Persidangan ‘Yang Panas’

  • Whatsapp

(Sebuah Refleksi)

Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim PTA Jayapura)

Genghis Khan adalah orang Mongol yang menyatukan bangsa Mongol dan kemudian mendirikan kekaisaran Mongolia. Dengan kekuatan pasukan yang dimiliki plus kegemarannya berperang membuat ia dapat menaklukkan sebagian besar wilayah Asia. Kaisar yang dilahirkan sekitar tahun 1162 atau 1167 dengan nama Temujin. Dalam sejarah tercatat salah seorang cucunya bernama Hulaghu Khan pernah menjadi mimpi buruk bagi Umat Islam, khususnya Daulat Abbasiyah saat membumi hanguskan Baghdad sekaligus mengakhiri kekuasaannya pada tahun 656 hijriah atau 1258 masehi. Kebrutalannya telah menewaskan ratusan ribu penduduk dan berbagai dokumen penting, termasuk khazanah keilmuan yang nyaris tak tersisa.

Alkisah, suatu saat Genghis Khan sedang berburu ditemani oleh seekor burung elang peliharaannya. Rupanya hari itu kaisar, yang sebenarnya tercatat sangat toleran, ini sedang sial. Hasil buruannya tidak sesuai harapan. Kekecewaan dan kekesalan pun menyelimuti perasaannya yang kemudian mendorongnya ingin beristirahat. Karena lelah dan haus ia pun mencari air untuk diminum. Dari tempat ia istirahat, dilihatnya ada batu yang meneteskan air. Maka Genghis Khan menadahkan gelasnya untuk dipenuhi dengan air itu. Saat sudah penuh ia berniat meminumnya, tiba-tiba sang elang seperti secara sengaja menyenggol gelasnya sehingga airnya tumpah. Genghis Khan yang sedang kehausan, sangat marah, lalu menghunus pedangnya dan dibunuhlah elang itu.

Karena kehausan maka Genghis Khan pun memanjat untuk menemukan sumber air. Di ketinggian itu dia dapat melihat dengan jelas sebuah kolam besar yang menjadi sumber tetesan air. Pada saat yang sama dia juga dapat melihat dengan jelas, bahwa ternyata dalam kolam besar itu terdapat bangkai ular berbisa. Untunglah air tersebut tidak jadi diminum karena tertumpah. Pada saat itulah, Genghis Khan menyadari bahwa sang elang tadi rupanya telah menyelamatkannya. Air kolam yang tercemar tidak jadi diminumnya. Genghis Khan pun menyesal telah membunuh elang yang telah berjasa itu. Dia sadar, bahwa dia telah melakukan kesalahan besar. Burung yang salama ini mendampingi kemana pun saat berburu, harus mati akibat perbuatan cerobohnya. Dan, perbuatan ceroboh itu bersumber dari rasa amarah yang dalam sekejap menghilangkan rasionalitasnya.

Amarah dalam Sidang dan Dampaknya
Cerita tentang hakim marah saat menyidangkan perkara sudah sering terjadi. Ekspresi kemarahannya bisa bermacam-macam, seperti bertanya dengan nada tinggi, membentak-bentak pihak/ pengacara atau mengolok-olok, dan mengetuk palu sidang keras-keras. Dalam situasi demikian suasana “persidangan pun sering terasa panas”. Kemarahan ini bisa diakibatkan oleh ulah para pihak yang tidak sesuai ekspektasi aturan dan/ atau bisa karena memang karakter dasar hakim yang memang temperamental. Ada (hakim) yang mungkin berkilah bahwa kemarahan itu secara manusiawi tentu wajar karena hakim adalah manusia juga. Pikiran demikian tentu muncul untuk dicoba sebagai alasan pembenarnya.
Ekspresi kemarahan hakim tersebut kadang-kadang memang dapat menjadi senjata ampuhnya. Para pihak yang ‘takut’ dengan hakim biasanya kemudian memenuhi kemauan hakim. Dengan alasan ini sebagian hakim punya persepsi bahwa kadang-kadang amarah itu diperlukan karena dapat meningkatkan kewibawaan. Persepsi demikian pernah ‘dikririk’ oleh Hujjatul Islam Al Imam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali At-Thusi sebagaimana dikemukakan oleh Syaikh Jamaludin Al Qasimi sebagai berikut:
“Dan motivasi paling besar yang mendorong untuk marah menurut mayoritas orang bodoh adalah apa yang mereka sebut kemarahan sebagai keberanian dan kemuliaan diri, sehingga dianggap baik dan dicondongi oleh nafsu. Ini adalah kebodohan, bahkan penyakit hati dan kurangnya akal. Orang bodoh ini bisa diobati dengan cara dibacakan kepadanya cerita-cerita orang yang ramah dan pemaaf, dan hal-hal yang dianggap baik dari mereka berupa menahan amarah, sesungguhnya hal tersebut dikutip dari para Nabi dan Ulama.” (Syekh Jamaluddin al-Qasimi, Mau’idhah al-Mu’mini Min Ihya’ Ulum al-Din, hal. 207)
Akan tetapi, juga tidak sedikit bereaksi sebaliknya. Mereka tidak memenuhi harapan hakim. Ekspresi kemarahan hakim itu justru menjadi bahan untuk melawan hakim. Kemarahan hakim tidak hanya menghilangkan wibawanya tetapi bahkan membuat para pihak berani melawan. Justru mereka seolah sudah menunggu situasi seperti itu. Bagi mereka kemarahan merupakan titik lemah yang dapat dijadikan bahan menjatuhkannya. Akibat mengenai hal ini, dalam praktik memang banyak hakim yang akhirnya menjadi bahan bulan-bulanan para pihak dan pengacara. Dengan merujuk pedoman perilaku hakim, mereka akhirnya membuat pengaduan-pengaduan ke berbagai institusi terkait. Akibat pengaduan demikian oknum hakim tersebut kemudian harus bersibuk ria menempuh hari-hari panjang menghadapi para pejabat yang berwenang (Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan MA).
Amarah dan Ajaran Agama (Islam)
Agama tampaknya telah menjadikan sifat amarah ini bagian ajaran yang penting untuk dijadikan bahan refleksi. Dalam Al Qur’an tertulis, bahwa Allah pernah menyampaikan firman-Nya. Dalam Surat Ali Imran ayat 133, Allah memberikan petunjuk bahwa menahan marah merupakan salah satu tanda ketakwaan seseorang yang akan memperoleh reward kehidupan ideal di surga. Dalam Hadits juga dapat dijumpai berbagai sabda rasulullah SAW tentang keburukan sifat amarah termasuk cara menyikapinya. Dari berbagai petunjuk dalil ajaran agama itu, oleh para ulama amarah telah dijadikan bahasan dalam topik tersendiri. Dalam ilmu tasawuf menghindari amarah merupakan salah satu tangga menggapai derajat spiritual (maqam) tertentu.
Secara ideal, amarah dan profesi hakim tampaknya sudah menjadi persoalan yang diwacanakan oleh agama (Islam) sejak awal. Dalam salah satu hadits, rasulullah pernah secara khusus bersabda:
لا يَقْضِيَنَّ حَكَمٌ بيْنَ اثْنَيْنِ وهو غَضْبَانُ
Artinya: “Seorang hakim dilarang memutuskan antara dua orang ketika marah”. (HR. Bukhari : 6625).
Sebagaimana diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, hadits itu pulalah yang dipesankan oleh Abu Bakrah kepada anaknya ketika berada di Sijistan. Melalui surat yang sengaja ditulis ia berpesan singkat nan penting: “Jangan engkau mengadili di antara dua orang ketika engkau marah, sebab aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Seorang hakim dilarang memutuskan antara dua orang ketika marah”.
Dalam kesempatan lain rasulullah SAW juga mengingatkan pentingnya menahan amarah ini. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, seseorang datang menemui Rasulullah SAW. Di hadapan rasulullah SAW ia pun meminta nasihat dengan berkata:
أوصني. قال: لا تغضب فردد مرارا قال: لا تغضب
Artinya: “Berikan nasihat kepadaku wahai Rasulullah. Beliau bersabda: “Jangan marah.” Sambil mengulanginya beberapa kali, beliau pun tetap bersabda: “Jangan marah.” (HR. Bukhari)
Urgensi Mengendalikan Amarah
Tentang urgensi mengendalikan marah oleh hakim ini, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Komaruddin Hidayat memberikan uraian penting. Menurutnya, mengadili orang lain merupakan tindakan memberi kepastian hukum atas persoalan yang terjadi pada seseorang. Sedangkan kepastian hukum itu bisa bernilai benar atau salah. Setiap putusan dalam persoalan yang menimpa orang lain selalu membawa implikasi dan konsekuensi. Terkadang konsekuensi itu akan dirasakan dalam waktu yang lama bahkan terkadang hingga seumur hidup. Itulah mengapa dalam bidang peradilan, seseorang dituntut kelapangan hatinya ketika hendak mengambil keputusan. Jangan mengambil keputusan saat diri sendiri belum mampu adil dalam mengolah emosi. (https://islamdigest.republika.co.id)
