang merupakan atensi Kementerian Kelautan. Keterangan Kasat Polairud Polres Banyuwangi AKP Subandi, transaksi benur menjamur sampai di Perairan Jenggawah, Jember yang berbatasan dengan Sukamade, Banyuwangi.
“Beberapa pelaku usaha serta nelayan benur sudah ada yang ditindak. Ada yang sudah bebas, juga ada yang sedang menjalani proses hukum. Polairud Banyuwangi bahkan beberapa kali melepas benur ke laut yang didapat dari hasil operasi,” jelas mantan Kasubag Humas Polres Banyuwangi.
Jika di wilayah selatan berkutat dengan masalah penangkapan benur, di kawasan tengah dan perairan sisi utara Banyuwangi diwarnai dengan praktek penangkapan ikan secara ilegal. Penggunaan putasium sianida masih saja ada meskipun beberapa pelakunya pernah dipidanakan.
Sarana yang terbatas serta anggaran yang besar menjadi kendala lengkap bagi Polisi Perairan. Menggunakan KP X-1033 yang bermesin ganda dengan kapasitas total 300 PK, per jam bisa menghabiskan 100 liter bensin pertamax. Selama satu jam itu kapal milik polisi hanya mampu menempuh kurang lebih 40 KM. Padahal luas perairan Banyuwangi 185,3 KM.
“Sekali jalan paling tidak menghabiskan anggaran antara 2-2,5 juta rupiah. Untuk 100 liter pertamax saja kalau harga sekarang 8.050 rupiah sudah Rp 805.000 ribu. Sedangkan sekali patroli bisa menempuh jarak lebih dari dua jam,” ujar Kasatpolair merinci.
Penambahan dan peremajaan sarana kapal sangat dibutuhkan untuk mengamankan kawasan perairan. Mengingat pengamanan dan penangkapan pelaku kejahatan yang beraksi di tengah laut tidak semudah di darat. Apabila jarak tempuh Ketapang – Pantai Bimorejo Wongsorejo melalui jalur darat cukup 25 menit, lewat laut bisa mencapai 1,5 jam perjalanan. Sementara tingkat kerawanan di kawasan perairan selalu membayangi Polisi Perairan. Selain perusakan laut, kejahatan lain semisal transaksi narkoba di tengah perairan juga patut diwaspadai mengingat Banyuwangi berbatasan dengan Bali, surganya wisatawan manca.
Solusinya, Satpolairud terus mendekati nelayan yang tinggal di area pesisir untuk ikut peduli terhadap kelestarian laut. Misalnya dengan mendorong warga membentuk kelompok masyakarat pengawas (Pokmaswas) yang secara swadaya mengamankan perairan di sekitar lokasi tinggalnya. Cara itu menuai hasil positif dengan banyaknya nelayan yang insaf dari aksi pengeboman ikan.
“Di Bangsring dulu rentan pengeboman ikan. Sekarang masyakaratnya berbalik arah menjadi pelestari laut dengan membentuk Pokmaswas Pesona Bahari. Bukti fisiknya bisa dilihat di Pantai Grand Watudodol. Banyak mantan pengebom ikan yang beralih menjadi pelaku wisata bahari. Di Bimorejo juga sama, ada Pokmaswas Mina Lestari yang mengembangkan penggunaan rumpon sehingga hasil tangkapannya naik terumbu karang aman,” papar AKP Subandi.
Dua Pokmaswas ini getol melakukan perlawanan terhadap pelaku illegal fishing. Caranya dengan melakukan pengusiran dan tidak turut serta mengambil ikan hasil pengeboman. Jika masyakarat umum enggan mengkonsumsi ikan hasil pengeboman, tentu pelaku bom ikan akan berpikir ulang sebelum beraksi. (Abi)