Perkara, Pembuktian, dan Hakim

  • Whatsapp

(Sebuah Refleksi)

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Suatu ketika Ali bin Abi Thalib melewati kawasan permukiman Yahudi. Kaum ini termasuk kafir dzimmi sehingga memeroleh perlindungan negara. Irama langkah Ali tiba-tiba berubah ketika sampai di satu rumah. Dari jarak yang tidak lerlalu jauh, Ali melihat ada sebuah baju perang dijemur di depan rumah tersebut. Keponakan Rasulullah Muhammad SAW itu pun tertegun sejenak dan mencoba mendekat untuk memastikan. Ayahanda Hasan & Husen ini memerhatikan baik-baik keadaan baju perang itu. Sesudah itu, beliapu pun merasa yakin bahwa baju itu miliknya. Usai memimpin salat subuh berjamaah, beliau pun kembali lagi ke rumah itu. Beliau lantas mengetuk pintu lalu keluarlah si pemilik rumah. Setelah berbasa-basi menanyakan keadaan pemilik rumah, beliau pun menuju inti persoalan: menanyakan perihal baju perang yang terjemur di luar.

Dialog pun kemudian dimulai yang pada pokoknya kepada si Yahudi itu Ali menanyakan perihal baju perang. Ali menyatakan bahwa baju perang itu miliknya tetapi si Yahudi pun menyatakan bahwa baju itu miliknya. Oleh karena masing-masing tetap bertahan dengan dalilnya, suami Sayyidatina Fatimah ini kemudian mengajak agar permasalahan ini di bawa ke pengadilan agar diputuskan siapa pemilik sah dari baju perang ini. Sesampai di pengadilan setelah mengantre, persidangan perkara baju perang ini pun di gelar. Hakim memulai pemeriksaan dengan mendengarkan keterangan Ali bin Abi Thalib dan kemudian mendengar pula jawaban Yahudi. Hakim pun lalu menanyakan bukti yang menguatkan dalil klaim atas baju perang itu. Sang ayah Hasan & Husen ini akan mengajukan bukti saksi yaitu kedua putranya sendiri. Atas keterangan Ali, Hakim pun mengatakan bahwa kesaksisn anak atas dalil-dalil kedua orang tuanya tidak bisa diterima dengan alasan tidak mungkin bisa objektif. Setelah bukti yang akan diajukan ditolak maka hakim berkesimpulan bahwa keponakan Rasulullah SAW ini dianggap tiak dapat mengajukan bukti atas dalil kepemilikan baju perangnya. Oleh karena itu, akhirnya baju perang itu ditetapkan sebagai milik orang Yahudi.

Inti cerita di atas, setidaknya memberikan gambaran mengenai 3 hal, yaitu:
Pertama, ditegakkanya asas persamaan di mata hukum (equal before the law). Sebagaimana tertulis dalam sejarah, ketika kasus ini terjadi Ali sedang menjabat sebagai Khalifah. Sementera lawan khalifah hanyalah seorang rakyat biasa, beragama Yahudi pula. Dalam kondisi seperti ini bisa saja penguasa melakukan intervensi dalam bentuk structural. Atau, sebagai peradilan Islam melakukan pemihakan kepada khalifah di samping menjadi penguasa tertinggi juga sesama muslim. Tetapi, peradilan waktu itu tidak melihat status dan jabatan. Peradilan hanya melihat, bahwa yang sedang di hadapannya adalah 2 orang yang sedang berselisih dan ingin mendapat keadilan. Kesamaan satatus, yaitu sebagai orang-orang yang berperkara, menyebabkan keduanya diperlakukan sama oleh hakim.

Kedua, keharusan ada pembuktian dan ketepatan memberikan beban pembuktian serta penegakan asas-asanya. Pembuktian ini diperlukan karena pada pokoknya setiap orang yang berperkara di hadapakan hakim tidak ada larangan mengemukakan dalil apapun. Secara naluri tidak ada seorang pun yang ingin dipersalahkan atau dikalahkan di hadapan hakim. Itulah sebabnya cara apa pun akan dilakukan, termasuk berkata bohong di hadapan hakim, agar dia dianggap benar. Itulah sebabnya pada prinsipnya hakim tidak boleh mengadili tanpa mendengar lebih dulu pihak lawan. Sebab, boleh jadi apa yang seolah benar menurut pihak yang satu, tidak benar menurut pihak yang lain. Persoalannya ketika kedua belah pihak tersebut saling merasa benar. Pada tahap inilah pembuktian menjadi urgen.

