JAKARTA, Beritalima.com– Legislator dari Dapil II Provinsi Sumatera Barat, Hj Nevi Zuairina mempertanyakan kekisruhan terhadap membengkaknya tarif listrik yang harus dibayar masyarakat beberapa bulan belakangan, terutama untuk pembayaran Mei 2020.
Bahkan hal itu juga menjadi pertanyaan politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan jajaran pimpinan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di Ruang Komisi VI DPR RI, Selasa (25/6).
Beberapa pekan sebelum RDP, ungkap Nevi, dirinya sudah melakukan komunikasi dengan pihak PLN baik di Pusat maupun di daerah pemilihan II Provinsi Sumatera Barat untuk mendapat keterangan lebih detail terkait persoalan lonjakan tarif listrik ini.
“Saya berkomunikasi melalui WA kepada pihak PLN dan mereka memberi keterangan tarif listrik tidak naik sama sekali, masih tetap sejak 3 tahun lalu,” kata Nevi dalam keterangan pers yang diterima Beritalima.com, Minggu (28/6) siang.
Dia melanjutkan, PLN beralibi kenaikan listrik di masyarakat akibat efek dari pemakaian pelanggan rumah tangga yang memang naik karena Work From House (WFH) dan kebijakan di rumah saja. Di sisi lain, dalam Maret dan April 2020 petugas pencatat meter PLN tidak dapat mendatangi rumah-rumah pelamggan untuk menjalankan tugasnya sehingga pola perhitungan rekening menggunakan angka rata-rata pemakaian tiga bulan terakhir.
Angka rata-rata ini, lanjut Nevi, menurut pihak PLN ternyata lebih rendah dari pemakaian pelanggan yang sebenarnya, sehingga terjadi kurang bayar yang berakibat membengkak terakumulasi pada satu bulan. Secara aturan, kata Nevi, PLN memang tidak boleh menaikkan tarif listrik sendiri karena itu domain pemerintah sebagai regulator. Yang jadi persoalan adalah, di pemerintah ada kementerian BUMN yang secara tidak langsung sebagai regulator juga operator.
Meski PLN juga diawasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga tidak bisa seenaknya, tetapi dengan regulasi dapat ditembus semua kebijakan.
“Saya meminta kepada PLN di tengah segala persoalan yang muncul baik sebelum maupun sesudah pandemi virus Corona (Covid-19), PLN tetap menjaga mutu dan keandalan pasokan listrik agar aktifitas bisnis serta industri tidak terganggu,” pinta Nevi.
Nevi meminta agar PLN mengkaji kontrak-kontrak dengan perusahaan listrik swasta agar tidak semakin memberatkan PLN. Perlu ada altrnatif, riset dan kajian energi terbarukan yang mengganti energi fosil sehingga lebih ramah lingkungan. Karakteristik energi terbarukan adalah go green dan harganya lebih murah.
Kebanyakan swasta memakai energi fosil yang mahal. Dengan harus mengcover sekitar Rp 1,2 triliun per bulan, PLN harus memperkuat cashflow yang dapat ditagih ke Pemerintah dari hutang Pemerintah yang ada. Setelah Pemerintah membayarkan, dia meminta agar PLN segera perbaiki kinerja lebih baik terutama menyehatkn keuangan PLN.
“Saya mengingatkan, program relaksasi PLN harus segera di gesa. Diskon tarif dimasa Covid-19 tidak terdengar baik di lapangan. Masyarakat sama saja bayarnya seperti tidak ada relaksasi. Padahal, tarif di masa Covid (stimulus covid) saat ini seharusnya diberikan kepada pelanggan 450 VA, diskon 100 persen (April-September 2020),
pelanggan bersubsidi 900 VA yang bersubsidi diskon 50 persen untuk enam bulan (pelanggan 900 VA ada yang bersubsidi dan ada yang non subsidi), pelanggan bisnis dan industri daya 450 VA diskon 100 persen enam bulan
* pelanggan industri dan bisnis besar bisa turun daya sementara,” jelas Nevi.
Nevi memberi masukan, setidaknya ada dua persoalan krusial di PLN saat ini. Yang pertama, Kondisi Keuangan PLN yang tidak sehat. Kedua, kelalaian PLN mengkomunikasikan penghitungan tagihan listrik yang menyebabkan kerugian konsumen akibat melonjaknya tagihan. Akibat wabah Covid-19, PLN mencatatkan rugi bersih Rp 38,87 triliun pada kuartal I/2020, berbalik dari laba bersih Rp 4,14 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Ia mengatakan, bila dilihat dari laporan keuangan PLN, memang terlihat baik, karena piutang pemerintah dimasukkan ke pendapatan, jadi untung. Padahal PLN sedang krisis likuiditas. “Saya menilai pola komunikasi PLN buruk dan berantakan. Saya meminta kedepannya PLN mesti memperbaiki pola komunikasi publik terkait dengan hal sensitif yang melibatkan seluruh rakyat Indonesia berupa tarif listrik. Dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, menyebutkan hak konsumen atas informasi. Ketika terjadi asimetris informasi antara konsumen dan penyedia jasa, tentu ini jadi tanggung jawab penyedia jasa,” demikian Hj Nevi Zuairina. (akhir)