JAKARTA, Beritalima.com– Virus Corona (Covid-19) yang melanda Indonesia terus menelan korban. Sesuai pengumuman resmi Gugus Tugas Penanggulangan yang dibentuk Pemerintah, tak hanya sudah ratusan jiwa yang melayang, ribuan dalam perawatan dan ‘pengasingan’ tapi korbannya sudah merambah ke sektor ekonomi dimana sejumlah perusahaan terutama manufaktur terpaksa merumahkan dan PHK karyawan.
Sedikitnya 139.288 pekerja di Jakarta terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan dirumahkan tanpa menerima upah (unpaid leave-red) diakibatkan dampak dari pandemi Covid-19. Pekerja itu berasal dari 15.472 perusahaan. Rinciannya, 25.956 pekerja dari 2.881 perusahaan terkena PHK, 113.332 pekerja dari 12.591 perusahaan dirumahkan sementara.
Gelombang PHK, kata Ketua Komite III DPD RI, Bambang Sutrisno dalam keterangan tertulis dari Biro Humas dan Pemberitaan DPD RI, Jumat (10/4), dapat dipastikan tidak hanya melanda Jakarta tetapi juga kota dan daerah sekitar yang menjadi sentra dan kawasan industri seperti seperti Depok, Bekasi, Bogor dan Tangerang.
Di Depok misalnya, salah satu ritel terbesar di belahan Selatan Jakarta itu terpaksa harus menutup gerai dan merumahkan karyawannnya. Informasi ini sempat viral di media sosial. Ritel lainnya bahkan telah lebih dahulu menutup seluruh gerainya secara nasional dengan merumahkan karyawan sejak, 30 Maret 2020.
Berdasarkan data yang didapat Komite III DPD RI, kata Bambang, beberapa provinsi yang telah melaporkan terjadinya gelombang PHK antara lain; Bali dimana 400 pekerja kena PHK, 17.000 karyawan dirumahkan. Pekerja itu umumnya dari sektor pariwisata seperti hotel dan restauran. Kalimantan Tengah sedikitnya 18 perusahaan merumahkan 848 pekerja.
Di Jawa Barat, sekitar 1.476 perusahaan terdampak Covid-19, jumlah buruh yang terdampak 53.465. Rinciannya, 34.365 buruh diliburkan, 14.053 buruh dirumahkan dan 5.047 di-PHK.
d. Di Jawa Timur, sebanyak 1.923 pekerja di- PHK. Di Jawa Timur sedkitnya 16.086 pekerja dirumahkan.
Menyikapi gelombang ‘merumahkan’ dan PHK sepihak tanpa pemberian hak-hak pekerja yang mulai terjadi di beberapa sektor usaha dampak dari pandemi Covid-19 ini, Komite III DPD RI yang membidangi salah meminta agar perusahaan melakukan tindakan itu harus sesuai prosedur yang diatur UU No: 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Pasal 150 sampai 172 UU Ketenagakerjaan adalah syarat dan prosedur yang secara limitatif telah ditetapkan bagi perusahaan untuk melakukan PHK. Pengusaha wajib mengikuti syarat dan prosedur tersebut,” ungkap Bambang.
Dikatakan,
UU Ketenagakerjaan tidak mengenal istilah PHK sepihak atau PHK tanpa pesangon. Setiap PHK yang dilakukan pada prinsipnya harus dirundingkan dengan pekerja. Perundingan menyangkut pemenuhan serta pembayaran hak-hak pekerja seperti pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
UU Ketenagakerjaan juga menetapkan secara limitatif uang pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian yang menjadi hak pekerja.
Bila tidak ditemui kesepakatan antara kedua pihak, PHK ditetapkan lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan.
Meski PHK dilakukan dengan alasan perusahaan tutup karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus atau keadaan memaksa (force majeur) seperti bencana alam, wabah, kerusuhan dan kebakaran, pekerja tetap mendapatkan pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak sebagaimana ketentuan UU Ketenegakerjaan.
Dalam situasi dan kondisi apapun seperti pekerja di rumahkan, sepanjang belum tercapai kesepakatan soal PHK atau belum terdapat penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan, pengusaha wajib membayarkan upah penuh kepada pekerja.
Berdasarkan hal di atas, Komite III merekomendasikan agar Kementerian Tenaga Kerja harus tegas memaksimalkan pelaksanaan pengawasan yang dilakukan pengawas ketenagakerjaan. Melakukan pengawasan setiap badan usaha yang terduga terkena Covid-19 melalui kegiatan pembinaan atau pemeriksaan dalam upaya untuk memastikan setiap PHK dilakukan sesuai prosedur UU Ketenagakerjaan. (akhir)