Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Saat bertugas di salah satu kabupaten di NTT, suatu saat saya pernah mendapat tilpon ketua salah satu ormas Ialam bergengsi setempat. Sebagai seorang yunior di kantor mendapat panggilan tilpon dari orang penting setempat tentu sangat terhormat, dan, maaf, sedikit “Ge-Er”. Merasa ditilpon dari orang yang cukup saya hormati, tentu saya pun bergegas. Gagang tilpon Telkom, yang oleh resepsionis digeletekkan di samping mesin pesawat itu pun segera saya angkat. Dan, benar suara itu itu benar-benar dari orang yang sangat saya kenal. Saya bisa memastikan karena saya sering mengikuti acara-acara rapat atau kegiatan sosial lainnya yang melibatkan beliau.
Sebagaimana biasa semula penilpon memulai dengan kalimat basa-basi, seperti menanyakan kabar dan lain sebagainya sebagaimana layaknya orang menilpon. Tetapi perasaan tiba-tiba berubah saat pembicaraan beralih, yaitu saat beliau menyampaikan pesan dari seorang istri pejabat. Apalagi pesan itu berkenaan dengan pengajian yang telah saya sampaikan beberapa hari sebelumnya.
Saya pun mulai mengingat peristiwa pengajian yang dihadiri oleh sang ibu istri pejabat tadi, termasuk penilpon sendiri. Beberapa hari sebelumnya saya memang diminta mengisi pengajian ibu-ibu “Al Hidayah” di salah satu masjid. Pengajian Al Hidayah merupakan kelompok pengajian ibu-ibu yang bernaung di bawah ormas terbesar dan sangat ‘ditakuti’ waktu itu. Tema ceramah yang saya sampaikan ialah mengenai anak soleh. Di sela ceramah yang sampaikan dengan suasana santai itu sering saya bumbuhi dengan humor-humor sekenanya.
Salah satu humor yang paling saya ingat ialah ketika saya menyinggung kewajiban orang tua kepada anaknya saat lahir. Salah satu kewajiban itu ialah memberi nama yang baik. Meskipun ada yang megatakan “apa arti sebuah nama”, ternyata nama tidak hanya merupakan harapan do’a tetapi juga akan memberikan kewibawaan anak saat dewasa. Nama yang baik tidak harus berbahasa Arab. Sebab jika tidak mengerti bisa-bisa justru tidak baik. Nama bernuansa daerah, asal baik juga boleh. Saya pun mencontohkan nama Arab yang tidak baik, seperti kafir, Ahmaq atau Hamqa, Munafikin, dan lain yang disambut “gerr” hadirin. Saya juga menyebut kebiasaan orang jawa yang biasanya memberi nama anaknya sekenanya sekedar untuk mengingat peristiwa penting, seperti Sekali (karena Lahir Senin Kliwon), Cikrak, dll. Nama-nama yang kurang pas itu pun saya hubungkan dengan sebuah pengandaian. Kalau anak-anak tersebut tersebut ternyata cerdas dan behasil menjadi pejabat, dikhawatirkan akan membuat pejabat sang pemilik nama itu akan merasa kurang percaya diri atau menjadi cemoohan orang yang mendengar saat dipanggil naik podium.
Menurut penilpon yang waktu itu juga hadir, ternyata humor saya mengenai nama itulah yang memantik protes ibu pejabat tadi. Rupanya beliau merasa (baper), bahwa humor itu secara tendensius dibuat untuk suamiya yang kebetulan memiliki nama yang tidak ideal. Padahal, humor itu sama sekali tidak mengarah ke situ. Atau, bahasa santrinya “humor lillahi ta’ala”. Meskipun, waktu itu masih dalam suasana rezim represif dan suaminya punya kekuasaan untuk ‘menghabisi’, saya tidak menuruti ajakan penilpon untuk meminta maaf kepada beliau.
