ACEH, Beritalima-Penanganan Konflik Tenurial Dalam Kawasan Hutan di Provinsi Aceh tidak pernah selesai, hal tersebut disampaikan Dirut Walhi Aceh Muhammad Nur saat Konprensi Pers dengan Awak Media di Kantornya, Senin-08-05-2017.
Menurutnya, Kisruh Penyalahgunaan Surat Kuasa Khusus (SKK) oleh Mantan Kepala Dinas Kehutanan Aceh, Husaini Syamaun telah mendapat respon dari berbagai pihak. Bahkan telah dilaporkan ke Polda Aceh sebagai tindak pidana korupsi yang disinyalir merugikan negara sebesar 72 Milyar rupiah.
Surat Kuasa Khusus (SKK) diterbitkan oleh Gubernur Aceh berdasarkan telaah Biro Hukum dan Biro Perekonomian Setda Aceh terhadap Surat Kepala Dinas Kehutanan Aceh nomor : 500 /320-11 perihal kerjasama Kepala Dinas Kehutanan Aceh dengan CV. Cahaya Abadi untuk penyadapan getah pinus di UPTD KPH Wilayah I UPTD KPH Tahura Pocut Meurah Intan.
Telaah Biro Hukum dan Biro Perekonimian Setda Aceh menyampaikan bahwa perlu di terbitkan Surat Kuasa Khusus oleh Gubemur dikarenakan tugas dan kewenangan penandatanganan kerjasama tidak diberikan secara atributif kepada Kepal Dinas berdasarkan pasal 67A, 688 dan 69A Qanun Aceh No. 15/2012 tentang SOTK.
Dimana dalam pasal 68A huruf i. Gubernur dapat memberikan tugas kedinasan lainnya kepada Kepala Dinas untuk menandatangani perjanjian kerjasama atas nama Pemerintah Aceh dengan Surat Kuasa Khusus. kewenangan yang diberikan dalam SKK dimaksudkan untuk pengelolaan getah pinus pada UPTD KPH Wilayah 1 UPTD KPH Tahura Pocut Meurah Intan dan UPTD KPH Wilayah 11.
Dia Menambahkan Surat Kuasa Khusus yang awalnya hanya dimaksudkan untuk Pengelolaan Getah Pinus pada UPTD KPH Wilayah I UPT D KPH Tahura Pocut Meurah Intan berubah menjadi Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Provinsi Aceh, sehingga Surat Kuasa Khusus tersebut digunakan oleh Mantan Kepala Dinas Kehutanan Aceh, Husaini Syamaun tidak hanya untuk pengelolaan getah pinus oleh CV. Cahaya Abadi di kawasan tahura, tapi juga digunakan untuk membuat perjanjian kerjasama pengelolaan dengan masyarakat dan badan hukum terhadap 10 lokasi kebun sawit yang berada di lokasi perambahan kawasan hutan di Kecamatan Tenggulun Kabupaten Aceh Tamiang.
Terbitnya Peraturan Gubernur Aceh No.10 Tahun 2017 Tentang Penanganan Konflik Tenurial Dalam Kawasan Hutan yang memberikan kewenangan kepada Dinas untuk melakukan kerjasama pcngelolaan dengan masyarakat maupun badan hukum memunculkan kekahawatiran terjadinya kasus yang sama terhadap penyalahgunaan kewenangan yang diberikan pada masa yang akan datang.
Berdasarkan kondisi diatas Walhi Aceh memandang penting untuk segera dilakukan revisi terhadap Peraturan Gubemur Aceh No.10 Tahun 2017.
Untuk itu pemerintah Aceh mengeluarkan Peraturan Gubemur Aceh No.10 Tahun 2017 ini dengan kesan tidak mau Repot untuk mengurus permasalahan sengketa lahan yang terjadi selama ini di Provinsi Aceh, jika ini masih terjadi permaslahan sengketa lahan di Aceh tidak akan pernah selesai.
Baru bisa selesai permasalahan sengketa lahan di Aceh antara perusahaan dengan Warga tersebut, ada beberapa pasal yang harus direvisi seperti, Pasal 13 ayat 1 menyebutkan; Berdasarkan hasil penanganan konnik melalui negosiasi dan mediasi yang dilakukan oleh KPH dan/atau Tim PKT-KHA penyelesaian konflik dapat berubah, tutup, M, Nur,’’(Aa79)