Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)
Lebih setahun yang lalu Dirjen Bimas Islam Kementrian Agama RI telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor P-005/DJ.III/HK.00.7/10/21 tanggal 29 Oktober 2021 tentang pernikahan dalam masa iddah istri. Surat ditujukan kepada Kantor Wilayah Kementrian Agama se-Indonesia. Isi surat tersebut memuat 5 ketentuan sebagai berikut:
1. Pencatatan pernikahan bagi laki-laki dan perempuan yang berstatus duda/janda cerai hidup hanya dapat dilakukan apabila yang bersangkutan telah resmi bercerai yang dibuktikan dengan akta cerai dari pengadilan agama yang telah dinyatakan inkrah;
2. Ketentuan masa idah istri akibat perceraian merupakan kesempatan bagi kedua pihak suami dan istri nutuk dapat berpikir ulang untuk membangun kembali rumah tangga yang terpisah karena perceraian;
3. Laki-laki bekas suami dapat melakukan pernikahan dengan perempuan lain apabila telah selesai masa idah bekas istrinya;
4. Apabila laki-laki bekas suami menikahi perempuan lain dalam masa idah, sedangkan ia masih memiliki kesempatan merujuk bekas istrinya, maka hal tersebut dapat berpotensi terjadinya poligami terselubung;
5. Dalam hal bekas suami telah menikahi perempuan lain dalam masa idah bekas istrinya itu, ia hanya dapat merujuk bekas istrinya setelah mendapat izin poligami dari pengadilan.
Kelima point pengaturan terkandung dua misi pertama agar pencatatan perkawinan benar-benar sesuai dengan peraturan-peraturan perundang-undangan dan kedua, ini yang penting, tidak terjadi penyelundupan hukum.
Banyak yang memprediksi, termasuk para hakim, dalam waktu tidak teralu lama, pasti akan menimbulkan persoalan terutama bagi para duda yang sudah kebelet menikah lagi. Apalagi, jika sebelum bercerai mantan suami itu sudah menyimpan semacam ‘ban serep’ berupa calon pengganti istri yang diceraikannya.
Motif Menikah Lagi
Seorang duda yang ingin menikah lagi dalam masa iddah istri, memang bisa terjadi paling tidak karena tiga kemungkinan:
Pertama, karena memang benar-benar mau menikah. Di satu sisi, dorongan libido yang luar biasa karena masih muda dan sudah ada calon yang menunggu saat bercerai membuatnya ingin segera merencanakan pernikahan berikutnya. Bahkan tidak jarang laki-laki demikian sudah mempersiapkan calon pengganti sejak konflik rumah tangga berlangsung. Di sisi lain, hubungan perkawinan yang putus disebabkan karena pertengkaran hebat tidak membuatnya ia tergoda ingin rujuk lagi dengan mantan istrinya. Ibarat air liur sudah terlanjur terhempas dari mulut, pantang untuk menjilatnya kembali.
Kedua, memag karena motif terselubung. Dia sengaja mau segera menikah lagi saat mantan istrinya masih menjalani masa iddah dengan motif dapat merujuk mantan istrinya suatu saat nanti. Di satu sisi pernikahan kedua telah sah dan di sisi lain kepada mantan istrinya masih punya hak rujuk. Kesengajaan ini timbul biasanya bagi laki-laki yang ingin melakukan poligini tetapi terbentur presedur internal. Dia nekat menceraikan istrinya. Sementara istrinya sangat berat dan tidak mau bercerai dan karena ingin menguasasi cinta suaminya, dia pun tidak mungkin mengizinkan suaminya untuk menikah lagi. Bagi istrinya, lagu sepondok ada dua cinta tidak boleh dinyanyikan di rumahnya. Tetapi apa daya setelah melalui proses pemeriksaan, pengadilan pun mengizinkan suaminya untuk mentalaknya.
