Perbedaan Pendapat Ulama Tidak Perlu Dibantah

  • Whatsapp

JOMBANG, beritalima.com – Perbedaan pendapat ulama sampai saat ini masih banyak yang belum difahami hingga terjadi konflik horizontal di masyarakat, padahal secara usul syariat Islam itu ketentuan dan hukumnya seragam dan itu sudah ditentukan oleh Allah langsung dan kemudian dijabarkan oleh Rasulullah SAW, contohnya shalat satu hari satu malam Dhuhur Ashar Magrib Isya Shubuh. Itu usul, enggak ada yang berbeda. Demikian pula rakaat – rakaatnya. Itu tidak ada yang berubah.

Demikian hal itu disampaikan KH. Cholil Dahlan, Pengasuh Ponpes Darul Ulum Jombang, Sabtu (15/6/2019) ketika diminta komentarnya di pondoknya, Jombang, Jawa Timur.

“Karena Islam itu dianut oleh bangsa – bangsa dan suku – suku maka oleh Allah memberikan aternatif, yang kedua disamping usul ada syariat yang bersifat furuq, yang berarti bercabang cabang. Cabang – cabang ini hukum dan ketentuannya bersifat nisbi/relatif ada pilihan,” terangnya.

Demikian dijelaskan Kyai Kholil, ditataran inilah para ulama berbeda pendapat sesuai dengan rujukan dalil pemikiran itu, salah satu contohnya shalat lagi seperti shalat sunnah, tntang rakaatnya shalat Dhuha, ada yang 16 rakaat dan ada yang 8 rakaat, ada yang dua rakaat, dan ada yang empat rakaat. Ini ulama yang berbeda – beda. Mana yang paling dipakai, rakaat itu sama Allah dikasih alternatif – alternatif.

“Demikian pula dalam pemikiran para ulama misalnya organisasi, itu secara usul al-qur’an dituntun oleh kanjeng nabi, umat islam itu untuk menyeleggarakan jamaah, jamaah itu organisasi. Dalam jama’ah organisasi, bagaimana bentuk jama’ah untuk pembentukan organisasi. Ini furuq tergantung masing – masing. Jadi misalkan seperti demokrasi Indonesia sekarang, itu juga bagiandri ketntuan syariat karena ada musyawarahnya,” tandasnya.

Sementara dijelaskan pengasuh Ponpes Darul Ulum, ketika musyawarah melibatkan seluruh umat, menurutnya itu ketentuan syariat. Sebelum Rasuullah SAW wafat, tugasnya ada dua, pertama sebagai Rasul, penerima wahyu kemudian menyampaikan wahyu kepada umatnya. Tugas yang kedua sebagai Amirul Mukminin pembimbing orang iman dalam rangka menjalankan syariat itu.

Namun ditegaskan Kyai Kholil, ketika Rasulullah wafat ini tugasnya langsung berhenti/habis, karena Allah tidak mengangkat Rasulullah lagi, kemudian barulah tugas Amirul Mukminin diteruskan oleh umatnya akan tetapi Rasulullah tidak memberikan petunjuk langsug secara konkret pada umatnya, “Kalau saya mati kamu yang jadi. Jadi tidak ada begitu,” ujar KH. Kholil Dahlan, Pengasuh Ponpes Darul Ulum Jombang.

Makanya umat islam lanjut Kyai, mencari isyarat – isyarat untuk mencari tanda – tanda, dan pesan – pesan rasulullah ditampung/digabung dan akhirnya ketemulah pengganti Rasulullah, yaitu Abu Bakar As Shiddiq dan ketika Abu Bakar wafat, cara meneruskan pemimpin amirul mukminin kepada Umar bin Khattab berbeda lagi dengan jaman Rasul. Dan dari Umar kepada Usman juga berbeda lagi, yang dalam sejarah itu namanya khalifah ur khulafah urrohiddin atau khalifah pilihan, yang dipilih pemimpinnya berdasarkan musyarawarah para umat. Tetapi bentuk musyawarahnya berbeda – beda setiap pergantian khlaifah.

“Setelah Syaidina Ali Wafat digantikan lagi oleh khalifah – khalifah berikutnya, model pemerintahannya seperti kerajaan, artinya apa sebelum dia mati anaknya ditunjuk sebagai pemimpin. Inilah yang dinamakan furuq dan kaitannya seperti pertentangan sekarang itu sah – sah saja. Memang Islam itu diberi wacana untuk berbeda pendapat dalam hal menyangkut masalah furuq. Yang usul ditutup rapat rapat hanya Allah yang menentukan,” pungkasnya.

Masih dijelaskan Kyai Cholil dengan adanya furuq itu, lalu kemudian ajaran Islam itu lebih dinamis bisa dianut oleh suku apapun dan bangsa apapun. Kendati diikuti oleh orang awan, yang semestinya membutuhkan ilmu. Makanya dalam alquran itu disebutkan wala taqfu maa laisa laka bihi’ ilmun innassam’a wal bashara wal fu’aada kullu uula-ika kaana’anhu mas-uulaa, artinya jangan engkau melakukan beribadah atau amal soleh tanpa ngerti ilmunya. Syarat menjalankan syariat Islam harus mengerti ilmunya, karena nantinya akan diminta pertanggung jawaban.

“Ketika mengamalkan syariat Islam dan kehidupan berbeda beda jadi tidak perlu dibantah tinggal pilihan kita yang seleranya yang mana,” tegasnya.

Lebih lanjut KH. Kholil menjelaskan terhadap sikap dan tingkah laku umat yang tidak pernah dijabarkan dalam alquran dan hadits, lalu menggunakan Ar Ra’yu, sebagai landasan hokum Islam dari pendapat ulama ketika memahami alquran dan hadist. Jadi sumber hukum Islam itu pokokya ada dua yaitu quran dan hadits. Yang ketiga ini sumber sekunder (ar ra’yu/pendapat ulama), pendapat ulama ini metodenya terdiri dari dua hal, yaitu Kias dan Ijma. Kias berarti haram karena disebabkan tidak ada mudharatnya dan Ijma berarti para ulama berkumpul untuk memutuskan hukum tertentu ketika di alquran dan hadits tidak ada. ddm

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *