SURABAYA, Beritalima.com | Para mahasiswa dari lintas organisasi memprotes perseteruan antara Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dengan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini terkait mobil PCR yang dipinjami BNPB. Mereka mengkritik pedas konflik antara dua pimpinan tersebut. Di mata mereka, perseteruan tersebut tak layak dipertontonkan di tengah pandemik COVID-19 dan dapat menambah keresahan masyarakat. Senin (1/6/2020)
Mahasiswa kritik keras perseteruan Pemprov Jatim dengan Pemkot Surabaya terkait
Mobil laboratorium pinjaman BNPB dan BIN di Asrama Haji Surabaya. Kritik tersebut disampaikan oleh Cipayung Plus Jawa Timur (GMKI, GMNI, HMI, IMM, KAMMI dan KMHDI).
Ketua Umum GMNI Jatim Naha mengatakan, permasalahan yang muncul antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur dengan Pemerintah Kota (Pemkoy) Surabaya berkaitan dengan mobil PCR bantuan BNPB merupakan contoh yang buruk.
“Problem yang terjadi di tengah penanganan COVID-19 antara gubernur Jatim dan wali kota Surabaya mempertontonkan hal yang tidak pantas dipertontonkan di masyarakat,” tegasnya melalui pernyataan tertulis.
Ketum IMM Jatim Andreas, melanjutkan, polemik tersebut bisa membuat masyarakat semakin resah di tengah pandemik yang sedang melanda. Padahal mereka berharap instansi pemerintahan bisa berkerja sama dalam memerangi penyebaran COVID-19 di Jatim.
“Harusnya, Pemprov Jatim bisa memaksimalkan penggunaan mobil PCR tersebut di Kota Surabaya. Mengingat banyaknya jumlah pasian COVID-19 di kota tersebut. Tapi kalaupun Pemprov menilai harus dialihkan. Ya harusnya koordinasi yang baik lah, ini kan kacau komunikasinya,” tuturnya.
Harusnya keduanya bisa bersinergi. Walikota Surabaya, Tri Rismaharini marah karena mobil PCR dialihkan untuk daerah lain. Ketum GMKI Jatim Ridwan dan Ketua Umum KAMMI Jawa Timur Rijal pun berpendapat serupa. Harusnya kedua belah pihak bisa belajar membangun sinergi yang baik dengan semua elemen pemerintah daerah sehingga timbul langkah bersama yang cepat dan tepat untuk menghentikan penyebaran virus corona. Bukannya saling tuding dan saling serang.
“Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya harus lebih serius dalam menangani COVID-19 di Jatim dan Surabaya sebagai pusat lonjakan pandemik akhir-akhir ini. Saya mengutuk keras apa yang terjadi baru-baru ini mengenai bantuan mobil PCR dari BNPB, jangan sampai ke depan terulang lagi. Saya tidak ingin menyalahkan siapa-siapa, tapi kalau gaya komunikasinya dipertontonkan ke publik begitu kan tidak etis sebagai elit pemimpin” ungkap Ridwan.
Ketum KMHDI Jatim Arya menambahkan, daripada Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim eyel-eyelan, lebih baik mereka melakukan evaluasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Surabaya Raya yang dirasa masih tidak efektif.
“PSBB yang masih ada di Surabaya Raya tidak efektif dengan melihat rantai perkembangan COVID-19 yang naik. PSBB yang terus diperpanjang tanpa melakukan evaluasi sebelumnya menyebabkan kebijakan ini menjadi tidak efektif,” imbuhnya.
Ada hal lain yang harusnya lebih diperhatikan. Sementara Ketua Umum HMI Jatim Yogi Pratama memberikan saran langkah strategis yang harus diambil oleh kedua pemimpin tersebut. Pertama, gubernur dan wali kota harus bisa membedakan urusan musibah kemanusiaan dan urusan politik. Jangan semua urusan dijadikan panggung politik untuk mengambil simpati dari masyarakat apalagi saling menjatuhkan satu sama lain.
“Kedua, saya meminta Pemprov jatim dan tim Satgas COVID-19 membuat dan menyajikan kurva epidemik COVID-19 yang sesuai standar sesuai ilmu epidemiologi. Data kurva epidemik ini kan bisa digunakan untuk menjelaskan perjalanan epidemik, menentukan sumber dan kapan penularan terjadi, menentukan puncak, sampai memperkirakan kapan pandemic ini berakhir,” jelasnya.
“Ketiga, pemprov harus memasifkan tes di daerah yang menerapkan PSBB (Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo). Rapid test yang dilakukan masih rendah di daerah tersebut yakni belum sampai 1 persen dari jumlah populasi 6,5 juta di tiga daerah tersebut,” ucap alumnus Universitas Jember tersebut. (yul)