Surabaya – Pengamat kemiskinan dari Fisip Universitas Airlangga, Ucu Martanto, menilai kondisi kemiskinan telah membuat warga rawan dieksploitasi untuk tujuan politik elektoral.
Pendapat itu menyoroti penyalahgunaan Program Keluarga Harapan (PKH) untuk dukungan suara di Pilkada Jawa Timur, yang dilaporkan warga Lamongan ke Panwaslu setempat, kemarin.
“Biasanya kondisi kemiskinan membuat warga rentan atas eksploitasi. Apalagi kalau disertai janji bahkan ancaman atas bantuan tertentu. Sehingga ketika dititipi pesan untuk memilih kandidat tertentu, kemungkinan besar akan menerima itu,” ujar Ucu, Rabu (26/4/2018).
Dalam kontestasi elektoral di Indonesia, kata dia, warga miskin sering kali menjadi obyek operasi pemenangan pilkada. Mereka diberi imbalan materi, jika bersedia memilih seseorang.
“Sebaliknya, jika tidak bersedia, ya pasti imbalan tidak diberi. Bagi orang miskin, tentu kecenderungan dari mereka adalah menerima imbalan materi disertai komitmen memilih,” kata Ucu.
Seperti diketahui, dalam kasus PKH di Lamongan, pendamping program juga menitipkan stiker Calon Gubernur Khofifah Indar Parawansa-Calon Wakil Gubernur Emil Elestianto Dardak. Disertai pesan, untuk memilih paslon nomor 1 itu.
Dikatakan Ucu, karena kemiskinan yang dialami, maka warga yang berada di status sosial itu dianggap sebagai sumber suara yang mudah dipengaruhi.
“Mereka kelompok marginal, karena itu rentan untuk dimanfaatkan. Ini yang membuat program anti-kemiskinan sering dianggap sebagai dalih saja, dengan memanfaatkan anggaran negara, namun ada kepentingan elektoral dibalik itu,” kata Ucu.
Ia sepakat kasus penyalahgunaan PKH di Lamongan harus segera diusut tuntas, agar diketahui apakah ada skenario besar yang melatari skandal itu, berikut aktornya.
“Sudahlah jangan bermain-main lagi dengan PKH. Kalau ini diteruskan, maka rakyat tidak percaya lagi dengan program-program pemerintah untuk pengentasan kemiskinan,” kata Ucu.
Ia juga mengusulkan agar dilakukan penyempurnaan atas pelaksanaan program itu, mulai penerima, integritas pendamping hingga pengawasan.
“Karena terdengar kabar, rekruitmen pendamping itu berdasar koneksitas tertentu. Ada pula keluhan, warga yang benar-benar miskin malah tidak terima, sementara yang hidupnya layak malah terima. Keluhan seperti itu sering terdengar,” kata Ucu.