Dengan demikiam amarah hakim tidak hanya bisa terjadi pada saat menyidangkan perkara di ruanag sidang. Yang lebih berbahaya ialah saat hakim bermusyawarah, berfikir dan berikut membuat narasi putusan dalam situasi amarah. Padahal, sebuah putusan mestinya ditulis dan disusun dalam suasana keheningan nurani.
Hakikat Amarah
Menurut psikologi, sebagaimana ditulis oleh Doni Nurhadi, amarah yaitu perubahan dalam diri atau emosi yang dibawa oleh kekuatan dan rasa dendam serta benci demi menghilangkan gemuruh di dalam dada. Lebih lanjut ia menulis amarah dalam perspektif ilmu tasawuf. Dalam perspektif ilmu tasawuf ada yang di kenal dengan istilah khotir nafsani, yaitu lintasan-lintasan gerakan dalam hati yang datang pada diri manusia, dan khotir ini akan selalu mengajak manusia untuk berlaku buruk dan jahat, khotir ini selamanya tidak menjadi nasihat untuk diri manusia. Jika “khotir nafsani” ini terus di pupuk oleh bisikan ataupun narasi-narasi kebencian, maka akan melahirkan kemarahan yang pada fase ini hadirlah “khotir syaithoni” yakni lintasan-lintasan gerakan hati yang berasal dari bisikan setan, karena setan telah menemukan momennya untuk menggelincirkan manusia kedalam lembah kehinaannya. (https://jabar.kemenag.go.id/)
Amarah dan Kecerdasan
Ketika amarah melanda, orang tertentu biasa mengalihkannya pada situasi tertentu sehingga amarah tidak terlampiaskan. Secara psikologi sebagaimana ditulis dalam laman Universitas Ahmad Dahlan, cara paling utama adalah menyadari bahwa kita sedang marah, berfikir ulang terhadap tertundanya keinginan, memikirkan sisi positif dari kejadian yang tidak menyenangkan, memilikrkan dampak negatif terhadap kesehatan diri, belajar menunda kepuasan, menyalurkan hobi dengan berkarya sehingga energi yang terkumpul dapat diarahkan pada kegiatan yang bermanfaat. Sharing dengan sahabat, teman atau siapa saja yang dapat menjadi tempat untuk memuntahkan isi beban yang sedang dialami. Menulis pada buku harian, mengekspresikan dengan menggambar, membuat cerita atau sekedar menggoreskan isi hati melalui buku merupakan kegiatan positif dibandingkan dengan penumpahan kemarahan secara langsung.
Dari pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa tabiat amarah tampaknya juga dapat menjadi indikator kreativtas sekaligus kecerdasan seseorang. Orang yang kreatif dan cerdas tentu akan memiliki berbagai solusi atas setiap problematika yang sedang di hadapi termasuk problem yang membuatnya marah. Orang cerdas dan kreatif tentu akan selalu punya sejuta cara untuk keluar dari problematika yang dihadapi. Dari sini juga dapat diperoleh indikasi, bahwa “orang yang mudah melampiaskan amarah sejatinya merupakan orang yang orang yang kurang kreatif atau kurang cerdas.”
Solusi Amarah
Al-Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip Syekh Jamaluddin al-Qasimi memaparkan, bahwa ketika amarah memuncak, ada dua cara meredamnya, yaitu dengan “ilmu” dan “amal”. Meredam amarah dengan ilmu, antara lain dengan cara berpikir bagaimana buruknya muka ketika marah. Bayangkan bagaimana raut muka orang lain saat marah, berpikirlah tentang buruknya marah di dalam dirinya, berpikirlah bahwa saat marah ia seperti anjing yang membahayakan dan binatang buas yang mengancam, berpikirlah untuk menyerupai orang ramah yang dapat menahan amarah layaknya para nabi, wali, ulama dan para bijak. Setelah mengetahui hal itu, berilah pilihan untuk dirimu, apakah lebih memilih serupa dengan anjing, binatang buas dan manusia-manusia hina ataukah memilih untuk menyerupai ulama dan para nabi di dalam kebiasaan mereka? Orang yang cerdas dan sehat rohaninya tentu akan lebih memilih kebiasaan para nabi dan para ulama yang salihin
Sedangkan meredam amarah dengan perbuatan, antara lain: “Katakanlah dengan lisanmu, A’ûdzu billâhi minasy syaithânir rajîm (Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk). Bila engkau berdiri, duduklah. Bila engkau duduk, tidurlah miring. Disunahkan berwudhu dengan air yang dingin, sesungguhnya kemarahan adalah dari setan dan setan diciptakan dari api, sedangkan api tidaklah bisa dipadamkan kecuali dengan air.” (Syekh Jamaluddin al-Qasimi, Mau’ihhah al-Mu’mini min Ihya’ Ulum al-Din, hal. 208).
Paparan di muka dikemukakan dalam konteks untuk terus menempuh ikhtar menjaga hakim terhindar dari laporan-laporan negatif sebagaimana yang terjadi selama ini. Dan, yang lebih substansial, narasi di atas juga dimaksudkan untuk tetap memelihara muruah hakim, sehingga sebutan “Yang Mulia” yang disematkan kepadanya tetap terjaga. Dan, yang lebih penting dan mendasar agar penghormatan masyarakat kepada hakim benar-benar sesuai dengan kapasitas diri dan jabatan yang sedang diemban.Semoga.

BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama, IV/e
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang

Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com

beritalima.com

Pos terkait