DEPOK, Beritalima.com | Kota Depok di Provinsi Jawa Barat, menjadi salah satu wilayah yang menggelar Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember 2020.
Petahana pecah kongsi, masing-masing maju sebagai calon wali kota di Pilkada Depok 2020.
Ini riwayat, geliat perpolitikan, dan bacaan peluang dari pertarungan Pilkada Depok 2020 yang disebut bak laga El Clasico di kancah sepak bola.
DUA “matahari” bertarung di Pilkada Depok 2020. Mohammad Idris dan Pradi Supriatna, yang saat ini masih dalam satu perahu memimpin Kota Depok, kini pecah kongsi. Dulu kawan, kini lawan.
Idris, petahana Wali Kota Depok, berupaya mempertahankan jabatannya. Idris berduet dengan Imam Budi Hartono, kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang menjabat anggota DPRD Jawa Barat.
Sementara Pradi, petahana Wakil Wali Kota Depok, kini mengincar kursi yang diduduki Idris. Politisi Partai Gerindra ini maju didampingi kader perempuan PDI Perjuangan, Afifah Alia.
Pasangan dua “matahari” ini akan bertarung dalam Pilkada Depok yang akan digelar pada 9 Desember 2020.
Pada Pilkada Depok 2015, Idris diusung menjadi calon wali kota menggantikan kader PKS Nur Mahmudi Ismail.
Idris berasal dari kalangan nonpartai. Ia lekat dengan citra pendakwah dan dikenal dekat dengan PKS.
Meski begitu, Ia bukan orang baru di pemerintahan. Saat Nur Mahmudi masih memerintah pada periode 2011-2016, Idris adalah wakilnya.
Sementara itu, Pradi merupakan Ketua DPC Gerindra Kota Depok saat ini. Ia juga bukan orang baru di jagat politik Kota Depok.
Pradi sempat mencalonkan diri menjadi calon wakil wali kota pada 2010, mendampingi Yuyun Wira Saputra, tapi tumbang oleh Nur Mahmudi-Idris.
Pada Pilkada Depok 2015, Pradi mencoba peruntungan untuk kali kedua. Ia digaet oleh Idris sebagai calon wakil.
Kala itu, berbekal sembilan kursi, Gerindra tak bisa mengusung sendiri pasangan calon kepala daerah di Depok. Partai politik di Depok minimal harus punya 10 kursi di parlemen untuk mengusung pasangan calon.
PKS menjadi pengusung utama pasangan Idris-Pradi. Pasangan ini berhadapan dengan pasangan Dimas Oky Nugroho-Babai Suhaimi yang diusung PDI-P dan Golkar.
Dalam pemungutan suara pada 9 Desember 2016, Idris-Pradi menang telak dengan perolehan 411.367 atau 61,91 persen suara, menundukkan pasangan Dimas-Babai yang hanya meraup 253.086 atau 38,19 persen suara.
Empat tahun tampaknya bukan waktu yang cukup bagi Idris dan Pradi menjaga keharmonisan yang mereka pupuk sejak berkampanye bersama pada 2015.
Keretakan hubungan di antara mereka memang tak ditunjukkan secara telanjang, baik oleh Idris maupun Pradi, melalui pelbagai pernyataan.
Namun, PKS dan Gerindra rupanya perang dingin di dalam pemerintahan Kota Depok.
RUMOR bahwa Idris dan Pradi tak lagi harmonis di Balai Kota semakin benderang ketika pandemi Covid-19 melanda.
Kota Depok, pada Maret 2020 menjadi sorotan nasional setelah warganya menjadi pasien pertama Covid-19 di Indonesia. Tak ayal, semua mata mengarah ke Depok.
Pemkot Depok coba bergerak cepat dengan segera menyusun Gugus Tugas Penanganan Covid-19. Isinya, para kepala organisasi perangkat daerah (OPD) di lingkungan Pemkot Depok, dari kepala dinas hingga camat.
Gugus tugas dikomandoi langsung oleh Idris. Namun, dalam tim gugus tugas, tak tercantum nama Pradi Supriatna.
Menurut klaim kubu Pradi, bukan saat pandemi Covid-19 saja mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan. Ini antara lain disampaikan anak buah Pradi di kepengurusan partai, Hamzah, yang kini menjabat sekretaris tim pemenangan Pradi-Afifah.
“Kalau orang mengatakan, sama-sama incumbent (petahana dengan Idris), iya. Tapi Bang Pradi ini sebagai wakil tidak banyak terlibat dalam kebijakan-kebijakan,” kata Hamzah dalam acara Deklarasi Pradi-Afifah, Kamis (3/9/2020).
Bahkan, lanjut Hamzah, kebijakan-kebijakan penting yang mestinya didiskusikan dengan wakil, jarang sekali atau bahkan tidak sama sekali diajak, untuk mengambil langkah-langkah kebijakan oleh wali kota.
Meskipun, Hamzah mengakui, wakil kepala daerah memang tak berwenang mengambil kebijakan, menurut UU Pemerintahan Daerah. Namun, ia merasa, seyogianya ada ajakan untuk melibatkan wakil kepala daerah sebelum kepala daerah mengambil keputusan.
Selain itu, partai-partai politik yang turut berkeringat memenangkan Idris semestinya juga diajak bicara. Namun, menurut dia, Idris memegang kendali penuh pemerintahan Kota Depok.
“Seharusnya pemimpin kita yang dilahirkan dari koalisi ingat bahwa ia dilahirkan dari koalisi partai, relawan, ormas, dsb,” ujar Hamzah.
Hamzah pun mengaku selalu selalu mengingatkan orang-orang yang lupa terhadap asalnya dengan ungkapan “tidak dilahirkan dari pohon bambu”.
“Kalau dia lahir dari bambu mungkin dia lupa semuanya. Jadi itu yang terjadi. Itu yang dilupakan. Jadi dia lupa punya wakil,” lanjut Hamzah.
Secara undang-undang, ulang Hamzah, memang wali kota yang berwenang membuat keputusan dan kebijakan.
“Tetapi karena kita didukung oleh koalisi maka kita harus berbagi tugas dan kebijakan yang akan dibuat harus sama-sama dirumuskannya,” tambah Sekretaris DPC Gerindra Kota Depok tersebut.
Beritalima.com berupaya meminta klarifikasi baik dari Idris maupun PKS terkait klaim ini. Namun, hingga naskah ini disusun, baik Idris maupun Ketua DPD PKS Kota Depok sekaligus Ketua Tim Pemenangan Idris-Imam, Mohammad Hafitd Nasir, tak menanggapi permintaan wawancara Beritalima.com
Alhasil, situasi ini menjadi dalih Gerindra untuk pecah kongsi dengan Idris dan gerbong PKS-nya. Jelang akhir 2019, Gerindra bahkan sudah mengawali penjaringan internal, mencari kandidat guna bertempur di Pilkada Depok 2020.
Memasuki 2020, penjajakan koalisi dengan partai-partai di Depok dimulai. Saat itu, sikap Gerindra sudah final sejak awal, tak akan lagi bersekutu dengan PKS.
“Kalau Gerindra, kami sudah tidak mau kalau dengan PKS. Makanya kami sudah tidak berkomunikasi dengan PKS. Kan sudah pernah (koalisi dengan PKS) dan sudah pernah dikhianati. Buat apa kita, masa mau dibohongi dua kali?” ujar Hamzah, Kamis (2/7/2020).
Frd Andi, Beritalima.com