SURABAYA – beritalima.com, Nasib miris dialami terdakwa Liliana Herawati Binti Husein Abdullah. Demi mempertahankan haknya selaku pimpinan pusat perguruan pembinaan mental karate kyokushinkai, dia malah dituntut dengan pidana penjara 4,5 tahun lamanya, dengan dalih memasukan keterangan palsu ke dalam Akta Otentik.
Jaksa Darwis dalam amar putusannnya mengatakan kalau Liliana terbukti bersalah melakukan tindakan pidana sebagaimana tertuang dalam pasal 266 ayat (1) KUHP berikut seluruh unsur-unsurnya.
”Terdakwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dalam dakwaan pertama. Menuntut Terdakwa dengan pidana penjara selama empat tahun enam bulan,” ujar Jaksa Darwis saat membacakan tuntutannya di ruang Sidang Cakra, Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Selasa (18/7/2023).
Dalam pertimbangannya Jaksa Darwis menyebut bahwa Liliana sudah terbukti menggunakan Akta Nomor 8 tahun 2022 yang dibuat di notaris Andi Prayitno untuk mengcounter akta No 16 tahun 2020 yang dibuat oleh notaris Setiawati Sabarudin.
Bahkan Jaksa Darwis juga menyebut jika Liliana juga sudah menggunakan akta nomor 8/2022 untuk dijadikan dasar pelaporan terhadap saksi Erick Sastrodikoro di Mabes Polri, padahal diketahui senyatanya terdakwa telah menyatakan mengundurkan diri berdasarkan Notulen Rapat tanggal 07 November 2019.
Jaksa Darwis juga mempertimbangkan hal yang memberatkan yakni perbuatan dari terdakwa sudah merugikan orang lain, terdakwa tidak mengakui perbuatannya. Sementara hal yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum.
Menyikapi tuntutan Itu, kuasa hukum Liliana Herawati, Beny Ruston SH,.MH hanya menyebut dengan tiga kata, luar biasa dan memperhatikan.
Menurut Beny, dalam tuntutannya Jaksa selalu berdasarkan pada.fakta persidangan. Namun tidak disebutkan fakta persidangan apa dan saksi siapa yang menerangkan tentang seperti itu.
“Yang dikutip hanya perbagian-perbagian saja,.dan itupun keterangan ahli yang disampaikan termasuk ahli bahasa tidak disebutkan,” katanya di PN Surabaya.
Antara keterangan ahli bahasa dan ahli perdata, tambah Beny terjadi kontradiktif. Contoh, ahli bahasa menyampaikan bahwa syarat mundurnya harus di rubah dulu namanya. Sedangkan ahli perdata menyampaikan Itu sendiri-sendiri.
“Untuk mengkoreksi itu siapa yang harus dipercaya, apakah ahli bahasa atau ahli Perdata. Apakah Jaksa harus memuat keduanya dalam pertimbangan tuntutannya,” tambahnya.
Ditanya apakah tuntutan 4,5 tahun jaksa terhadap Liliana tersebut tidak benar,? Bukan tidak benar, karena bagi kami jaksa menuntut seperti itu subyektifnya dia.
“Kami menuangkan itu dalam pembelaan kami dan mengklarifikasi bahwa apa yang dituntut Jaksa tidak benar,” jawabnya.
Ditanya lagi bagaimana versi Liliana terkait perkara ini,? Beny hanya menjawab dalam pembelaan nanti pihaknya akan membacakan juga versi Liliana.
Sebelumnya, dalam sidang pemeriksaan terdakwa, Kaicho Liliana Herawati menyebut kasus yang menjerat dirinya bermula dari adanya polemik seputar akumulasi Dana Arisan yang terkumpul.
“Arisan periode pertama tahun 2007, ketua arisannya Rudi Hartono dan tidak ada masalah, rekening arisan atas nama Bambang Haryo dan Usman Wibisono. Arisan periode kedua ketuanya tetap Rudi Hartono, tidak ada masalah dan ada saldo. Arisan periode ketiga rekeningnya atas nama Rudi Hartono, Erick Sastrodikoro dan Sunur. Arisan periode keempat mulai memakai rekening atas nama Perkumpulan dan yang ditandatangani Tjandra Srijaya,” katanya di ruang sidang Cakra.
Menyikapi polemik dana arisan tersebut Liliana selaku pimpinan pernah menandatangani surat penagihan uang arisan kepada Tjandra Srijaya dkk agar segera mengembalikan uang arisan dari rekening Perkumpulan ke rekening Yayasan. Nominalnya sekitar Rp 11 miliar lebih.
