Peringati Hari Konstitusi, SETARA Institute Tolak Revisi UU Pelemahan MK

  • Whatsapp
Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani

JAKARTA, beritalima.com | SETARA Institute menolak tegas revisi Undang-undang (UU) yang melemahkan kelembagaan Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satunya mengenai pengaturan usia minimal hakim MK yang dinilai tak ada hubungannya dengan kebutuhan penguatan kelembagaan MK.

“Setara Institute menolak revisi UU MK yang justru melemahkan MK, salah satunya melalui pengaturan usia minimal hakim MK, yang jelas tidak memiliki relevansi dengan kebutuhan penguatan MK,” tegas Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani, melalui rilis yang diterima beritalima.com,  Senin (17/8/2020).

Wacana revisi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) yang diajukan Baleg DPR menimbulkan pertanyaan publik. Beberapa hal yang menjadi kontroversi di antaranya mengenai perubahan syarat minimal usia untuk menjadi hakim konstitusi dari 47 menjadi 60 tahun, dan perubahan ketentuan aturan masa jabatan hakim konstitusi dari model periodisasi ke batas usia maksimum 70 tahun.

Menurut Ismail, tidak ada argumen akademis yang melatarbelakangi rencana perubahan ini. SETARA Institute menduga perubahan batas usia hakim tersebut untuk memanjakan Hakim Konstitusi medioker yang loyal dengan pembentukan UU.

“Peningkatan batas minimal usia Hakim MK dari 47 menjadi 60 dan batas pensiun dari 65 menjadi 70 tahun, berikut ketentuan ikutannya yang mengatur perihal Hakim Konstitusi yang belum berusia 60 tahun tidak bisa dipilih kembali untuk periode kedua, jelas merupakan akal-akalan pembentuk UU,” ujarnya.

Ismail mengatakan, daripada membahas pengaturan usia minimal hakim MK, SETARA Institute mendorong DPR dan Pemerintah fokus pada sejumlah hal yang diyakini memperkuat kelembagaan MK, di antaranya mengenai standarisasi mekanisme seleksi Hakim Konstitusi untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam pemilihan Hakim Konstitusi oleh masing-masing lembaga dan penguatan pengaturan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi, khususnya mengadopsi aspirasi tentang pentingnya external oversight committee.

“Sebagaimana pernah diatur dalam Perppu Nomor 1/2013 tentang Perubahan Kedua UU Mahkamah Konstitusi, yang merespons penangkapan Akil Mochtar pada 2013, tetapi kemudian dibatalkan sendiri oleh MK,” tambahnya.

Penguatan kelembagaan masih dibutuhkan oleh MK. Hal ini mengingat MK sebagai pengawal konstitusi bukanlah institusi yang memiliki immunitas tinggi untuk terjangkit penyakit korupsi atau pelanggaran etik. Perkara suap terkait penanganan sengketa Pilkada yang menjerat mantan Ketua MK Akil Mochtar serta perkara suap pengurusan uji materi atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang menjerat mantan Hakim Konstitusi, Patrialis Akbar menjadi pelajaran penting dalam 17 tahun perjalanan MK.

“Selalu ada potensi penyalahgunaan kewenangan, baik dalam bentuk memperdagangkan perkara maupun dugaan memperdagangkan pengaruh. Oleh karena itu penguatan kelembagaan MK masih menjadi kebutuhan,” katanya.

Selain melalui revisi UU, penguatan kelembagaan dapat dilakukan MK dengan merealisasikan gagasan justice office. Gagasan ini dinilai dapat membangun disiplin berpikir yang berorientasi pada penguatan kualitas putusan maupun penguatan dukungan bagi hakim-hakim MK. Justice  office mengandaikan bahwa setiap hakim konstitusi memiliki supporting system yang terdiri dari sosok-sosok yang ahli di bidang hukum ketatanegaraan dan ahli multidispilin ilmu.

Disebutkan, Laporan Kinerja MK merupakan laporan riset tahunan yang disusun oleh SETARA Institute sejak 2013 dan secara reguler dirilis pada 18 Agustus sebagai bagian dari partisipasi perayaan Hari Konstitusi. Laporan ini bertujuan mempelajari kualitas putusan Mahkamah Konstitusi dan mendorong kepatuhan para penyelenggara negara dan warga negara pada Konstitusi.

Selama 17 tahun sejak berdiri pada 2003, MK tercatat telah menangani 1.333 perkara pengujian undang-undang yang menguji 304 UU. MK telah menjadi salah satu mekanisme nasional penegakan HAM yang paling efektif melalui putusan-putusannya yang kondusif dan kontributif pada pemajuan HAM dan demokrasi, meskipun MK dan hakim-hakim MK belum memiliki paradigma dan madzhab pemikiran yang bisa dikenali dan dipelajari melalui putusan-putusannya.

“Untuk itu, SETARA Institute mendorong pelembagaan popular constitusionalisme sebagai madzhab pemikiran yang menjadi pedoman MK dalam memutus perkara dengan memusatkan kepentingan rakyat sebagai sentrum dasar putusan,” kata Ismail.

Dari segi kualitas putusan, pada periode 10 Agustus 2019-18 Agustus 2020, MK mengeluarkan 75 putusan pengujian undang-undang. Sebanyak empat putusan diantaranya putusan kabul, 27 putusan tolak, 32 putusan tidak dapat diterima atau NO (niet ontvankelijk verklaard), 10 produk hukum yang berbentuk ketetapan-ketetapan dan dua putusan gugur.

Dari 75 putusan itu, SETARA Institute memberikan tone positif pada lima putusan, yakni tiga putusan kabul dan dua putusan tolak, dan selebihnya sebanyak 70 putusan lainnya diberikan tone netral.

“Tone positif merujuk pada putusan-putusan berkualitas baik dan progresif menjawab problem konstitusionalitas norma serta memperkuat prinsip rule of law dan promosi hak asasi manusia. Tone negatif merujuk pada kualitas putusan yang regresif dan melemahkan prinsip rule of law dan demosi hak asasi manusia dan tone netral untuk menunjuk putusan-putusan yang biasa saja, dimana sudah seharusnya MK memutus suatu perkara yang dipersoalkan,” paparnya.

Selain tidak ada tone negatif dari segi kualitas putusan, SETARA juga menilai MK mengalami kemajuan signifikan dalam hal disiplin tidak melakukan ultra petita atau memutus melebihi permohonan yang dimohonkan dan ultra vires atau memutus dengan melampaui kewenangannya hingga membentuk norma baru.

Pada periode riset, yakni 10 Agustus 2019 hingga 18 Agustus 2020, SETARA Institute tidak menemukan putusan MK yang ultra petita, namun masih menemukan praktik ultra vires. Terdapat empat putusan MK yang membentuk lima norma baru.

“Sedangkan dari sisi managemen perkara, prosedur dismissal, managemen waktu berperkara dalam pengujian UU dan lama waktu pembacaan putusan (Pleno) setelah Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), mengalami kemajuan,” pungkasnya. (Ganefo)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait