JAKARTA, beritalima.com – Komisi Ukhuwah Islamiyah DP MUI, gelar Refleksi Penguatan Ukhuwah Islamiyah di Indonesia dalam kegiatan Silaturrahim Nasional Ukhuwah Islamiyah Indonesia 2019, Rabu (18/112/2019) di kantor MUI, di Aula Buya Hamka, Gedung DP MUI, Jalan Proklamasi, Jakarta. Pada kesempatan itu hadir, Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, pengurus Ormas Islam tingkat pusat, dan Ormas Pemuda Islam.
“Refleksi Perjalanan Penguatan Ukhuwah Islamiyah di Indonesia” di rasa tepat sebagai tajuk pembahasan dalam Forum Ukhuwah Islamiyah edisi Akhir Tahun 2019 ini,” kata Ketua Panitia acara, Drs. Saeful Bahri, dihadapan keynote speech, KH. Nurhasan Zaidi, S.Sos.I, Sekretaris Komisi Ukhuwah MUI Pusat, sebagai moderator. Dan menjelaskan pentingnya menjaga ukhuwah, yang disampaikan oleh tiga narasumber, diantaranya adalah Prof. Maman Abdurrahman dari unsur pimpinan MUI Pusat, Drs. Buya Adnan Harahap Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Pusat, dan Wakil Menteri Agama RI, Drs. Zainut Tauhid Sa’adi.
Lanjut Dr. Zaitun Rasmin, semakin bertemu dan berkomunikasi akan melahirkan saling kesepahaman. Namun jika ormas-ormas Islam jarang bertemu atau tidak mau bertemu kata Zaitun, maka akan ada potensi lahirnya prasangka dan tuduhan sesama kaum muslimin. Maka dari itu kata dia, MUI hadir menjadi wadah komunikasi bagi sesama ormas Islam.
Dalam paparannya, Zainut tauhid Sa’adi menyampaikan bahwa MUI memberi giant ketika terjadi perbedaan pendapat harus diterima secara toleran. Karena perbedaan tersebut menurut keterangan Zainut yang sekarang menjadi Wakil Menteri Agama, menyatakan tidak perlu dipertentangkan sampai ada perdebatan apalagi sampai terjadi pertumpahan darah. Oleh karena itu kata Wamenag, penting bagi umat Islam dalam menjaga persaudaraan.
“Perbedaan memang mungkin terjadi pada umat Islam, kecuali perbedaan itu masuk pada usul, itu baru diberikan rambu – rambu. Apalagi soal radikalisme seolah – olah dialamatkan kepada umat Islam, itu ada batasannya kecuali ada faham yang merasa paling benar sedangkan umat Islam yang lain masuk neraka. Dalam batasan ini baru disebut radikal,” tandas Wamen dihadapan pertemuan antar organisasi Islam.
Lebih lanjut soal celana cingkrang dan cadar, itu kata Wamen hanya menertibkan sebagai seorang ASN harus mengikuti aturan – aturan tapi tidak merusak keyakinan. Sementara soal majelis ta’lim yang diminta untuk diregistrasi agar supaya ada kemudahan bagi pemerintah yang dalam hal ini memberikan bantuan dan kerjasama.
“Nanti kalau tidak diregistrasi kalau ada bantuan atau kerjasama alamatnya ditujukan kepada siapa. Tapi bagi majellis ta’lim tidak mau diregistrasi ya tidak ada masalah,” ujarnya.
Lain hal ditambahkan Wamen, yang juga sebagai Wakil Ketua Umum MUI, menerangkan soal khilafah yang ada dalam mata pelajaran, bukannya dihapus akan tetapi memindahkan dari fiqih ke pelajaran sejarah, agar para siswa tingkat SMA dan sederajat memahami soal khilafah tersebut. “Jauh berbeda dengan anak mahasiswa yang sudah memiliki daya nalar yang kritis terhadap persoalan yang diterima di masyarakat,” tambahnya. ddm