Menurut Prof. Subekti membuktikan ialah upaya meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Menurutnya, pembuktian ini memang hanya diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka hakim. Selanjutnya, masalah yang sangat penting dalam hal hukum pembuktian ini, menurut beliau, adalah masalah pembagian beban pembuktian. Beban pembuktian ini harus dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah. Pembebanan pembukian yang berat sebelah akan menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat, akan berada dalam jurang kekalahan. Para pihak yang merasa mendapat perlakukan tidak adil dalam hal pembebanan pembuktian ini dapat memperjuangkannya sampai tingkat kasasi. Melakukan pembebanan pembuktian yang tidak adil ini dianggap sebagai pelanggaran hukum atau undang-undang yang merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan Hakim di bawahnya.

Dalam kasus di atas, hakim telah dengan tepat melakukan beban pembuktian, dalam hal ini Ali harus mengajukan bukti. Yahudi tidak mungkin dibebani bukti karena tidak mungkin dia harus membuktikan bahwa baju perang itu bukan miliknya. Membebani pembuktian “bahwa baju perang itu bukan miliknya” dalam konteks hukum acara modern merupakan larangan membuktikan “hal yang negatif”. Menurut M.Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata, penerapan yang melarang pembebanan pembuktian dipikulkan kepada pihak lawan mengenai hal yang bersifat negatif pada dasarnya masih dalam kerangka pedoman yang digariskan Pasal 1865 KUHPerdata dan Pasal 163 HIR. Hanya saja, ke dalamnya ditambah asas kepatutan dengan jalan membebaskan pihak yang mengajukan hal negatif dari beban bukti.

Terlepas dari hukum beban pembuktian, bisa saja terjadi antara kebenaran formil (yang didapat dari pembuktian di sidang) di satu pihak, dengan kebenaran materiil ( kebenaran yang sesungguhnya) di pihak lain, hakim memang tidak perlu risau. Hakim hanya terikat dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan di persidangan berserta asas-asas yang mengikatnya. Dalam tradisi peradilan Islam, hakim memang hanya berada dalam ranah menghukumi yang dhahir (kebenaran formil) sedangkan kebenaran materiilnya merupakan wilayah Allah Yang Maha mengetahui ( Nahnu nahkumu bi dhawahir, wallahu yatawallas Sarair). Dalam konteks ini pula, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari, Rasulullah SAW bersabda:

“Saya hanyalah manusia biasa, dan kalian mengadukan sengketa kepadaku, bisa jadi sebagian diantara kalian lebih pandai berbicara daripada yang lainnya sehingga aku putuskan seperti yang kudengar,. Maka barang siapa yang kuputuskan (menang) dengan mengambil hak saudaranya, janganlah ia mengambilnya, sebab itu seakan-akan aku memberikan potongan api neraka untuknya.

Ketiga, eksistensi hakim yang mandiri. Pada kasus tersebut betapa hakim sangat tidak terpangaruh sedikit pun kepada status pihak yang berperkara. Ali yang kebetulan sebagai khaifah tentu punya sejuta kesempatan untuk membuat hakim tidak objektif. Pada saat yang sama hakim pun hanya tunduk dan patuh dengan asas-asas penegakan keadilan yang ia yakini, tanpa terpengaruh oleh pihak yang beperkara. Risiko kehilangan jabatan bahkan nyawanya bisa saja terjadi ketika harus berhadapan dengan perkara orang nomor satu di negerinya, jika putusan yang dijatuhkan tidak sesuai ekpektasi penguasa. Akan tetapi, ternyata sinergitas dua unsur, kekuasaan dan peradilan waktu itu menjadikan iklim yang kondusif bagi dunia peradilan sekaligus kepuasan para pencari keadilan.

Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa hakim itu ada 3 (kriteria), satu yang masuk surga, sementara dua (macam) hakim lainnya masuk neraka. Adapun yang masuk surga adalah seorang hakim yang mengetahui al-haq (kebenaran) dan memutuskan perkara dengan kebenaran itu. Sementara hakim yang mengetahui kebenaran lalu berbuat zalim (tidak adil) dalam memutuskan perkara, maka dia masuk neraka. Dan seorang lagi, hakim yang memutuskan perkara (menvonis) karena ‘buta’ dan bodoh (hukum), maka ia (juga) masuk neraka.” (HR. Abu Dawud).
Hakim dalam kasus Ali tersebut jelaslah hakim kelompok pertama. Hakim demikian secara ideal juga menjadi dambaan hakim ideal yang salah satu kriterianya adalah sebagaimana maksud Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
Akhirnya, jika “ending” dari praktik peradilan kasus di atas berhasil membuat si Yahudi ini pada akhirnya, tidak hanya secara sportif mengakui kesalahan dengan mengemukakan peristiwa yang sebenarnya terjadi, tetapi juga mengikrarkan dua kalimat syahadat: masuk Islam, maka pertanyaan kita, apakah ruh gambaran ideal sistem peradilan demikian saat masih tersisa?

BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama Madya, IV/d
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang

Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait