Petaka Atas “LAMIS” Anies Baswedan

  • Whatsapp

Oleh: Dikson Ringo *)

Banjir di Jakarta belakangan ini selalu menjadi viral. Warga Jakarta dengan perasaan was-was sambil menahan rasa kesal tiap kali hujan turun dan terancam banjir. Nama Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta selalu mendapat makian publik. Hal itu terpantau melalui media sosial.

Pendukung Anies Baswedan tak tinggal diam, melakukan pembelaan terhadap tokoh idolanya tersebut. Ada yang membela dengan rasional, menyajikan data perbandingan dengan kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta terdahulu, khususnya jaman Ahok. Ada pula pendukung yang membela dengan cara yang halu alias tak rasional.

Tiap hujan deras turun, publik marah dan mempertanyakan kinerja Anies Baswedan sebagai gubernur. Belakangan Sekretaris Daerah DKI Jakarta mulai pasang badan menjawab kekesalan publik. Wajah lelah, letih dan kusam Sekda Jakarta tampak jelas sebagai cermin pantul pak gubernur menghadapi gempuran banyak pihak.

Publik Jakarta menyampaikan rasa kesalnya dengan beragam bentuk, ada yang memaki melalui media sosial. Tapi juga melakukan protes dengan cara kreatif. Misalnya dengan bermain sky air, memasukan anak kecil dalam wajan besar sebagai pengganti perahu karet, kelompok anak kecil berenang, dan sekelompok pemuda bermain tiktok, serentak mengucapkan “Terima kasih Pak Anies”.

Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta sedang menuai petaka karena retorikanya dalam mengurusi banjir. Bibir manisnya, dalam Bahasa Jawa biasa disebut lamis atau lambe manis menjadi ciri khas sang gubernur. Lamis menurut etimologi rakyat menjadi sarkasme/ sindirian bagi seseorang yang pintar bermain kata-kata tapi tak bersesuaian dengan fakta lapangan.

Pemda DKI Jakarta harus kerja lebih keras dan bersama pemda provinsi sekitar agar wilayah banjir tidak semakin meluas, waktu surut air semakin cepat dan korban tertangani dengan cepat. Banjir tidak sampai mengganggu bahkan melumpuhkan aktivitas warga atau mengganggu perekonomian, pemerintahan nasional. Sebab perubahan iklim dan hujan ekstrem itu nyata, tidak cukup menunggu hingga air masuk ke tanah.

Kecurigaan lain melihat sikap tenang sang gubernur, akankah ini sebuah skenario ala “Bad news is a good news” dalam mempertahankan popularitas menuju 2024? Atau ada “koordinasi” menjadikan banjir Jakarta sebagai alasan kuat memuluskan pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur? Namanya juga politik, tidak boleh bawa perasaan alias baper tapi publik harus mempertanyakan kinerja gubernur dan pemerintah karena rakyat menjadi korban.

*) Penulis adalah pemerhati kekuasan dan jabatan

beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait