JAKARTA, Beritalima.com– Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak peka terhadap kepentingan negara seperti bagaimana diamanat UU No: 4/2009 jo UU No. 3/2020 tentang Minerba, terkait dengan kelalaian PT Freeport Indonesia membangun smelter serta penghentian ekspor konsentrat tambang.
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Dr H Mulyanto menyamoaikan protes kepada Pemerintahan Jokowi yang dia anggap terlalu lemah menyikapi kelalaian PT Freeport Indonesia. Dalam UU Minerba disebut, dalam jangka 5 tahun sejak diundangkan (jatuh tempo 2014), smelter (pengolahan dan pemurnian tambang logam) harus sudah beroperasi dan perusahaan dilarang mengekspor konsentrat tambang.
Hal ini, kata Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI bidang Industri&Pembangunan tesebut kepada Beritalima.com, Sabtu (25/7) malam, ditetapkan sebagai upaya memberi nilai tambah kegiatan pertambangan berupa produk turunan, antara lain emas, perak, kabel dan asam sulfat, sekaligus membuka lapangan kerja baru di dalam negeri.
Namun, lanjut wakil rakyat dari Dapil iII Provinsi Banten tersebut, faktanya PT Freeport Indonesia mengabaikan ketentuan itu. Usai 2014 PT Freeport indonesia masih belum selesai membangun smelter dan Pemerintah tetap mengizinkan mengekspor konsentrat tambang.
Dua tahun lalu (2018-red) untuk dapat perpanjangan dan perubahan skema dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), salah satu syaratnya adalah pembangunan smelter. Mana realisasinya? Sampai hari ini janji itu belum diwujudkan.
Di tahun ini, saat membahas revisi UU No.4/2009 menjadi UU No. 3/2020 tentang Minerba, khususnya terkait pembahasan pasal 170A, tentang batas akhir ekspor konsentrat, saya sebagai anggota Panja RUU Minerba mengusulkan, agar target pembangunan smelter cukup 2 tahun sejak diundangkan.
Namun, pihak Pemerintah tetap mematok waktu 3 tahun, alasannya karena diperkirakan smelter PTFI di Gresik baru selesai tahun itu. Penyusunan UU saja mempertimbangkan kesiapan smelter PT Freeport Indonesia.
Naasnya baru satu bulan UU No.3/2020 tentang Minerba ini diundangkan kembali PT Freeport Indonesia sudah ingin melanggar, memundurkan target pembangunan smelternya.
“Ini keterlaluan. Ibarat pepatah sudah dikasih hati, malah minta jantung. Itu sama saja dengan mempermainkan Pemerintah dan Indonesia sebagai Negara yang berdaulat. Pemerintah tidak boleh menganggap ringan soal ini”, tegas Mulyanto menanggapi sikap Pemerintah terkait usulan PT Freeport Indonesia untuk meminta relaksasi target pembangunan smelter di masa pandemi Covid-19.
Mulyanto mengingatkan bila target pembangunan smelter yang diusulkan PT Freeport Indonesia itu FI melewati 2023, untuk kedua kalinya perusahaan tambang ini dan Pemerintah melanggar UU No: 4/2009 dan UU No: 3/2020.
“Saya sebagai anggota DPR RI protes keras. Sebab UU dibuat untuk dipatuhi bersama, bukan dianggap ‘sebagai angin lalu’. Ini benar-benar melecehkan Indonesia sebagai Negara hukum.
Karenanya saya mendesak Pemerintah untuk tegas melaksanakan dan mengawal amanat UU No: 3/2020 sebagai perubahan atas UU. No.4/2009 tentang Minerba, khususnya pasal 170A. Pemerintah jangan lembek, apalagi ikut melanggar UU tersebut,” tukas Mulyanto.
Pemerintah harus mengawal kesiapan perusahaan pertambangan membangun smelter. Jika perlu, dibuat satgas khusus untuk mengawal perkembangan proses ini, agar target waktu pembangunan sesuai dengan rencana.Proses pembangunan smelter jangan dilepas begitu saja. Sebab semakin lama pembangunan ini selesai, semakin banyak pula potensi pendapatan negara yang hilang.
Kalau terus seperti ini, wajar kalau DPR menduga ada kepentingan pihak tertentu yang ingin mencari keuntungan ekspor konsentrat dari proses mengulur-ulur waktu pembangunan smelter.
Dijelaskan, PT Freeport Indonesia sudah mengoperasikan fasilitas pemurnian tembaga yang mampu mengolah 300 ribu ton/tahun. Jumlah ini setara dengan 40 persen dari total produksi konsentrat tembaga. Sisanya diekspor dalam kondisi mentah.”Pembangunan smelter baru di Gresik untuk mengolah sisa konsentrat tembaga yang selama ini diekspor dalam bentuk mentah tersebut baru terealisasi sekitar 5 persen. Ini kan lambat sekali”, demikian Dr H Mulyanto. (akhir)