Pilkada Serentak 2020, Jamiluddin Ritonga: Kampanye Tatap Muka Dominan

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Kampanye terbuka yang dilakukan sebagian besar pasangan calon (paslon) peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 9 Desember mendatang berpeluang besar menjadi klaster baru dalam penyebaran wabah pandemi virus Corona (Covid-19).

Soalnya, ungkap pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga dalam keterangannya kepada Beritalima.com, Kamis (5/11) siang, kampanye seperti itu terjadinya pengumpulan massa.

“Dalam kondisi kampanye terbuka, sangat sulit protokol kesehatan dapat diterapkan dengan baik seperti jaga jarak dan penggunaan masker. Hal ini diperparah tingkat disiplin sebagian besar masyarakat Indonesia masih rendah. Akibatnya, kampanye terbuka berpeluang besar menjadi klaster baru penyebaran virus Covid-19,” kata pria yang akrab disapa Jamil ini.

Seperti diketahui, kampanye Pilkada Serentak 2020 sudah berlangsung lebih satu bulan. Dalam cacatat Bawaslu, 39.303 kegiatan kampanye digelar tatap muka, hanya 247 kampanye via daring. Hal serupa juga dikemukakan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hanya 4 persen kegiatan kampanye yang menggunakan media daring dan media sosial (medsos). Sembilanpuluh enam persen paslon masih menggunakan kampanye pertemuan langsung atau secara tatap muka.

Rendahnya kampanye melalui media daring dan medsos, ungkap Jamil, memang mengejutkan. Sebab, di era wabah pandemi Covid-19, paslon diharapkan lebih banyak menggunakan media darling dan medsos dalam kampanye sehingga harapan agar penularan Covid-19 dapat diminimalkan atau setidaknya tidak menjadi cluster baru.

Harapan menggunakan media daring dan medsos dalam kampanye Pilkada kali ini memang beralasan. Sebab, jumlah pengguna internet pada akhir Januari 2020 mencapai 175,4 juta dari total penduduk Indonesia 272,1 juta jiwa. Ini artinya, kata penulis buku ‘Perang Bush Memburu Osama bin Laden’ tersebut, hampir 64 persen penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan jaringan internet.

Tingginya pengguna internet di tanah air, diasumsikan akan efektif berkampanye melalui media darling dan medsos. Karena itu, para paslon awalnya diperkirakan akan lebih banyak menggunakan kampanye melalui media darling dan medsos daripada tatap muka. Namun, perkiraan dan harapan tersebut meleset jauh. Banyak pihak menilai, hal itu terjadi karena ketidaksiapan tim kampanye atau calon dengan perangkat kampanye.

Penilaian tersebut tampaknya berlebihan mengingat masing-masing paslon pada dasarnya mampu merekrut tim kampanye yang menguasai seluk beluk media darling dan medsos. “Saya nilai, kurang beralasan bila rendahnya kampanye via media daring dan medsos hanya karena tim kamapnye dan paslon gagap teknologi. Ada kemungkinan tim kampanye dan paslon memang meragukan efektivitas kampanye melalui media daring dan medsos,” kata Jamil.

Alasannya, lanjut dia, karena menurut Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), memang masih ada kendala akses internet di 541 kecamatan di daerah yang menggelar pilkafa 2020. Ini artinya, di sejumlah kecamatan tersebut memang sulit dilaksanakan kampanye melalui media daring dan medsos secara optimal. Keterbatasan akses internet akan menghasilkan banyak gangguan bila dipaksakan kampanye via media daring dan medsos.

Alasan berikutnya adalah soal efektifitas kampanye melalui media daring dan medsos masih diragukan. Sebab, kebanyakan pengguna media ini untuk bersilaturahmi dengan teman dan bertujuan mencari hiburan, bukan untuk mencari informasi politik. “Bahkan pengguna media daring dan medsos dari kalangan milenial, pada umumnya apolitik. Mereka menggunakan media itu jauh dari kepentingan politik,” papar Jamil.

Sedangkan hasil penelitian mengenai efek media menunjukkan, paling efektif hanya pada level koginitif dan afektif. Sementara untuk efek perilaku umumnya diperoleh melalui komunikasi tatap muka. Atas dasar pertimbangan itu, kiranya menjadi logis bila tim kampanye dan paslon lebih tertarik kampanye melalui tatap muka.

Melalui kampanye model ini, mereka lebih yakin akan dapat mengajak pemilih untuk memilih paslonnya pada waktu pemilihan 9 Desember 2020. Konsekuensi dari keyakinan itu, tentu tim kampanye dan paslon akan memperbanyak kampanye melalui tatap muka. Walu mereka menyadari, kampanye model ini membuka ruang terjadinya kerumuman.

“Karena itu, peluang penularan covid-19 melalui kampanye tatap muka memang sangat terbuka. Untuk, meminimalkan hal itu terjadi, tim kampanye dan paslon seyogyanya taat asas melaksanakan protokol kesehatan dalam setiap kampanye tatap muka.”

Selain itu, Bawaslu sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam pengawasan terhadap pasalonun harus lebih intens dalam mengawasi pelaksanaan kampanye tatap muka. Kampanye yang tidak sesuai dengan protokol kesehatan seharusnya ditindak tegas, misalnya membubarkan kampanye demikian.

Untuk itu, Bawaslu dimana pun berada haruslah mendahulukan kesehatan daripada politik. Dengan begitu, semua Bawaslu akan bekerja dengan koridor yang sama dalam mengawasi kampanye tatap muka, sehingga pilkada 2020 tidak menjadi cluster baru penyebaran Covid-19. Apalagi, tidak menutup kemungkinan, kampanye tatap muka juga dijadikan ajang untuk praktik politik uang.

Bawaslu harus mengerahkan semua Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki agar dapat mencegah beragam operandi politik uang. “Semua itu dimaksudkan agar Pilkada yang menggunakan anggaran besar dan dilaksanakan di tengah ancaman Covid-19 dapat menghasilkan pemimpin daerah yang mumpuni dan amanah. Selamat memilih kepala daerah dengan rasional,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait