Oleh: Drs.H. Asmu’i, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)
Menurut UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, cerai talak merupakan salah satu cara menempuh perceraian di samping cerai gugat. Banyak orang bertanya, apa perbedaan cerai talak dengan cerai gugat? Cerai Talak diatur oleh Pasal 66 UU Nomor 7 Tahun 1989 sedangkan cerai gugat diatur dalam Pasal 83UU Nomor 7 Tahun 1989. Perbedaan keduanya terletak pada siapa yang bertindak sebagai pengaju perkara.
Pada cerai talak yang mengajukan adalah suami sedangkan pada cerai gugat yang mengajukan adalah istri. Berlakunya putusan perceraian pada cerai talak ialah sejak suami mengikrarkan talak di depan sidang Pengadilan Agama. Setelah suami mengikrarkan talak di depan sidang, suami istri telah resmi bercerai atau berstatus duda dan janda. Forum sidang itu sendiri oleh Majelis Hakim sengaja dibuka lagi, setelah putusan permohonan cerai yang diajukan suami dan telah dikabulkanitu, telah berkekuatan hukum tetap. Sedangkan pada cerai gugat, berlakuknya putusan perceraian setelah putusan tersebut berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde.)
Akan tetapi siapun pengajunya penyebabnya adalah satu, yaitu merasa tidak nyaman dengan pasangan masing-masing. Penyebab tidak nyaman itu sendiri bisa berjuta alasan. Mengenai hal ini, Syaikh Al Shabuni dalam salah satu kitabnya Mada Hurriyatuz Zaujaini Juz I halaman 83, membuat pernyataan menarik sebagai berikut:
“Islam memilih lembaga talak ketika rumah tangga sudah dianggap goncang, serta sudah dianggap tidak bermanfaat lagi nasihat/ perdamaian, dan hubungan suami istri telah hampa. Sebab, meneruskan perkawinan yang demikian berarti menghukum salah satu dari suami isteri itu dengan penjara yang berkepanjangan. Yang demikian,merupakan suatu aniaya yang bertentangan dengan keadilan.”
Statmen tersebut memberikan pencerahan kepada kita agar tidak terburu berburuk sangka kepada setiap pasangan yang melakukan perceraian. Dalam situasi dan kondisi tertentuperceraian–yang sering distigmakan sebagai perkara yang halal tetapi dibenci Allah ini–adakalanya memang perlu ditempuh.
Dengan menyadari alasan yang meletarbelakanginya, maka perceraian mestinya tetap dalam kerangka “al-tasrih bi ihsan”, seperti yang konsepkan oleh Al Qur’an. Sebab, suami istri yang semula berumah tangga sebelumnya memang tidak mengetahui hakikat watak dan perangai masing-masing. Ketika sama-sama mabuk buaian asmara, keburukan dari pasangan itu biasanya tenggelam dalam-dalam. Sikap culas nan menipu tidak terlihat sedikitpun karena tertutup oleh indahnya cumbu rayu. Tetapi ketika keindahan dan kebiasaan cumbu rayu itu perlahan hilang, secara pelan tapi pasti, sejumlah keburukan itu pun muncul kambali ke permukaan. Biduk rumah tangga pun harus kandas akibat kekurangan masing-masing kini terlihat jelas.
Yang pasti, ternyata Allah telah mengantisipasi hal demikian dengan memberi dua pilihan setiap pasangan yang menikah, yaitu “menahan” dan “melepas” istri dengan cara yang baik (imsakun bi makruf atau tasrihun biihsan). Penjabaran dari 2 pilihan ini ialah, jika masing-masing tetap bertahan dengan pasangannya (betapapun ) buruknya tetap harus menjaga hubungan baik. Jangan melakukan hubungan semu: bersatu secara fisik tetapi berjauhan secara hati (rukun tidak, bercerai pun tidak). Melainkan, jika sudah merasa tidak tahan sehingga harus mengakhiri perkawinan, pasangan itu hendaknya bercerai dengan baik.
Perceraian yang baik, apabila diajukan oleh suami ialah ketika mantan suami bersedia memberikan hak-hak istri: nafkah iddah dan mut’ah. Mut’ah ialah pemberian bekas suami, berupa benda atau uang atau apapun yang bernilai, kepada istri yang dijatuhi talak oleh suami. Nafkah iddah ialah nafkah yang harus diberikan oleh suami kepada istri selama menjalani masa iddah, yaitu selama 90 hari. Nafkah iddah ini harus diberikan mantan suami, juga atas adanya alasan hukum, bahwa mantan istri tersebut harus menahan diri untuk tidak menerima pinangan laki-laki lain selama masa iddah. Seorang suami yang menceraikan istrinya dengan cara yang baik juga harus membuat program mengenai masa depan anak-anaknya. Komitmen ini lahir sebagai akibat adanya fakta, bahwa anak tidak pernah bisa diceraikan dari kedua orang tuanya meskipun kedua orang tuanya bercerai. Program ini bukan hanya dalam bentuk program ideal yang tertulis di atas kertas, tetapi program ideal yang nyata dengan iktikad baik, dalam bentuk anggaran yang jelas untuk keperluaan hidup (pendidikan, kesehatan, dan keperluan lain) anak-anaknya agar bisa tumbuh secara wajar. Dan, yang lebih penting bisa hidup lebih baik dari kedua orang tuanya. Ketika suami sedikitpun tidak membuat komitmen demikian maka istri yang dicerai tidak saja akan memberontak tetapi yang lebih penting, suami melanggar visi perceraian yang ditetapkan oleh Allah SWT ( At tasrikh bi ihsan).
