Pj Bupati Hadiri Launching Batik Khas Tulungagung “Lurik Bhumi Ngrowo”

  • Whatsapp

TULUNGAGUNG, beritalima.com- Pj Bupati Tulungagung, Heru Suseno, resmi launching pakaian batik tradisional khas Tulungagung motif Batik Tulungagung “Lurik Bumi Ngrowo”. Sabtu, (21/09/2024).

Launching Batik Lurik Bumi Ngrowo dilaksanakan bersamaan dengan digelarnya Ekrafaganza Exotica Tulungagung Carnival, bertempat di halaman Pemkab Tulungagung

“Sebelumnya, kita sudah mengenalkan pakaian Batik khas Tulungagung Lurik Bumi Ngrowo ini pada event East Java Fashion Harmoni 2024 yang digelar di pantai Midodaren pada tanggal 22 Juni 2024 kemarin. Dan secara resmi hari ini kita launching,” ucap Pj Bupati dalam sambutannya.

Lanjutnya, usai dilaunching maka pakaian batik khas Tulungagung tersebut akan dipakai oleh seluruh ASN, instansi vertikal dan beberapa instansi swasta yang telah mempersiapkan sebelumnya.

“Hari ini, Batik Lurik Bumi Ngrowo resmi dilaunching dan sudah ada Perbupnya yaitu Perbup no 17 tahun 2024 yang nantinya akan diterapkan mulai bulan depan yakni Oktober. Dimana dipakai di setiap hari Kamis pada Minggu pertama setiap bulannya ,” katanya.

Heru menerangkan, untuk pengadaan atau pembelian batik khas melalui Dekranasda Tulungagung. Hal itu dilakukan untuk menjaga kualitas.

“Nanti dari Dekranasda yang akan menjual dan kemudian bahannya dari para pengrajin yang telah memenuhi standart kualitas kainnya. Hal ini bertujuan untuk menggerakkan UMKM di Tulungagung,” terangnya.

Pihaknya, juga memaparkan terkait Motif Batik Lurik Bhumi Ngrowo mengambil inspirasi dari wilayah Tulungagung yang dahulu kala berupa rawa rawa, maka lahirlah Motif Batik “Lurik Bhumi Ngrowo”. Dalam motif luriknya berupa banyu mili (air mengalir) berjumlah jajar 9 lekukan, yang melambangkan aliran air yang terus mengalir menghadirkan kebaruan dan kejernihan.

Sembilan merupakan angka terakhir yang menyimbolkan penyelesaian dan memiliki nilai tertinggi, juga mewakili puncak pengalaman dan kebijaksanaan.
Jajar 9 alur garis motif juga menyimbolkan banyaknya Desa (Thani) yang mendapat penghargaan sima (pardikan/keistimewaan) oleh Raja Kertajaya yang tertulis dalam Prasasti Lawadan. Raja Daha terakhir tersebut membuat Prasasti Lawadan pada tanggal 18 November 1205 Masehi. Dimana tanggal itu sejak tahun 2002 ditetapkan sebagai ‘Penanda Hari Jadi Kabupaten Tulungagung.

“Kemudian secara garis besar batik ini menceritakan sejarah tentang Tulungagung dengan cara mengingat kembali bahwa kita memiliki Prasasti Lawadan dan histori Daerah Ngrowo,” papar Heru Suseno.

“Pakaian khas ini merupakan pakaian yang mengekspresikan identitas masyarakat Tulungagung. Pakaian ini memakai bentuk khas tradisional jawa, Bagi laki-laki menggunakan atasan dengan motif Batik “Lurik Bhumi Ngrowo”, memakai Udeng Tulungagung dan bawahan warna hitam. Bagi wanita memakai atasan bergaya kutu baru dan juga bawahan hitam,” tambahnya.

Diungkapkan, pakaian Batik Khas Tulungagung ini memadukan dua warna yaitu Hitam dan Coklat Keemasan. Dalam budaya Jawa warna hitam mempunyai arti keberanian, kebijaksanaan, dan kesetaraan. Maka dari itu, warna hitam sering kali muncul dan mendominasi dalam berbagai jenis pakaian kebesaran, seperti pakaian kerajaan, busana pengantin, hingga pakaian batik tradisional.

“Arti warna coklat secara umum adalah untuk memberikan kesan anggun, elegan dan klasik. Warna Coklat Keemasan melambangkan kestabilan, keamanan, keseimbangan, dan keakraban. Memberikan sensasi teduh kepada siapa saja yang melihatnya. Orang yang suka dengan warna coklat cenderung mempunyai sifat yang ramah,” ungkap Pj Bupati.

Dijelaskannya, kombinasi kedua warna ini menciptakan kontras visual yang mencolok, menawarkan keseimbangan antara keanggunan dan kesan membumi. Sangat mewakili ciri khas suku Jawa yang terkenal sopan, kalem, santun, ramah, sederhana dan pekerja keras.

“Ini sekaligus upaya Pemkab Tulungagung dalam nguri-uri budaya dan sejarah Kabupaten Tulungagung. Setiap peristiwa yang memiliki makna sejarah merupakan guru terbaik yang mengajarkan bagaimana menemukan identitas kita sebagai bangsa,” jelasnya.

“Semakin lengkap pemahaman kita tentang sejarah maka semakin dekat juga kita mengenal dan mengerti diri kita. Sebaliknya, yang buta sejarah berarti telah kehilangan identitas diri.
“Wong Jowo Ojo Nganti ilang Gowone” artinya orang jawa jangan sampai kehilangan jati diri sebagai orang jawa,” pungkas Pj Bupati Heru Suseno. (Dst).

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait