JAKARTA – Indonesia akan menjadi tuan rumah Napak Tilas Ekspedisi Laut Magelhaens pada 2021. Momentum itu akan menjadi pengingat bahwa Nusantara merupakan negeri yang kaya raya sehingga menjadi pusat perhatian bangsa-bangsa di seluruh belahan dunia.
Di tanah Nusantara juga pernah ada kerajaan Majapahit yang menjadi kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Asia Tenggara selama 200 tahun. Kerajaan ini kaya raya serta berkontribusi besar dan ikut membangun peradaban maritim dunia, sehingga menjadi pusat perhatian bangsa-bangsa di dunia, terutama Eropa.
Itulah salah satu kesimpulan Pertemuan Tim Kecil Perumusan Tujuan dan Manfaat Partisipasi Indonesia dalam Peringatan 500 Tahun Circumnavigation yang digelar Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) di Hotel Arya Duta, Jakarta, beberapa waktu lalu. Dalam kegiatan itu juga hadir para pembicara seperti Direktur Eropa I Kemenlu Dino R Kusnadi, Staf Ahli Wali Kota Tidore Asrul Sani, dan ahli sejarah dari Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso.
Direktur Jenderal Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Muhammad Anshor mengatakan, peringatan Magelhaens mengelilingi dunia itu memang sempat dikhawatirkan sebagai momentum peringatan kemenangan kolonialisme dan mulainya penjajahan di Bumi Nusantara. Namun, pada sisi lain, peringatan itu sebetulnya menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sejarah besar sebagai wilayah kaya raya dengan rempah-rempah.
”Terkait peringatan 500 tahun Circumnavigation diharapkan ada concept note dengan narasi positif mengenai tujuan dan manfaat keikutsertaan Indonesia dalam peringatan circumnavigation,” ujar Dirjen Muhammad Anshor.
Ahli sejarah asal Universitas Indonesia (UI) Bondan Kanumoyoso menyatakan, pelayaran bangsa Eropa keliling dunia merupakan awal dari globalisasi. Ekspedisi laut itu dipicu oleh kepentingan bangsa Eropa untuk menemukan kepulauan rempah-rempah yang terletak di Indonesia Timur.
“Circumnavigation telah mendorong terjadinya interaksi antara bangsa Eropa dan bangsa-bangsa lain di dunia. Di Indonesia kedatangan bangsa Barat mengubah pola perdagangan rempah-rempah dari perdagangan bebas menjadi monopoli,” ujar Bondan.
Karena itu, kata Bondan, perspektif sejarah nasional menyatakan bahwa kedatangan bangsa Barat, didahului oleh circumnavigation, mengawali kolonialisme di Indonesia. Hal ini tidak sepenuhnya salah, namun di sisi lain kedatangan bangsa Barat juga dapat dimaknai sebagai dimulainya globalisasi yang diawali dari Indonesia.
“Berdasarkan itu, menurut Bondan, circumnavigation patut diperingati karena telah mendorong semakin intensifnya interaksi antarbangsa. Circumnavigation telah memicu terjadinya kemajuan peradaban melalui pertukaran budaya (agama, teknologi, ilmu pengetahuan, bahasa, dll),” tegas Bondan.
Direktur Eropa I Kemenlu Dino R Kusnadi menambahkan, peringatan Napak Tilas Ekspedisi Magelhaens 2021 harus memberikan azas manfaat kepada Indonesia yang menjadi tuan rumah. Terutama, Kota Tidore, Maluku Utara, yang akan menjadi bagian dari 23 kota yang disinggahi ekspedisi napak tilas Magelhaens. Karena itu, dia sangat mendukung digelarnya Sail Tidore sebagai upaya penyambutan ekspedisi laut terbesar di dunia itu.
”Sail Tidore adalah salah satu bagian utama dari Sail Magellan. Jadi, event itu perlu disambut secara baik. Sail Tidore juga perlu dukungan dari pemerintah Pusat agar lebih baik, menarik, dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,” tegas Dino.
Ketua Umum Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Pusat Hendardji Soepandji juga mengatakan, narasi peringatan Napak Tilas Magelhaens bukan upaya untuk mengingat-ngingat luka lama akibat penjajahan bangsa Eropa. Tapi di balik itu, momentum peringatan itu lebih kepada memberikan edukasi kepada anak bangsa bahwa Indonesia adalah bangsa besar sejak masa lalu.
Bahkan, sebelum kehadiran para penjelajah Eropa, keharuman Indonesia sebetulnya sudah terdengar ke seluruh penjuru dunia lewat kebesaran Majapahit pada 700 tahun lalu, yakni pada abad ke-13 hingga pertengahan abad ke-15. Selama 200 tahun berkuasa, kerajaan itu dikenal sebagai kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara yang pengaruhnya sampai ke seluruh penjuru dunia, termasuk Eropa. ”Sehingga pasca runtuhnya Majapahit pada akhir abad ke-15, distribusi rempah-rempah ke Eropa terhenti yang kemudian menyebabkan krisis ekonomi di Eropa. Jadi, krisis ekonomi di Eropa di masa lalu memang karena distribusi rempah-rempah terhenti, namun tidak diketahui asal usul sumber rempah-rempah,” ujar Hendardji.
Hendardji mengungkapkan, narasi awal napak tilas sebaiknya tidak dimulai dari ketegangan antara Portugis dan Spanyol pada 1490 yang berlanjut pada perjanjian Tordesillas di Vatikan pada 1494. Tapi, narasi harus dimulai dari kebesaran Majapahit 700 tahun lalu dan pascaruntuhnya 500 tahun lalu, sehingga distribusi rempah ke Eropa terhenti.
Menurut dia, ini mengingatkan kita semua bahwa persatuan dan kesatuan bangsa akan membawa kekuatan yang dahsyat sebagaimana diingatkan Prof Muhammad Yamin tentang Bhineka Tunggal Ika yang merupakan sasanti Majapahit dan bendera Merah Putih yang menjadi bendera kebesaran Majapahit.
”Keharuman Majapahit pula yang membuat bangsa-bangsa Eropa penasaran untuk bisa datang ke Indonesia saat itu meskipun baru bisa terwujud pada awal abad ke-16 atau sekitar 33 tahun setelah Majapahit runtuh,” ujar Hendardji.
Hendardji menjelaskan, pada era Majapahit distribusi rempah dari Maluku ke Jawa dan Sumatera kemudian ke Malaka yang menjadi bagian dari Majapahit, dan dari Malaka menyebar ke seluruh dunia. Sehingga, pada waktu itu Malaka lebih dikenal sabagai pusat rempah-rempah, namun setelah 1511 Portugis datang ke Malaka ternyata pusat rempah-rempah bukan di Malaka, melainkan Maluku.
Karena itu wajar jika bangsa Eropa berbondong-bondong ke Maluku demi mendapatkan rempah-rempah ketika persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia belum terbentuk. Itu pula yang membuat adanya sejarah Magelhaens di Tidore yang akan diperingati pada 2021 dalam Napak Tilas 500 Tahun Ekspedisi Magelhaens. *