Periode Kedua Jokowi, PKS: Ekonomi, Hukum dan Politik Ambyar, Yang Naik Utang

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Sejak dilantik menjadi presiden periode kedua, 20 Oktober tahun lalu, Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) banyak mendapat sorotan negatif dari masyarakat karena secara umum kinerja Pemerintahan Jokowi di bawah standar.

Kinerja yang ada jauh dari janji Jokowi kepada rakyat.

“Pemerintahan Jokowi pada periode kedua ini ambyar. Hampir semua sektor kehidupan mengalami grafik penurunan. Yang naik hanya utang dan kasus penangkapan aktivis politik yang kritis terhadap pemerintah,” ungkap politisi senior Dr H Mulyanto.

Dalam keterangan melalui WhatsApp (WA) kepada Beritalima.com, Rabu (21/10) pagi, Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI bidang Industri dan Pembangunan ini mengatakan, secara sosial kemasyarakatan, masyarakat Indonesia terbelah menjadi cebong-kadrun.

Pemerintah yang seharusnya mendamaikan ternyata malah jadi sumber perpecahan. Hal ini ditandai dengan adanya kelompok influencer (berpengaruh) di media sosial yang digerakkan sebagai buzzer dan didanai negara. Tidak tanggung-tanggung besaran dana untuk influencer dan buzzer ini lebih besar daripada anggaran riset vaksin.

“Pemerintahan Jokowi gagal membangun rasa kebersamaan masyarakat yang pada Presiden sebelumnya terjalin dengan baik. Dengan segala sumberdaya dan kewenangan yang dimiliki, Pemerintah harusnya bisa mencegah keadaan ini agar tidak meluas. Sayangnya, Pemerintah terkesan menikmati kondisi ini daripada menyelesaikan sehingga masyarakat kita rentan dari perpecahan,” ujar Mulyanto.

Secara politik, Mulyanto berpendapat, Pemerintah merasa terganggu oposisi, baik di parlemen maupun luar parlemen. Pemerintah menganggap oposisi sebagai ancaman sehingga perlu ditiadakan dengan segala cara.

“Demokrasi mensyaratkan ada oposisi sebagai penyeimbang kekuasaan. Dengan adanya oposisi, Pemerintah dapat dikontrol dan berjalan pada rel yang sudah ditentukan Undang-Undang. Di parlemen, hampir semua kekuatan partai politik dirangkul menjadi koalisi Pemerintah. Harusnya oposisi termasuk diluar Parlemen diberi ruang menyampaikan pendapat dan kritiknya. Jangan didiskreditkan sebagai ancaman negara.”

Karena itu, wajar jika kelompok oposisi yang semula lebih bersifat keummatan, yang disimbolkan dengan tokoh Habib Rizieq Shihab, semakin melebar dengan dideklarasikannya oposisi yang lebih bersifat kebangsaan melalui gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dengan tokoh sentralnya Prof Din Syamsudin dan Jendral Purnawirawan Gatot Nurmantyo,” ujar Mulyanto.

Dalam setahun periode kedua Pemerintahan Jokowi, Mulyanto juga menyoroti tumbuhnya politik dinasti, dimana anak-menantu Jokowi terjun dalam Pilkada. Secara aturan mungkin pelibatan anak dan mantu dalam hajat pilkada tidak dilarang tapi secara etika dinilai kurang pantas. Etika itu lebih tinggi dari aturan.

Pada periode ini kita merasakan betul ada praktek oligarki kekuasaan, dimana ada ‘kerjasama terlarang’ antara penguasa dan pengusaha dalam melahirkan kebijakan-kebijakan pihak tertentu. Hal ini dapat terlihat dari UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang mendukung pemodal mengeksploitasi sebesar-besarnya kekayaan negara.

“Tentu hal tersebut menjadi warna yang sangat tidak elok dan menyimpan ketidakadilan dalam wajah perpolitikan di satu tahun pemerintahan Jokowi,” demikian Dr. H Mulyanto. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait