Oleh :
Rudi S Kamri
Kemaren sore saya tersentak hebat saat seorang sahabat memberitahu saya bahwa Presiden Joko Widodo mempertimbangkan akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) tentang KPK. Sahabat saya tersebut tahu pasti bahwa saya sangat tidak setuju penerbitan PERPPU oleh Presiden terkait KPK. Sahabat saya mendesak saya untuk menyikapi keputusan Jokowi tersebut dalam sebuah tulisan. Baiklah.
Sebelum saya menyikapi keputusan Presiden, izinkan saya menjelaskan mengapa saya tidak setuju penerbitan PERPPU untuk KPK.
PERTAMA
Bangsa ini harus dididik untuk taat terhadap konstitusi. Bahwa siapapun yang tidak setuju dengan sebuah Undang-Undang (UU) sudah ada instrumen konstitusional yang bisa digunakan yaitu mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Di persidangan MK kita boleh berbusa-busa beradu argumen dan kita serahkan kepada hakim-hakim MK untuk memutuskan. Keputusan MK yang bersifat ‘final & binding’ (final dan mengikat) akan menjadi muara akhir perbedaan pendapat diantara kita. “That’s a constitutional law”, mengutip ucapan Prof. Yasonna H. Laoly.
KEDUA
Tuntutan massa yang tidak setuju terhadap sebuah UU yang disuarakan melalui pengadilan jalanan seyogyanya tidak begitu mudah dituruti. Karena hal tersebut bisa menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum di negeri ini. Menurut saya bisa jadi tuntutan massa tersebut sarat kepentingan dari kelompok tertentu. Rakyat, siapapun mereka harus dibiasakan menempuh jalur konstitusional dalam menuntut sesuatu.
Namun kali ini saya menduga keras, Presiden Jokowi sedang dalam kondisi tertekan keras dengan adanya gempuran kerusuhan dari segala penjuru arah mata angin. Demi sebuah kepentingan yang lebih besar menyangkut persatuan dan kesatuan bangsa, akhirnya Presiden Jokowi terpaksa mengambil keputusan yang sebenarnya ingin beliau hindari. Di titik ini saya melihat para tokoh nasional yang bertemu Presiden kemaren tidak mampu membantu Presiden untuk meyakinkan rakyat untuk tunduk dalam koridor konstitusi. Sebuah masukan pragmatis yang membuat Presiden tidak ada pilihan.
Ada yang harus saya cermati kemudian. Seperti apakah poin-poin PERPPU yang akan dikeluarkan oleh Presiden Jokowi ? Apakah akan kembali memberlakukan UU KPK yang lama atau menempuh jalan tengah. Kalau pilihan yang diambil memberlakukan UU KPK yang lama, hal itu merupakan kemenangan mahkamah jalanan yang dimotori pihak-pihak tertentu di internal KPK. Dan itu berarti preseden buruk, negara telah tunduk pada kepentingan kelompok tertentu. Namun kalau dalam PERPPU nanti masih memuat poin-poin yang diinginkan oleh Pemerintah dan DPR secara terbatas, bagi saya itu pilihan terbaik diantara alternatif terburuk yang bisa diambil oleh Presiden.
Saran saya, sebelum mengeluarkan PERPPU sebaiknya Presiden Jokowi harus terlebih dahulu melakukan konsultasi intensif dengan seluruh pimpinan partai politik pengusung, pendukung maupun partai oposisi. Agar PERPPU nantinya tidak digergaji oleh DPR RI periode 2019-2024. Kalau sampai PERPPU tersebut nanti ditolak oleh DPR, hal itu akan merupakan blunder dan menimbulkan kesulitan politik baru bagi Presiden Jokowi.
Pertanyaannya, apakah setelah Presiden mengeluarkan PERPPU KPK semua kegaduhan dan kerusuhan ini akan serta merta berhenti ?
SAYA TIDAK YAKIN. Karena menurut saya semua kegaduhan dan kerusuhan yang menyuarakan ketidaksetujuan terhadap revisi UU KPK ini hanyalah sekedar alat pemicu yang digunakan oleh “Sang Master Mind” Kelompok Serigala Jahat untuk mengganggu pemerintahan Presiden Jokowi. Bahkan analisa saya semua kegaduhan ini digunakan untuk menggagalkan pelantikan Presiden Jokowi. Usaha mereka akan berlanjut sampai posisi tawar mereka diakui oleh Pemerintah. Ini sebuah kejahatan kebangsaan yang terstruktur, masif dan sistematis. Isu KPK berlalu, mereka akan menggerakkan massa lagi dengan isu kenaikan iuran BPJS, tarif ojek online atau isu remeh remeh lainnya.
Mengapa mereka begitu leluasa menyerang Presiden Jokowi? Karena mereka tahu pasti bahwa saat ini ‘barrier’ pelindung Jokowi secara politik terlihat melemah. Partai-partai pengusung dan pendukung Jokowi sengaja membiarkan Jokowi seorang diri. Mereka sedang sibuk mengkalkulasi posisi menteri yang akan diberikan Jokowi di kabinet baru nanti dan menyiapkan langkah penyelamatan diri untuk lima tahun ke depan. Para pembantu Jokowi di kabinet pun yang biasanya gahar menghadang serangan kepada Presiden Jokowi juga sedang mengambil jarak dengan mempertimbangkan apakah mereka diberi kursi lagi atau diganti di kabinet baru nanti.
Kekuatan Presiden Jokowi kini tinggal pada loyalitas TNI-POLRI dan para relawan Jokowi serta para intelektual dan akademisi yang terkadang lebih mencari jalan aman dan bersikap pragmatis. Dengan konstelasi ini, saya menghimbau kepada para relawan militan Jokowi untuk tetap bersiaga membentengi Presiden dan bersiap apabila ada seruan “Jokowi Call”. Kita tidak boleh membiarkan Jokowi berjalan seorang diri. Kita harus bersama Jokowi sampai tugas pengabdian beliau kepada negeri ini tertuntaskan.
Jujur saya sedih. Sampai kapan derajat berpikir bangsa ini tetap menyerah dikendalikan oleh Sang Bandar pemilik uang ? Sampai kapan bangsa ini tetap diajarkan tradisi main paksa ? Entahlah, saya tidak tahu…..
Salam SATU Indonesia
27092019