JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Komisi V DPR RI membidangi infrastruktur dan transportasi, Suryadi Jaya Purnama menilai, luar biasa perombakan yang dilakukan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) terhadap UU No: 28/2002 tentang Bangunan Gedung melalui RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker).
“Sekitar 80 persen muatan UU No: 28/2002 diubah. Hampir semua persyaratan teknis yang harus dimiliki sebuah gedung dihapus pengaturannya dari UU No: 28/2002. Pemerintah melalui RUU Cipta Kerja dan menggantinya dengan satu pasal saja yang menyatakan setiap bangunan gedung harus memenuhi standard teknis yang bakal diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP),” ungkap Suryadi kepada Beritalima.com, Selasa (4/8).
Penghapusan, jelas legislator dari Dapil II Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) itu dilakukan dengan alasan fleksibilitas, seolah-olah aturan yang ada dalam UU No: 28/2002 sudah tidak sesuai dengan perkembangan teknologi.
Anehnya, bila menilik bocoran daftar isi PP yang akan dibuat, tampaknya semua persyaratan teknis yang dihapus dari UU No: 28/2002 dimasukkan kembali dalam PP. Artinya, secara tidak langsung Pemerintah menganggap tidak ada yang salah dari aturan-aturan itu sehingga dapat diasumsikan yang dikehendaki Pemerintahan Jokowi sebenarnya pelemahan peraturan dan memonopoli pengaturan terkait bangunan gedung.
“Sekiranya aturan-aturan itu dianggap mempersulit investasi, hal ini pun tidak benar. Bank Dunia mengatakan, penyebab keterlambatan dan ketidakpastian saat memperoleh izin karena rumitnya proses dan implementasi yang sewenang-wenang dan korup,” kata dia.
Karena itu, senada dengan Bank Dunia, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR juga telah mendorong transparansi status proses dan transparansi status antrian pada saat pengurusan perizinan.
“Jadi, ada apa sebenarnya? Fleksibiltas apa yang diinginkan Pemerintah? Padahal selama ini detail persyaratan teknis yang dimaksud dalam UU No: 28/2002 telah diatur lebih lanjut dalam PP dan kemudian diatur lebih detail lagi dalam bentuk Peraturan Menteri yang mengacu pada standard teknis dan berlaku berupa SNI Wajib.”
Berdasarkan data dari Badan Standardisasi Nasional (BSN), selama ini terdapat sekitar 45 SNI wajib di bidang bangunan gedung. SNI itu dibuat antara 1998-2004. Jadi, dapat diasumsikan, sejak 2004 perkembangan teknologi di bidang bangunan gedung di Indonesia tidaklah signifikan, sebab jika terjadi banyak perubahan akibat kemajuan teknologi, SNI wajib seharusnya disesuaikan dengan kemajuan teknologi.
Dikatakan, sangat aneh bila UU No: 28/2002 dianggap tak fleksibel, padahal teknologinya tidak berubah dan kalaupun ada, perubahan itu sedikit sekali. Adapun jika terkait bangunan gedung dengan fungsi khusus (misalnya yang berteknologi tinggi sehingga tidak ada standardnya di Indonesia seperti instalasi nuklir), UU No: 28/2002 telah menyediakan ruang yang sangat banyak buat Pemerintah untuk mengaturnya secara lebih detail dalam PP.
Dengan adanya pelemahan peraturan ini, patut diwaspadai terjadi pelonggaran terhadap persyaratan administrasi dan teknis kepada pengusaha tertentu yang dapat berakibat diabaikan keselamatan.
Jika dikaji lebih mendalam, persyaratan teknis yang dihapuskan secara umum terkait tata bangunan dan keandalan bangunan gedung. Pengaturan ini dimaksudkan untuk melindungi lingkungan tempat hidup manusia dan melindungi keselamatan, kesehatan dan kenyamanan manusia sebagai pengguna bangunan gedung itu.
Sebagai contoh, UU No: 28/2002 disebutkan secara umum bahwa bangunan gedung harus memenuhi syarat tata bangunan yang salah satunya berupa syarat intensitas bangunan terdiri dari syarat kepadatan dan ketinggian bangunan, dimana detail pengaturannya diatur lebih lanjut dalam aturan PP.
Batasan ketinggian gedung sebagai perlindungan terhadap bangunan dari lintasan pesawat atau jalur aliran listrik tegangan tinggi. Sedangkan kepadatan bangunan untuk melindungi daya dukung lingkungan terhadap aktivitas manusia yang tinggal diatasnya seperti ketersediaan air dan sebagainya.
Contoh lainnya, UU No: 28/2002 juga mengatur tentang daya tahan bangunan terhadap beban, kemudian keamanan terhadap bahaya kebakaran dan petir, semuanya secara lebih detail diatur dalam PP yang nantinya mengacu ke standard teknis yang berlaku.
Mencermati semua hal itu, Fraksi Parta Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI menilai, pengaturan persyaratan teknis dalam UU No: 28/2002 masih memadai dan fleksibel dalam menghadapi perubahan teknologi. Fraksi PKS berpendapat, penghapusan materi muatan terkait persyaratan teknis bangunan gedung merupakan tindakan yang berbahaya, karena menghapus prinsip keselamatan pada bangunan gedung.
Dikatakan Suryadi, Fraksi PKS juga berpendapat, persyaratan teknis itu harus ada sebagai arahan untuk menentukan jenis-jenis standard teknis yang harus dijadikan acuan dalam pembangunan sebuah bangunan gedung karena bila tidak ditetapkan dalam UU, bisa jadi suatu saat bangunan gedung tidak lagi harus memenuhi syarat daya tahan terhadap beban, atau bisa jadi tidak lagi harus memenuhi standard keamanan terhadap bahaya kebakaran dan bahaya petir.
Semua ini ujungnya dapat merugikan konsumen sebagai pengguna bangunan gedung. Karena itu, dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang diserahkan ke Baleg DPR, Fraksi PKS menolak penghapusan seluruh persyaratan teknis dari UU No: 28/2002.
“Namun, PKS juga mengajukan perbaikan dengan mencantumkan ketentuan bahwa seluruh persyaratan teknis dalam UU No: 28/2002 yang diatur lebih lanjut dalam PP harus mengacu kepada standard teknis yang berlaku. Hal ini untuk mengakomodasi usulan Pemerintah terkait standard teknis bangunan gedung,” demikian H Suryadi Jaya Purnama. (akhir)