Perlu Kepedulian Bersama Menyelesaikan Adopsi Anak Lintas Negara

  • Whatsapp
Anna Grundström dan Ana Maria Van Valen (keduanya anak angkat lahir di Indonesia dan besar di Eropa) mengajak kita peduli soal adopsi anak lintas negara (foto: Praksis)

Jakarta, beritalima.com| – Mengatasi kasus adopsi lintas negara yang banyak terjadi di belahan dunia (termasuk Indonesia), saatnya perlu membangun kepedulian bersama agar masalah ini tak berulang terjadi.

Kasus ini yang menjdi perhatian dan diskusi Forum PRAKSIS (Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesus) Seri ke-9 dengan tajuk “Intercountry Adoption from Indonesia 1973-1984: The Hidden History” atau “Adopsi Lintas-Negara, 1973-1984: Sebuah Sejarah Yang Tersembunyi” di Jakarta (30/5).

Narasumbernya adalah Anna Grundström, seorang adoptee (anak angkat) asal Jakarta  dibesarkan di Swedia dan Ana Maria Van Valen, seorang anak angkat asal Bogor, Jawa Barat, tumbuh di Belanda.

Kedua narasumber menyampaikan, pentingnya edukasi publik terkait masalah adopsi anak lintas-negara  mengingat  mendasarnya masalah ini dalam konteks sejarah kemanusiaan pada umumnya. Edukasi publik tersebut dipandang penting, mengingat dampak dari praktik adopsi lintas-negara sangatlah panjang.

Hingga kini banyak individu dan keluarga yang terkait dengan praktik adopsi lintas-negara masih merasakan akibatnya. Jadi, menurutnya, masalah adopsi linta-negara bukan masalah sederhana, melainkan masalah yang perlu untuk dibicarakan secara mendalam. Di mata mereka, masalah adopsi lintas-negara ini erat terkait dengan masalah hak-hak asasi manusia, identitas, dan keadilan sejarah.

Anna Grundström melihat contoh saat Perang Korea pada awal 1950-an telah mengubah praktik dan paradigma adopsi internasional sebagai tindak penyelamatan menjadi lebih bersifat transaksional. Setelah berakhirnya perang tersebut, Korea Selatan (Korsel) dilanda kesulitan ekonomi, sehingga banyak keluarga menjadi miskin dan anak-anaknya hidup berkekurangan.

Atas kondisi itu, banyak pihak di  Amerika Serikat melihatnya sebagai peluang mengadopsi anak-anak yang dianggap sebagai “tanpa orang tua” atau “telah diabaikan” oleh orang tuanya.

Kasus di Korsel lalu berkembang  ke negara lain yang mengalami konflik dan ketidakstabilan politik serupa. Misalnya Vietnam yang dilanda perang dari 1955 hingga 1975, dan Sri Lanka yang selama bertahun-tahun dilanda perang sipil. Kondisi di kedua negara tersebut membuka peluang bagi usaha adopsi internasional yang tidak jarang disusupi oleh unsur-unsur eksploitasi.

Bagaimana dengan Indonesia? Ana mengingatkan dalam jangka waktu lama Belanda pernah menjajah Indonesia, sehingga untuk kepentingan adopsi lintas-negara mereka lebih mudah mencari jaringan pendukungnya di sini.  Faktor tersebut membantu peningkatan praktik adopsi  oleh negara-negara Barat terhadap bayi-bayi dari Indonesia pada periode 1973-1984. Rentang waktu 1973-1984, menurut kedua peneliti, jumlah bayi dari Indonesia yg diadopsi ke luar negeri jumlahnya sekitar limaribu orang.

Faktor lain yang mendorong peningkatan jumlah adopsi adalah meluasnya kemiskinan serta dinamika politik nasional yang tidak menentu pada periode tersebut. Tiga pelaku utama yang terlibat dalam praktik ini biasanya adalah pembeli (the buyers), makelar bayi (the baby brokers) dan  para ibu kandung (the birth-mothers). Para pembeli umumnya berasal dari negara Barat  dan berpendidikan tinggi. Para makelar adalah pelaku dari Indonesia yang memiliki  jaringan atau koneksi kuat. Sementara kebanyakan para ibu kandung merupakan perempuan-perempuan yang tidak menguasai baca-tulis dan hidup dalam kemiskinan.

Dampak dari praktik adopsi semacam ini menimbulkan dampak berkepanjangan terhadap para anak-angkat maupun keluarga kandungnya. Anak tumbuh dalam identitas yang tercerabut dari akar negara dan budaya asalnya. Banyak dari mereka kini berjuang untuk mencari asal-usul dan orangtua kandungnya. Sebagaimana yang dialami oleh Anna Grundström dan Ana Maria sendiri, setelah belasan tahun tinggal dan dibesarkan di Eropa, mereka berusaha mencari asal-usul mereka serta orangtua mereka di Indonesia.

Masalah lainnya,  soal mahalnya biaya finansial untuk bisa klaim kembali identitas sebagai orang Indonesia, hingga tingginya  biaya psikologis dan emosional sebagai orang-orang yang identitas kulturalnya telah tercerabut. Sementara itu banyak keluarga kandung harus menghadapi rasa malu, trauma, serta berbagai hambatan lain untuk bisa melakukan penyatuan kembali dari anak-anak yang dulu diadopsi itu.

Seiring dengan berjalannya waktu, banyak anak-anak mantan korban adopsi lintas-negara “terlambat” ketika menemukan orangtua kandung mereka, entah karena orangtua kandung mereka telah sakit-sakitan entah karena orangtua kandung mereka telah meninggal.

Jadi, Anna Grundström dan Ana Maria Van Valen menekankan pentingnya membangun kesadaran bersamaf terhadap praktik dan sejarah adopsi lintas-negara (internasional) yang selama ini dilupakan. Negara memang harus hadir untuk ikut membantu menyelesaikan masalah ini.

Jurnalis: Abri/Dedi

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait