Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Banjarmasin)
Isu tentang anak nyaris tidak pernah habis diperbincangkan. Salah satunya adalah tentang pernikahan dini. Istilah ini muncul antara lain disebabkan oleh maraknya perkara dispensasi kawin beberapa tahun lalu.
Sebagaimana diketahui, bahwa beberapa tahun lalu, ketentuan tentang batas minimal usia nikah bagi perempuan diubah. Semula menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 batas usia minimal nikah adalah usia 16 tahun sedangkan menurut ketentuan baru, yaitu UU Nomor 16 tahun 2019 diubah menjadi 19 tahun. Dengan demimian baik laki-laki maupun perempuan syarat diperbolehkan nikah, antara lain, harus sudah berusia 19 tahun. Perubahan ketentuan itulah, sejatinya yang menjadi penyebab utama mangapa perkara dispensasi kawin di pengadilan (agama) dalam kurun waktu lebih kurang 3 tahun kemudian, meningkat hampir 1000 persen. Dan, menyadari akan terjadinya lonjakan tersebut Mahkamah Agung pun telah menerbitkan regulasi, yaitu Perma Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Perkara Dispensasi Kawin.
Akibat pengadilan mengabulkan hampir 99 persen, tampaknya mata para penggiat anak tertuju ke pengadilan. Berbagai komnentar miring pun dialamatkan ke pengadilan. Bahkan, di antara komentar tersebut ada yang sangat menyudutkan pengadilan, khususnya hakim pemeriksa, seperti tidak profesional atau pengadilan tidak responsif.
Yang menjadi inti persoalan sebenarnya bukan masalah lonjakan perkara melainkan masih terjadinya perkawinan anak dengan berbagai mudaratnya. Beradasarkan data INICEF tahun 2023, Indonedia masih menempati peringkat keempat dunia. Dan, yang menjadi harapan terakhir penutup pintunya adalah pengadilan. Logika mereka sederhana, UU telah mensyaratkan, bagi yang belum mencapai batas umur minimal, jika ingin menikah, harus ada izin pengadilan. Kalau pengadilan tidak mengizinkan, maka tidak mungkin perkawinan anak itu terjadi. Mereka tampaknya lupa atau mungkin tidak mengerti tentang bekerjanya institusi peradilan yang bertugas mengadili kasus manusia.
Saat menangani kasus manusia tidak semata hanya bertumpu pada aturan. Saat menghadapi kasus, hakim akan menegakkan aturan tersebut. Akan tetapi, apakah aturan tersebut akan diterapkan apa adanya atau ditafsirkan, atau bahkan disimpangi karena alasan tertentu, tergantung kasus yang dihadapi.
Problem yang menjadi persoalan sampai saat ini adalah masih banyak masyarakat yang berfikir hitam putih, dalam hal ini aturan yang ada diterapkan saja apa adanya. Mereka lupa bahwa sejauh mengenai hukum materiil sejatinya hakim diberi ‘kebebasan’ untuk menerapkan apa adanya, menafsirkan, atau bahkan menyimpangi. Saat mengadili kasus dispensasi nikah, tampaknya hakim memang berhadapan norma hukum yang memberikan peluang kebebasan itu.
Perma Nomor 5 Tahun 2019 di atas telah mengatur agak detail mengenai penanganan perkara dispensasi kawin. Pengaturan tersebut misalnya tentang siapa yang berhak mengajukan, syarat-syarat administrasi yang harus dilengkapi oleh pengaju, siapa yang harus hadir di persidangan, dan kualifikasi hakim yang memeriksa perkara. Perma tersebut sejatinya merupakan hukum formil (Hukum Acara) dalam perkara dispensasi kawin yang selama dianggap belum diatur secara tegas dan rinci dalam peraturan perundang-undangan. Kebebasan hakim dimaksud adalah sebagaimana yang tersirat dalam Pasal 17 ayat 1 dan 2 yang pada pokoknya berisi ketentuan bahwa permohonan disensasi kawin mempertimbangkan “kepentingan terbaik bagi anak”. Kepentingan terbaik dimaksud memang bukan “hanya asal” melainkan tetap bertumpu kepada UU dan hukum, baik hukum tertulis maupun tidak tertulis, rasa keadilan masyarakat dan konvensi dan/atau perjanjian internasional terkait dengan perlindungan anak.