Ada empat alasan mengapa saya waktu itu, tidak datang minta maaf. Pertama, dalam ceramah saya tidak ada satu kalimat pun menyebut nama suami ibu pejabat dimaksud. Kedua, saya memang dilarang oleh para senior untuk meminta maaf, sebab saya dinilai tidak bersalah dan oknum istri pejabat tadi memang terkenal “rese”. Ketiga, permintaaan maaf, jika lakukan dikhawatirkan menjadi preseden buruk bagi teman-teman. Ke depan teman-teman akan ogah mengisi pengajian prodeo itu, jika ada yang dianggap menyinggung seseorang, harus direpotkan meminta maaf. Keempat, yang membawa acara pengajian waktu itu adalah sang penilpon sendiri dan waktu itu beliau tahu persis suasana pengajian, yang saat itu terasa aman-aman saja.
Prosedur (Administrasi) Mengubah Nama
Bagi yang memiliki nama bagus dan sesuai dengan selera tentu merupakan kebanggan. Akan tetapi semua tentu tidak bisa selalu bisa demikian sebab nama yang kita sandang merupakan pilihan orang tua dan kita tidak bisa protes karena nama itu diberikan saat kita masih bayi. Ketidakbisaan kita memilih nama memang sebanding dengan ketidakbisaan kita memilih orang tua.
Nama yang diberikan orang tua tentu merupakan pilihan terbaik saat itu. Akan tetapi nama yang kita terima adakalnya tidak sesuai dengan selera kita. Dari demikian dan ilusttasi di atas, mungkin ada yang bertanya bolehkah sebuah nama yang terlanjur diberikan oleh orang tua diubah? Adakah aturan negara yang mengaturnya?
Saat ini di Indonesia telah diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 108 tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil. Dalam Perendagri ini antara lain diatur mengenai pencatatan peristiwa penting (pasal 1 ayat 2). Kemudian yang dimaksud Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan (Pasal 1 angka 25).
Sesuai Pasal 53 Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil, oleh karena pencatatan perubahan nama penduduk harus memenuhi persyaratan, yang salah satunya, harus ada penetapan dari pengadilan negeri, maka yang harus dilakukan seorang yang ingin mengubah namanya harus terlebih dahulu “mengajukan permohonan ke pengadilan negeri”. Selanjutnya, agar legalitas dokumen lain diubah, maka penetapan dari pengadilan negeri tersebut dibawa ke Dukcapil bersama persyaratan dukumen yang lain, yaitu kutipan akta Pencatatan Sipil; c. KK; d. KTP-e1; dan e. Dokumen Perjalanan bagi Orang Asing (Pasal 53 huruf b,c,d, dan e). Selanjutnya di kantor di kantor Dukcapil harus bagaimana, dapat mempedomani ketentuan Pasal 80 Permendagri Nomor 102 Tahun 2019, yaitu:
a) Pemohon mengisi dan menandatangani formulir pelaporan serta menyerahkan persyaratan sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden mengenai persyaratan dan tata cara Pendaftaran Penduduk
b) dan Pencatatan Sipil yang mengatur mengenai pencatatan perubahan nama;
c) petugas pelayanan melakukan verifikasi dan validasi terhadap formulir pelaporan dan persyaratan sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden mengenai persyaratan dan tata cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil yang mengatur mengenai pencatatan perubahan nama;
d) petugas pada Disdukcapil Kabupaten/Kota atau UPT Disdukcapil Kabupaten/Kota melakukan perekaman.
Dengan demikian, tanpa dukungan legalitas yang jelas, kita sebaiknya tidak menuliskan nama secara sembarangan, khsusnya pada dokumen-dokumen resmi, seperti, akta-akta, ijazah, dan paspor, sebab di kemudian hari bisa jadi akan menyulitkan diri kita sendiri. Dan, tidak jarang penulisan nama yang tidak konsisten sering membuka peluang terjadinya KKN ketika harus berhadapan dengan petugas tertentu. Kecuali, jika nama yang kita tulis hanya sekedar keren-kerenan di dunia medsos atau forum tidak resmi lainnya.