Suami ‘bondet’ ini diam-diam juga mengetahui ketulusan cinta istrinya. Pada saat yang sama, cintanya kepada calon istri barunya juga harus segera ‘dieksekusi’ ke jenjang pelaminan. Setelah menikah beberapa saat pun, terlintas ‘pikiran bondetnya’ ingin menggapai lagi cinta istri pertamanya. Bagai gayung bersambut, istrinya pertamanya yang tidak kuasa kehilangan suaminya beberapa bulan, seperti menemukan cinta sejatinya lagi. Rujuk pun, karena masih dalam masa iddah, dilakukan. Pada saat yang sama istri keduanya yang sedang dalam bulan madu juga masih tetap berstatus sebagai istri sah.
Pada gambaran narasi kedua di atas, jelas dapat kita simpulkan bahwa pernikahan suami dalam masa iddah istri bisa berpotensi menimbulkan praktik poligini liar. Poligini jenis ini disebut untuk memberi pengertian jenis poligini yang tidak dilakukan sesuai Pasal UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975. Dalam konteks demikian penerapan Surat Ditjen Bimas Islam sangat relevan diterapkan secara rigid.
Ketiga, seorang yang bercerai tetapi karena faktor-faktor tertentu yang masih ambivalen. Di satu sisi, melihat perselisihan yang terjadi tampak sulit ingin rujuk lagi. Tetapi keserasian pasangan dan telah punya beberapa anak masih berpotensi bisa rukun lagi. Apalagi, pertengkaran hebat yang dilakukan sebelumnya disadarinya sendiri, akibat rasa emosional yang sedang memuncak. Alasan perceraian yang telah terbukti dan telah meyakinkan hakim, sebenarnya terjadi akibat perasaan emosioanal masing-masing. Di balik itu keduanya masih menyimpan rasa bimbang mengambil keputusan bercerai.
Intinya pada jenis perceraian ketiga ini pasangan suami istri ini masih fifty-fifty antara kemungkinan rujuk atau tidak.
Terlepas dari apa pun motivasinya, isi hati orang memang tidak dapat dikatehui siapa pun. Orang hanya mengetahui yang lahir. Demi menjaga agar potensi pelanggaran hukum, biasanya hukum mengambil langkah preventif dengan mempertimbagkan risiko yang paling buruk agar pelanggaran atau tindak kejahatan dapat dipastikan tidak terjadi. Langkah preventif guna mencegah terjadinya kerusakan (kejahatan atau pelanggaran hukum) dalam tradisi hukum Islam dikenal dengan konsep sadd al-dzari’ah.
Pada kasus sesorang laki-laki mau nikah sedangkan mantan istrinya masih dalam masa idah, KUA, sebagai pejabat yang bertanggung jawab melaksanakan administrasi, memang harus melihat pedoman yang ada secara hitam putih. Apa pun motivasi pernikahan yang dilakukan seseorang, KUA hanya berkepentingan melihat, apakah pernikahan yang akan dicatat melanggar pedoman yang ada atau tidak. KUA tidak berkepentingan melihat motif pernikahan seseorang. Bagi KUA Surat Dirjen tersebut merupakan aturan yang sudah final dan karenanya harus dipedomani apa adanya. Mempermasalahkan isi pengaturan dalam surat atasan tersebut bukan ranahnya ketika menjalankan fungsi administrasi.
Kekosongan Hukum
Meskipun demikian, karena aturan tersebut juga berfungsi sebagai hukum, maka memang memungkinkan terjadi benturan-benturan dalam implementasinya. Realitas menunjukkan hukum tertulis sering tidak bisa menjawab semua persoalan kehidupan manusia. “Het recht hink achter de feiten aan”, begitu bunyi adagium hukum yang sudah menjadi realitas secara universal. Pada pokoknya pameo itu berarti bahwa hukum selalu tertatih-tatih mengejar peristiwa yang akan diatur. Atau dengan kata lain, hukum akan selalu ketinggalan jaman. Realitas demikian menyababkan sering terjadi kekokosongan hukum yang akan dijadikan menilai sebuah kasus yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Pada saat demikian para petugas adminiatrsi sering tidak bisa menjawabnya, dan itu tidak salah, selain memaksakan aturan apa adanya. Padahal, ketika aturan itu dipaksakan ada masyarakat yang merasakan ketidakadilan.
Kasus permohonan izin nikah seperti yang baru-baru ini terjadi di beberapa pengadilan agama menjadi contohnya.
Seorang duda ditolak menikah oleh KUA karena pernikahan yang dilakukan masih dalam masa idah istri. Duda itu merasakan ketidakadilan atas tindakan KUA ini, sebab duda ini merasa tidak ada sangkut pautnya dengan iddah yang harus dijalani istri. Doktrin hukum agama standar yang selama ini diketahui hanya menyatakan bahwa iddah hanya berlaku untuk istri dan bukan untuk suami. Apalagi, perempuan yang akan dinikahi adalah perempuan yang secara syar’i dan peraturan perundang-undangan tidak ada larangan untuk dinikahi. Pada saat yang sama acara gemerlap resepsi dengan segenap urusan “tetek-bengeknya” sudah direncanakan dengan matang. Atas ketidak adilan yang ia rasakan itu, duda itu pun mengajukan perkara dengan nomen klatur izin nikah ke Pengadilan Agama.
Jika kasus tersebut dihubungkan dengan kewenangan Pengadilan Agama jelas tidak termasuk dengan kewenangan absolut sebagaimana yang ditunjuk oleh Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989. Menurut ketentuan tersebut memang tidak ada nomenklatur perkara izin nikah. Apalagi, jika perkara tersebut menjadi perkara volunteer, semua hakm pasti sudah tahu, bahwa hakim tidak boleh mengadili perkara volunteer ecuali yang secara tegas ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan.
Lantas siapa yang akan memberikan mejawab kasus sekaligus memberikan solusi orang yang akan menikah.
Kreativitas Hakim
Yang berkompeten melakukan fungsi mengisi, ketika terjadi kekosongan hukum tersebut, bisa pengadilan. Pengadilanlah yang akan membuat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hukum dalam bentuk kasus perkara yang biasanya terformulasi dalam bentuk perkara baik perkara volunter maupun kontensius. Contoh mengenai hal ini ialah mengenai perkara penetapan pengangkatan anak versi hukum islam. Sebelum perkara ini dimasukkan ke dalam salah satu kewenangan Pengadilan Agama, telah ada kasus yang mendahuluinya dan dengan ‘berani’ diputus oleh Hakim Pengadilan Agama. Padahal, dalam tradisi sebelumnya penetapan pengangkatan anak sudah melembaga menjadi kompetensi Pengadilan Negeri.
Hakim tersebut memberanikan diri karena tampaknya ada pencari keadilan yang ingin mengangkat anak versi Islam. Sebagai orang Islam dia tidak ingin tindakannya– mengangkat anak terlantar yang dilakukan dengan maksud mulia itu–melanggar syari’at Islam. Dia memilih Pengadilan Agama karena pengadilan Agamalah yang menurutnya menerapkan hukum Islam. Perkara volunter yang waktu itu belum menjadi kewenngan absolut tersebut kemudian diputus oleh Hakim Pengadilan Agama. Selanjutnya, ketika UU Nomor 7 Tahun 1989 direvisi, perkara tersebut diselipkan menjadi salah satu kewenangan absolut Pengadilan Agama pada UU Nomor 3 Tahun 2006. Dengan demikian kekosongan hukum itu telah diisi oleh hakim kreatif Pengadilan Agama.
Apakah perkara izin nikah ini akan mengalami nasib yang sama? Kita tunggu saja kreativitas hukum dari hakim Pengadilan Agama berikutnya. Wallahu a’lam.