Akibat kebebasan tersebut, bagi hakim memang bukan tanpa risiko. Resiko tersebut setidaknya ada 2 aspek, yaitu risiko akademik dan risiko keamanan. Risiko akademik, misalnya banyak hakim yang disorot akibat putusannya dinilai terlalu dangkal. Keputusan hakim dinilai tidak mempertimbangkan perkawinan anak dari berbagai aspek. Standar kualifikasi hakim pemeriksa memang tidak memungkinkan terpenuhinya kriteria ideal tersebut, mengingat hakim sejatinya hanyalah seorang ahli hukum, bukan ahli kesehatan, ahli jiwa atau ahli lainnya. Dia perlu mitra untuk melihat kasus dari berbagai perpektifnya.
Risiko keamanan yang dialami hakim, tidak jarang hakim yang menolak dispensasi kawin mendapat teror. Bahkan, tekanan pada perkara yang melibatakan etnis tertentu, bisa terjadi sejak persidangan berlangsung. Secara psikologis, dalam satu kasus tertentu, hakim mungkin akan lebih tenang mengabulkan permohonan dispensasi kawin ketimbang menolaknya. Toh, secara agama bukankah perkawinan diperbolehkan bagi yang telah mencapai akil balig dan dipermudah, bahkan termasuk termasuk salah satu dari 3 jenis perkara yang harus disegerakan, sebagaimana yang ‘difatwakan’ para ulama selama ini?
Dua hal tersebut menginspirasi kita tentang perlunya dibuat satu regulasi berupa tahapan dalam hukum acara. yaitu kewajiban (secara imperatif) bagi hakim mendengarkan keterangan ahli di persidangan. Para ahli inilah yang akan berbicara di persidangan dengan melihat kasus dari berbagai perspektifnya. Menurut yang diisyaratkan oleh Pasal 12 dan Pasal 13 Perma Nomor 5 Tahun 2019, setidaknya para ahli dimaksud meliputi ahli pendidikan, ahli kesehatan, dan psikolog. Oleh karena mereka bukan saksi demi pengayaan kajian, hakim tentu boleh menanyakan dalam persidangan pendapat ahli tersebut. Keikutsertaan pihak eksternal dalam peradilan ini tentu tetap dalam kerangka tidak boleh mengurangi independensi hakim. Kehadiran mereka hanya sebagai second opinion. Akan tetapi karena disampaikan di persidangan maka pendapat dan keterangan ahli tersebut bisa didengar langsung oleh semua yang terlibat dalam perkara, dalam hal ini calon mempelai dan seluruh keluarganya yang hadir di persidangan. Berbeda dengan yang terjadi selama ini, keterlibatan pihak ketiga sebagaimana keterlibatan pihak ketiga tersebut hanya bersifat fakultatif, bukan imperatif.
Kalua hal tersebut bisa terpenuhi di samping pemeriksaan perkara dispensasi kawin akan lebih ‘bergengsi’. Keputusan yang dibuat hakim pun diharapkan mempunyai bobot akademik yang tinggi. Dengan keterlibatan para ahli tersebut, secara psikologis hakim juga merasa tidak sendirian. Sebab, apa yang dituangkan dalam keputusan sejatinya merupakan kristalisasi pendapat hukum setelah mendengar masukan dari berbagai aspek. Meskipun keputusan itu dibuat oleh hakim, secara sosial, pihak yang perkaranya ditolakpun tidak serta merta menyalahkan hakim. Sebagai salah satu upaya memperketat terjadinya pernikahan dini akibat adanya ‘izin pengadilan’, semoga segmen hukum acara “Kewajiban Mendengarkan Keterangan Ahli di Persidangan”, dalam perkara dispensasi kawin ini, segera terwujud. Semoga.