JAKARTA, Beritalima.com– Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait penanggulangan wabah virus Corona (Covid-19) yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ‘ngambang’.
Kalau memang Perppu Jokowi tersebut bertujuan memutus mata rantai penyebaran wabah yang telah merenggut ratusan nyawa anak bangsa itu, jelas pengamat komunikasi politik, Muhammad Jamiludin Ritonga, isinya tentu hanya menyangkut sekitar persoalan Covid-19 saja.
Setelah saya teliti dan amati, kata pengajar metode penelitian komunikasi Universitas Esa Unggul Jakarta tersebut kepada Beritalima.com, Jumat (17/4), isi Perppu itu bukan hanya membahas dan mengatur bagaimana memutus mata rantai Covid-19, tetapi sudah melebar jauh ke mana-mana termasuk masalah ekonomi dan tindakan pejabat negara yang tersangkut penanganan yang tidak boleh dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata.
Malah, kata Jamil, demikian Bapak dua putra ini biasa dipanggil, Perppu itu lebih banyak mengatur tentang penyelamatan ekonomi dan stabilitas sistem keuangan. Langkah itu dijalankan melalui berbagai relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan APBN 2020 dan memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan.
Bahkan melalui Perppu itu, Jokowi menyebutkan total tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 Rp405,1 triliun. Dari angka itu, hanya Rp75 triliun untuk bidang kesehatan, Rp110 triliun untuk social safety net, Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR. Rp150 triliun untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional, termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk UMKM dan dunia usaha menjaga daya tahan dan pemulihan ekonomi.
Idealnya, jelas Jamil, isi Perppu itu hanya fokus kepada penanganan pemotongan rantai penyebaran Covid-19, yaitu membatasi interaksi sesama anak bangsa dan memproteksi tenaga medis dari penularan virus tersebut. Dua hal itu memang sudah masuk dalam Perppu. Namun, dana yang dianggarkan hanya Rp75 triliun untuk bidang kesehatan dan Rp110 triliun untuk social safety net.
Yang jadi pertanyaan, apakah alokasi anggaran tersebut, khususnya untuk social safety net memadai untuk membatasi interaksi sesama anak bangsa agar dapat memotong rantai penyebaran Covid-19. Apakah pekerja harian sudah tercover di dalamnya.
“Jika tidak, hal itu tentu menimbulkan masalah karena jumlah pekerja harian cukup besar khususnya di kota-kota besar. Bila mereka ini tidak tersentuh, Pemerintah jangan mimpi tercapai upaya memotong rantai penyebaran virus Corona.”
Jamil memastikan, para pekerja harian ini bakal tetap ke luar rumah untuk mencari nafkah buat anak, isteri dan keluarga walau itu dibawah ancaman virus Corona. “Malah dalam kondisi demikian, mereka lebih takut anak isteri dan keluarga tidak makan dari pada virus mematikan,” kata Jamil mengingatkan.
Dengan begitu, lanjut Jamil, untuk memotong mata rantai penyebaran virus Corona, persoalan perut keluarga pekerja harian ini harus diatasi lebih dahulu oleh Pemerintah. “Kalau tidak, jangan mimpi mampu mengatasi penyebaran Covid-19 karena masyarakat bakal tetap berinteraksi di luar rumah. Pada dasarnya, kalau sudah berurusan dengan persoalan perut, manusia itu nekat.”
Jamil juga mengkritisi komunikasi Pemerintah terkait penanganan Covid-19. Dia menyebut komunikasi Pemerintah buruk dan tidak mengakar. Itu tampak dari kebijakan pusat yang kerap tidak sejalan dengan kebijakan yang diambil daerah. Termasuk kebijakan daerah yang dianulir pusat. Hal itu membingungkan rakyat.
“Sinergitas pusat dan daerah perlu diperkuat. Kalau tidak, komunikasi yang dibangun tidak bakal berjalan dengan baik. Untuk itu, pendekatan komunikasi top down dan bottom up harus dipadukan agar tidak mengesankan antara pusat dan daerah jalan sendiri-sendiri,” demikian Muhammad Jamiludin Ritonga. (akhir)