Pernikahan Dini Yang Kini ‘DIBENCI’

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A)

Pembicaraan pernikahan dini hangat lagi, pada awalanya dipicu oleh ‘kelakuan’ Pujiono Cahyo Widianto menikahi seorang gadis belia bernama Lutfiana Ulfah yang ketika itu baru berusia 12 tahun. Seorang hartawan sekaligus pengasuh sebuah pesantren yang akrab dipanggil Syekh Puji ini mempunyai alasan menarik mengapa ia nekat berbuat demikian. Menurutnya, mengapa ia menikahi gadis sebelia itu dengan alasan untuk mengader calon penerus perusahannya. Gadis yang demikian menurut anggapannya masih murni dan belum terkontaminasi arus modernitas. Apalagi, menurutnya menikahi hadis belia toh bukan termasuk larangan agama (www.pesantrenVirtual.com).

Perilaku lelaki yang sering tampil dengan jubbah putih tana penutup kepala itu tampaknya mengundang reaksi keras dari Komnas Perlindungan Anak (KPA). Para pengamat pun kemudian ikut memberikan komentar dan hamper semua komnentar tersebut cenderung menyudutkannya.
Harus diakui, fenomena pernikahan dini sejatinya bukanlah hal baru di Indonesia, khusunya masyarakat Jawa. Sekalipun tanpa data yang jelas, kita dapat menduga, bahwa para nenek moyang kita dulu banyak yang menikahi gadis di bawah umur. Sebagai contoh, dalam kasus perkara waris, kita dapat menelusuri perkiraan berapa seseorang menikah. Seorang pasangan suami istri mempunyai 9 orang anak. Anak tertua berusia 60 tahun, ibunya yang sudah janda karena ditinggal mati suaminya (ayah ahli waris) dari dokumen yang ada terlacak berusia 73 tahun. Usia janda pewaris hanya terpaut 13 tahun dengan anak pertamanya. Dari lacakan usia ini jelas ibu para ahli waris tersebut menikah kira-kira usia 12 tahun. Pernikahan dini itu tampaknya dapat dipicu oleh 3 faktor. Pertama, faktor hukum. Waktu itu belum ada ketentuan yang memberikan ketegasan berapa batasan usia minimal untuk kawin. Kedua, faktor budaya. Seorang gadis yang lambat menikah dianggap aib dan menjadi beban orang tua dan gadis yang bersangkutan. Ketiga, faktor agama. Al-Suyuthi, dalam kitabnya Jami al-Shaghir setidaknya telah menuliskan dua sebuah hadits yang cukup menarik. Hadits pertama, ialah (terjemahnya): “Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan, yaitu salat bila sudah datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita yang tidak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang setara.” (Vide hlm. 210). Hadits yang kedua, (terjemahnya)”Dalam kitab Taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, anak itu berdosa dan dosa tersebut dibabankan atas orang tuanya.” ((Vide hlm. 501). Hadits yang populer di kalangan pesantren ini tampaknya sering dijadikan rujukan para pendakwah tradisional yang pada pokoknya ‘menghimbau’ agar masyarakat menyegerakan menikahkan anak gadisnya. Dalam konteks sekarang, saat pergaulan pria wanita sudah sedemikian bebas, menyegerakan menikah sekilas cukup beralasan.

Terlepas dari setuju atau tidak, pernikahan dini, tampaknya mempunyai landasan historis yang sangat kuat yaitu ketika sebuah kitab hadits dengan derajat paling tinggi (Sahih Bukhary dan Sahih Muslim) dengan jelas menuliskan hadits tentang pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah R.A. Rasulullah menikahi Aisyah dalam usia 6 tahun dan menggauli pada usia 9 tahun. Akan tetapi menurut Abbas Mahmud Aqqad, umur Aisyah ketika berbulan madu dengan Nabi tidak kurang dari 12 tahun dan tidak lebih dari 15 tahun. Yang demikian dikuatkan dengan riwayat Ibnu Saad yang menerangkan bahwa Aisyah dilamar pada usian 9 tahun dan bulan madu pada usia sudah baligh (15 tahun). Wanita yang dinikahi Nabi dengan mahar 400 dirham ini merupakan satu-satunya istri Nabi yang dinikahi dalam keadaan masih gadis. Kita tentu tidak dalam posisi mencari kebenaran mengenai angka-angka usia itu. Akan tetapi, yang pasti logika-logika mengenai fenomena sosial waktu itu tidak bisa kita fahami dengan logika-logika sekarang. Ada sejumlah alasan yang membuat praktik pernikahan dini waktu itu terjadi. Dengan kalimat lain, kalau jaman dulu terjadi pernikahan dini karena kultur waktu memang membenarkannya. Bahkan, pada skala tertentu mungkin mengharuskannya.

