JAKARTA, Beritalima.com– Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI mendesak Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempertimbangkan secara seksama rencana penyerahan sebagian pengelolaan jaringan transmisi listrik kepada badan usaha swasta.
Seperi terungkap pada Rapat Panitia Kerja (Panja) Listrik DPR RI, Pemerintahan Jokowi bermaksud menyerahkan pembangunan sisi transmisi listrik ini kepada swasta, karena dinilai PLN tak punya cukup dana untuk investasi di bidang itu.
Menurut Pemerintah, gap investasi yang membutuhkan modal swasta Rp 12-18 triliun. Rencana pengembangan transmisi listrik ini dilaksanakan untuk tujuh interkoneksi antar pulau besar pada 18 ruas transmisi dari 500 KV sampai 200 KV, termasuk dukungan terhadap transmisi prioritas.
Skema yang dikembangkan adalah BLT (bangun, sewa dan transfer) atau BMT (bangun, rawat, dan transfer). Dengan skema itu, kelak setelah proyek tersebut jadi, pengelola jaringan transmisi listrik ini adalah pihak swasta. PLN hanya sebagai penyewa transmisi listrik ke swasta.
Menurut Mulyanto, sisi transmisi listrik memiliki tingkat kestrategisan melebihi pembangkit. Sisi pembangkitan listrik terpisah satu dengan yang lain. Sisi transmisi, apalagi yang on grid adalah sistem tunggal yang terintegrasi.
“Pemerintah hari ke hari cenderung makin melakukan unbundling terhadap pengelolaan listrik Negara. Untuk pulau Jawa-Bali, hari ini, kontribusi pembangkit listrik swasta (IPP) sudah mencapai 50 persen dan menjadi dominan setelah proyek 35 ribu MW + 7 ribu MW rampung. Sebagian dari IPP itu adalah pihak asing,” tegas dia.
Mulyanto mempertanyakan niat Pemerintah menyerahkan pengelolaan sisi transmisi listrik nasional ini kepada pihak swasta karena dia nilai keputusan itu berpotensi melanggar UU No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan,
UU itu mengatur integrasi vertikal (bundling) pengusahaan ketenagalistrikan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam hal ini PLN (sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan).
“Listrik dikategorikan sebagai cabang usaha penting dan strategis yang dikuasai Negara, sesuai amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat 2, yang wajib dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” tegas Mulyanto.
Menyerahkan transmisi listrik kepada swasta, kata Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI bidang Industri&Pembangunan itu, secara langsung membuat pengusahaan listrik menjadi bersifat tidak terintegrasi dalam suatu badan usaha (unbundling).
Menurut Mulyanto keputusan MK terkait dengan soal ini pernah diambil tahun 2016, khususnya pasal 10 ayat (2) dan pasal 11 ayat (1) UU Ketenagalistrikan. MK memutuskan, pasal 10 ayat 2 UU Ketenagalistrikan bertentangan dengan UUD 1945.
Secara bersayarat tak punya kekuatan hukum mengikat, bila rumusan dalam Pasal 10 ayat 2 UU Ketenagalistrikan itu menjadi dibenarkannya praktik unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sedemikian rupa sehingga menghilangkan kontrol negara sesuai dengan prinsip dikuasai negara.
“Karena itu Pemerintah harus meninjau ulang secara seksama rencana menyerahkan aspek transmisi listrik nasional ini kepada pihak swasta,” imbuh Mulyanto.
Untuk diketahui dari total daya terpasang sebesar 70 GW sekarang ini, sekitar 50 persen pembangkit listrik untuk pulau Jawa dan Bali atau 30 persen pembangkit listrik nasional adalah milik swasta (IPP).
Stroom listrik dari berbagai pembangkit selanjutnya mengalir dalam on grid sistem terintegrasi tunggal transmisi Jawa-Bali. Berbeda dengan sisi pembangkitan, yang terpisah antara satu pembangkit dengan pembangkit lain, sistem transmisi on grid adalah sistem tunggal yang terintegrasi. Karenanya tak heran pada saat ‘kasus sengon’ terjadi black out secara meluas se-Jawa-Bali.
(akhir)