“Kami medukung adanya PG baru, asal bukan PG baru yang jadi kedok buat asing gelontorkan raw sugar impor ke dalam negeri, seperti yang dilakukan PG Kebun Tebu Mas (KTM),” sebut Sunardi Edy Sukamto, penanggung jawab Aksi Petani Tebu dan Pekerja Perkebunan Gula, Senin, (15/8/2016).
“PG di Lamongan tersebut pada musim giling pertama ini saja telah memasukkan 100 ribu ton gula mentah impor atau raw sugar,” tambahnya.
Geram dengan ulah PG tersebut, ribuan petani dan pekerja perkebunan gula dari berbagai kota di Jatim menggelar aksi turun jalan di Surabaya, dilanjut longmarch dan orasi di DPRD Provinsi Jawa Timur hingga Kantor Gubernur Jawa Timur, Senin (15/8/2016). Mereka mengibarkan bendera merah putih pada batang tebu guna menyuarakan perjuangan melawan impor.
APTRI mengindikasikan banyak PG baru lain di berbagai daerah yang juga hanya sebagai kedok untuk mengimpor gula mentah. Mereka menyebutkan di antaranya PG KTM di Lamongan dan PG Gendis Multi Manis (GMM) di Blora, Jateng. PG baru tersebut terakhir ini telah mengantongi ijin impor raw sugar hingga 300 ribu ton di 2016.
“Dulu PG KTM menyatakan di depan gubernur Jatim dan petani bahwa mereka hanya akan menggiling tebu yang ditanam di bumi Jatim. Tapi faktanya, PG KTM berbohong. Gubernur dan petani dikadali PG KTM, sehingga kami menuntut operasional PG KTM dihentikan, ditutup,” desak Sunardi Edy Sukamto, yang juga pengurus DPP APTRI.
Mengutip data APTRI, produksi gula di Jatim sendiri surplus. Gula dari tebu petani tebu Jatim mampu menghasilkan gula rata-rata 1.250.000 ton per tahun. “Dan ini jauh melebihi total konsumsi warga Jatim setiap tahun sekitar 650.000. Sehingga surplusnya mencapai 600.000 ton per tahun, tapi kenapa masih digelontor gula impor 100 ribu ton di KTM,” papar Sunardi Edi Sukamto geram.
Atas dasar itulah, para petani tebu bersama pekerja perkebunan meradang dan mendesak gubernur Jawa Timur bersikap tegas pada PG baru yang diindikasikan sekadar kedok masuknya gula impor ke Jatim. Petani tebu berharap Gubernur Jatim menjadi pelopor penolakan gula impor ke Jatim bahkan tanah air, sesuai janjinya kepada petani tebu Jatim kala itu.
“Sekali lagi kami berharap Pak Gubernur, juga Kapolda Polda Jatim dan Bea Cukai agar jadi pelopor penolakan masuknya raw sugar untuk PG KTM ke Jatim, dan bila perlu direkspor demi membangun ekonomi petani itu,” tandas Edi.
Arum Sabil, ketua umum Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), menandaskan, sungguh petani tebu saat ini dalam bahaya dengan kepungan berbagai kedok impor gula.
Awalnya masyarakat dibuat terkecoh dengan persepsi harga gula mahal. ”Lalu masyarakat pun dibenturkan dengan petani tebu melalui pembentukan persepsi harga gula mahal, yang sengaja diciptakan sebagai alat legitimasi dan argumentasi memaksa impor gula,” imbuh Arum Sabil yang juga Ketua Umum Majelis Pertimbangan Anggota Dewan Pimpinan Pusat (MPA DPP) Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapperindo) Pusat.
Arum merincikan, saat harga gula berada pada titik Rp 15-16 ribu per kilogram, ada persepsi yang diciptakan oleh pihak-pihak tertentu bahwa kondisi tersebut sudah merugikan masyarakat dan konsumen luas. Padahal, jika dihitung, harga gula tersebut masih sangat wajar.
Rumus harga gula adalah 1 kilogram gula sama dengan harga 1,5 kilogram harga beras. Kebutuhan gula untuk konsumsi langsung 9 kg per kapita per tahun atau 0,75 kg per kapita per bulan.
Menurut Arum, dengan harga gula Rp 15 ribu per kilogram, berarti setiap orang jika rutin mengkonsumsi gula setiap hari hanya mengeluarkan uang Rp 375. Bila dibandingkan ongkos ke toilet atau harga satu batang rokok jauh lebih murah.
“Sekali lagi, kami melihat ini upaya pengalihan opini dari persoalan sesungguhnya di dunia gula, yakni pendirian pabrik gula baru yang hanya sebagai kedok untuk melakukan impor gula mentah. Seharusnya pabrik gula baru yang terbukti hanya sebagai kedok melakukan impor gula mentah segera ditutup dan penegakan hukum dilakukan,” tambah Arum.
Kata Arum Sabil, manipulasi data, juga diindikasikan menjadi bagian dari kedok meloloskan gula impor. “Pemerintah merilis kebutuhan gula nasional 5,7 juta ton. Ada indikasi kesengajaan penggelembungan data kebutuhan gula nasional agar ada alasan untuk melakukan impor gula,” kata Arum Sabil.
Arum Sabil menjelaskan, kebutuhan gula itu bisa dibagi tiga, antara lain gula untuk konsumsi rumah tangga, gula untuk industri makanan dan minuman skala besar, dan terakhir untuk industri UKM.
“Data APTRI, kebutuhan gula konsumsi industri makanan dan minuman besar itu sebanyak 5 kg per kapita, sementara yang UKM 4 kg per kapita, dan konsumsi rumah tangga 9 kg per kapita. Jadi, total kebutuhan gula Indonesia dari uraian tersebut, 18 kg per kapita per tahun dan bila dikalikan 255 juta jiwa adalah 4.590.000 ton,” pungkas Arum Sabil.
“Dengan jumlah tersebut, ada selisih cukup besar hingga 1,1 juta ton, karena data kebutuhan gula pasir nasional versi pemerintah sebesar 5,7 juta ton sedangkan total kebutuhan versi APTRI sebesar 4,59 juta ton,” tutup Arum Sabil yang juga ketua bidang pemberdayaan petani Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia atau DPP HKTI. (Ganefo)