Relaita menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki dapat menyadari, bahwa perceraian yang dilakukan itu dilakukan dengan penuh kesadaran keharusan memberikan hak-hak mantan istri dan masa depan anak. Hal ini terbukti, sebelum diajukan gugatan balik oleh istri, hampir tidak satupun suami yang menceraikan istrinya, dalam suat permohonannya, menyertakan kesediaan memberikan hak-hak istri dan anak-anak tersebut. Kalaupun kemudian istri dalam jawabannya menggugat balik hak-hak tersebut, selalu saja ada alasan suami untuk menghindar dari kewajiban itu.
Untuk menguatkan argumentasinya biasanya suami itu mengungkap sejumlah ‘dosa’ istri. Sejumlah alasan berikut argumentasi dan bukti-ukti yang diajukan dimaksudkan untuk meyakinkan hakim bahwa istri tidak berhak lagi memperoleh hak-haknya itu. Kalau keculasan ini berahasil mengelabuhi Hakim, maka terjadilah perceraian yang tidak ideal: istri dicerai tetapi hak-hak yang seharusnya ia terima berikut anaknya terabaikan.
Pada saat yang lain ada pula istri yang dicerai suaminya menjadi “Raja Tega”. Suami yang menceraikannya karena alasan ‘yang dibenarkan’ dan pada akhirnya, berhasil dibuktikan oleh suami, terkendala akibat adanya gugatan balik dari istri yang tidak rasional. Letak ketidakrasionalan ini ialah ketika istri, dalam gugatan baliknya, dengan sengaja mambadrol suami dengan nilai beban yang tidak sesuai dengan kondisi riil kemampuan suami. Sementara istri sendiri sebenarnya juga orang yang sama sekali tidak berdaya. Disebut sama sekali tidak tak berdaya karena berpenghasilan tetap sementara istri adalah seorang perempuan berpenghasilan tetap.
Kondisi ini semakin menemukan kesempatan ketika sebagai penggugat balik (rekonvensi) mewakilnya kepadalawyer. Ruang melakukan penuntutan suami oleh istri, baik pada cerai talak maupun cerai gugat, tersebut kini secara formal talah mendapat dukungan aturan hukum. Aturan dimaksud adalah Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Tetapi, para praktisi mungkin lupa, bahwa perma “pro perempuan” itu, semula dimaksudkan untuk melindungi para perempuan yang pada umumnya ‘tertindas’. Fakta menunjukkan, bahwa dalam perceraian tidak semua perempuan dalam posisi tertindas. Ada sejumlah perempuan perkasa. Disebut perkasa karena dibanding suaminya secara ekonomi dan sosial melebihi suaminya. Tetapi kini aturan itu sering dijadikan pedoman untuk semua kasus, termasuk kasus perempuan perempuan “superwoman” untuk ‘menindas’ para suami yang ingin menceraikannya. Atau, dengan kalimat lain dapat dikatakan, telah terjadi generalisasi penerapan perma tadi.
Para penegak hukum di lapangan tampaknya perlu cermat dan selektif ketika mengimplementasikan perma ketika bersentuhan dengan kasus perceraian yang melibatkan perempuan dengan prototipe demikian. Khusus bagi para hakim, kecermatan dan selektivitas menerapkannya diharapkan mampu memperoleh keadilan substansial. Dan, yang lebih penting lagi bagaimana penerapan perma itu dapat mencapai “visi rabbani” dalam hal perkawinan, yaitu “berkumpul atau bercerai dengan cara yang baik” sebagaimana telah dikemukakan. Jangan sampai terjadi di pengadilan saat setelah palu perceraian diketukkan meja hijau dan sang hakim menyarankan agar saling minta maaf satu sama lain, selah satu pasangan mengatakan: “Sampai kiamat pun anda tidak akan saya maafkan.” Nah, kalau sudah demikian salah siapa?
Biodata Penulis
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 19910301 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama Madya, IV/d
Pendidikan :
1. SD Negeri Sumberejo, 1975
2. MTs Negeri Srono, 1979
3. PGA Negeri Situbondo, 1982
4. Pondok Pesantren Misbahul Ulum Situbondo ( 1979-1982 )
5. Sarjana Muda Fak. Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1986
6. Sarjana Lengkap (S-1) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1988
7. S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni.
Pengalaman Tugas :
Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA2011-2016
Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas I A, 2016-2021.
Sekarang: :
Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A, 31 Agustus 2021- sampai sekarang.
Alamat rumah : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com