“Angka 11 miliar lebih itu saya ketahui melalui 15 kali slip penarikan. Setahu saya yang ditarik hanya uang arisan yang di rekening BCA, yang tanda tangan penarikan adalah Tjandra Srijaya. Terkait Perkumpulan punya rekening lain selain BCA, baru saya ketahui setelah ada beberapa kali penarikan. Contoh. ada penarikan uang arisan dari rekening BCA disetorkan ke rekening Bank Artha Graha. Uang arisan dipindahkan dari BCA ke Mayapada dan Bank Artha Graha,” lanjutnya.
Berkaitan dengan Notulen Rapat tanggal 7 Nopember 2019 di gedung Srijaya. Liliana mengaku sewaktu dirinya tanda tangan Notulen Rapat, Dirinya tidak mendapati tulisan apapun di lembar belakang notulen tersebut.
“Terkait catatan tambahan dibelakang Notulen Rapat yang berisikan tulisan ‘Akan dipertimbangkan dan diputuskan dalam waktu 1 sampai 2 hari’ belum ada, namun wacana soal itu hanya dibahas secara lisan,” aku Liliana.
Setelah rapat tanggal 7 Nopember 2019 mengalami dead lock. Liliana mengaku melakukan percakapan melalui WhatsApp dengan Erick Sastrodikoro yang intinya dia minta waktu pada Erick untuk berpikir kembali selama beberapa hari untuk menyetujui atau menolak usulan dari Tjandra Srijaya supaya meniadakan nama pembinaan mental karate dari Perkumpulan, termasuk pernyataan kesediannya keluar dari Perkumpulan.
Masih berkaitan dengan rapat 7 Nopember 2019, Liliana mengatakan kalau rapat tersebut adalah inisiatif dari dirinya setelah ada kisruh di media sosial antara warga perguruan Usman Wibisono dengan Yunita Wijaya.
Terkait Akta Nomer 13 tahun 2015 tentang Pendirian Perkumpulan, Liliana mengaku baru mendapatkan salinan Aktanya di tahun 2022.
Dihadapan majelis hakim yang diketuai Ojo Sumarna, Liliana juga mengklarifikasi bahwa dirinya tidak pernah menggunakan Akta Pernyataan Nomer 8 tahun 2022 buatan Notaris Andi Prajitno ke Bareskrim Polri.
“Pernyataan yang saya ucapkan di depan hakim yang menyidangkan perkara ini adalah yang benar dan saya berani bersumpah. Hanya point 1 dalam pernyataan itu yang sudah dilakukan, bahwa Tjandra Srijaya berhenti sebagai ketua DPP. Point 2 meniadakan nama pembinaan mental karate dari Perkumpulan dan point 3 saya mengundurkan diri kalau point 2 sudah dilaksanakan,” paparnya.
Liliana juga memastikan bahwa berdasarkan anggaran dasar dari Akta Nomor 13 tentang Pendirian Perkumpulan dinyatakan setiap anggota yang keluar atau mengundurkan diri dari Perkumpulan harus mengajukan surat pada badan pengurus.
“Saya tidak pernah membuat surat pengunduran diri dari Perkumpulan seperti yang tercatat dalam Akta Nomer 16 tahun 2020 tentang Pernyataan Keputusan Rapat,” tandasnya.
Terkait Akta Nomer 8 tahun 2022, Liliana mengungkapkan, baru menerima salinan Akta tersebut pada tanggal 18 Juni 2022 sore hari melalui seorang kurir. Sedangkan untuk Akta No 16 tahun 2020 tentang pernyataan keputusan rapat yang berisi pengunduran diri Liliana. Dilihat pertama kali oleh Liliana di tahun 2022 di Batu-Malang.
“Terus terang saya kaget karena Akta nomer 16 itu tidak pernah sedikitpun saya dengar dari pendiri maupun pengurus Perkumpulan. Saya kaget pak jaksa karena disitu berisi menyetujui pengunduran diri saya. Kenapa akta itu dibuat tahun 2020 tetapi baru saya terima tahun 2022,” ungkapnya.
Pasca melihat isi Akta Nomer 16 tahun 2020, Liliana langsung mengadakan rapat internal melalui Zoom Meting yang melibatkan seluruh pengurus Perguruan.
“Tjandra Srijaya tidak ikut dilibatkan karena dia bukan pengurus Perguruan. Hasil Zoom Meting semua pihak termasuk tim legal Usman Wibisono memberikan masukan untuk membuat akta tandingan guna mengkonter Akta Nomer 16. Isinya bahwa saya tidak pernah mengundurkan diri dari Perkumpulan,” pungkas Liliana Herawati. (Han)