Jakarta, beritalima.com| – Dalam diskusi bersama media, Working Group ICCAs Indonesia (Indigenous Peoples and Local Community Conserved Areas and Teritories) bertema “Menjaga Budaya, Merawat Masa Depan Keanekaragaman Hayati Indonesia” di Jakarta (4/6), salah satu kesepakatan yang timbul adalah perlunya sinergi dari berbagai pihak untuk merawat masyarakat lokal dan keanekragaman hayati di Tanah Air ini.
“Kita akan sama-sama ketemu dengan pihak lain untuk bangun road map bagaimana konsen kita terhadap masyarakat adat apakah dia kearifan lokal yang jadi bagian dari pembangunan pengolahan keanekaragaman sumber daya alam hayati yang semuanya untuk kesejahteraan masyarakatnya. Ada road map yang ingin kita bangun, tapi harus sama-sama,” kata Inge Retnowati, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup,yang turut hadir dalam diskusi.
Working Group ICCAs Indonesia (WGII) sebagai penyelenggara diskusi bersama media, dalam acara ini juga meluncurkan Data ICCAs (Indigenous Peoples and Local Community Conserved Areas and Territories) edisi terbaru, Mei 2025.
Dari paparan Knowledge Management WGII Lasti Fardilla Noor, sampai Mei 2025 total registrasi nasional ICCAs atau lahan konservasi yang dikelola langsung masyarakat adat dan komunitas lokal mencapai 647.457,49 hektar, tersebar di 293 wilayah di Indonesia (terbesar di wilayah Kalimantan sebesar 385.744,26 hektar).
WGII juga memetakan potensi ICCAs di Indonesia seluas 23,82 juta hektar, lebih tinggi dari data di 2024 sebesar 22 juta hektar. Potensi ICCAs terbesar ada di wilayah Papua sebesar 9,37 juta hektar. Area potensi ICCAs tersebar di berbagai ekosistem, termasuk hutan, sungai dan perairan.
Diakui oleh Program Manager WGII Cindy Julianty, pihaknya masih kurang memantau wilayah pesisir, padahal potensi ICCAs di sana cukup tinggi. Data ICCA edisi Mei 2025 diyakini akan menjadi pijakan penting untuk mendorong kebijakan yang lebih inklusif terhadap pengelolaan wilayah konservasi berbasis masyarakat adat dan komunitas lokal.
Terlihat disini, peran masyarakat adat sangat vital dalam merawat pelestarian kenekaragaman hayati. Namun dalam kenyataannya, masyarakat adat seringkali terpinggirkan, kurang mendapat perhatian dari negara, sehingga di sejumlah daerah justru terjadi konflik.
Pengalaman konflik tersebut dijelaskan oleh Farwiza Farhan dari Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (Yayasan HAKA). “Sebenarnya seolah-olah konflik yang terjadi antara masyarakat dan Kawasan konservasi itu ternyata tidak benar karena yang dilakukan masyarakat itu adalah melindungi alam, area-area yang oleh negara disebut Kawasan konservasi, padahal di saat bersamaan seringkali negara itu itu tidak mampu untuk melakukan perlindungan terhadap area tersebut,” ungkap Farwiza.
Pembicara lainnya dalam diskusi adalah Kynan Tegar, pemuda dari masyarakay adat Dayak Iban dari Sungai Utik di Kalimantan Barat yang berbagi kisah bagaimana masyarakat tempat ia berasal menjaga ekosistem tempat mereka tinggal. Serta hadir Direktur Forest Watch Indonesia Mufti F. Barri, menyoroti ancaman konservasi alam di Indonesia bahkan terjadi di dalam Kawasan koservasi, misalnya dengan adanya konsesi tambang dan Perkebunan di dalam sana.
Jurnalis: Abri/Dedi