Kalau praktik pernikahan ini terkait dengan kultur dan situasi kondisi sosial, maka angka usia seseorang hubungannya dengan praktik pernikahan zaman dulu memang tidak bisa kita bawa begitu saja pada situasi dan kondisi sekarang. Situasi dan kondisi sekarang jauh berbeda dengan situasi dan kondisi zaman dulu. Dulu pernikahan hanya dipandang sebagai semata penyalur hubungan seks secara halal dan memperoleh keturunan secara bermartabat sebagai ide dasar. Kini di samping ide dasar itu, pernikahan juga terkait dengan aspek-aspek lain yang sangat kompleks, seprti ekonomi dan sosial. Kesiapan menghadapai persoalan-persoalan itu menjadi bagian dari sistem pernikahaan di zaman modern. Orang yang mau menikah saat ini dihadapkan pada sejumlah pertayaan yang harus dijawab. Pertayaan itu seperti, sudah mampukan mencari nafkah, kalau melahirkan sudah siapkah membiayai rumah sakit, kalau punya anak sudah siapkah memberikan biaya pendidikan. Bahkan, untuk calon orang tua zaman now ini, sejumlah pertanyaan itu mungkin masih harus ditambah, kalau punya anak mampukah membelikan laptop atau ponsel pintar (smartphone) berikut uang untuk membeli paket data untuk anak-anaknya.

Urgensi pencerahan mengenai kesiapan menikah jelas tidak bisa semata-mata didasarkan atas pertimbangan keamatangan alat-alat reproduksi. Akan tetapi, pertimbangan-pertimbangan masa depan (seperti ekonomi dan sosial seprti pendidikan anak) harus menjadi concern setiap pasangan yang hendak menikah. Karena dampak akibat ketidaksiapan pangantin, juga menyangkut masyarakat luas, maka wacana mengenai isu pernikahan juga tidak boleh hanya menjadi isu domestik sebuah kaluarga, melainkan harus pula menjadi isu masyakarakat yang ada, khususnya para pemangku kepentingan. Para tokoh agama, khususnya para pendakwah harus menambah segmen tema-tema dakwahnya. Tema dakwah yang semula berkisar pahala, surga, dan neraka, saat ini harus ditambah dengan tema-tema sosial, termasuk pencerahan mengenai mempersiapkan pernikahan dengan problem kehidupan yang mesti dihadapi setiap pasangan suami istri. Data empiris menunjukkan kegagalan sebuah rumah tangga yang berakhir dengan perceraian, lebih disebabkan karena kekuarangsiapan setiap pasangan menghadapi problem-problem demikian. Pasangan suami istri yang bercerai sering tidak sadar bahwa akibat perceraian akan menjadi awal kehidupan kelam bagai anak-anaknya. Di samaping itu, pasangan yang bercerai juga sering tidak sadar, bahwa perceraian yang ditempuh akan membuat mereka terjebak pada perceraian-perceraian berikutnya. Kalau ketahanan sebuah keluarga rapuh, bagaimana suatu masyarakat berikut negara akan kuat. Bukankah keluarga merupakan unit terkecil suatu masyarakat? Pernikahan dini yang ternyata berakibat kegagalan rumah tangga inilah, antara lain yang kini mengundang perhatian para pegiat sosial dengan menjadikannya isu pembicaraan berskala luas. Bahakan, sepertinya mereka ‘sangat benci’ dengan eksistensi pernikahan dini dengan alasan apa pun.

Memang sering kita saksikan, setiap pengantin waktu acara walimah telah mendapatkan pembekalan, berupa nasihat perkawinan. Akan tetapi, sayang pembekalan oleh para pendakwah sering hanya sebatas urusan domestik seputar tataboga, seperti pahala istri membuatkan kopi dan menyediakan makan dan minum bagi suami. Bahkan, sering kita jumpai ada pendakwah ketika memberikan nasihat perkawinan, sepanjang ceramahnya, dengan kemasan humor vulgar, hanya ngobrol seputar urusan ranjang suami istri. Padahal, yang hadir pada resepsi itu tidak hanya orang-orang dewasa. Instansi yang berwenang tampakanya perlu ‘merespon’ fenomena pendakwah model semacam itu.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait