JAKARTA, Beritalima.com– Menyambut Hari Lahir Panca Sila 2020 yang diperingati setiap 1 Juni, Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Dr H Mulyanto M.Eng mengajak masyarakat untuk menghayati nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Panca Sila yang merupakan hasil perenungan dan pemikiran para pendiri bangsa (founding fathers), kata Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI bidang Perdagangan dan Industri tersebut, sepatutnya menjadi landasan moral kehidupan berbangsa dan bernegara.
Panca Sila yang saat ini menjadi dasar negara Indonesia merupakan rumusan paling tepat yang telah dihasilkan para pendahulu bangsa sehingga sepatutnya dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Salah satu wujud penghayatan nilai-nilai Panca Sila adalah menolak ideologi komunisme, marxisme dan leninisme. Panca Sila mengajarkan Ketuhanan yang Maha Esa sehingga sangat tidak cocok disandingkan dengan ideologi-ideologi yang tidak mengakui adanya Tuhan.
“Panca Sila itu antitesis komunisme, marxisme dan leninisme sehingga siapa saja yang menyakini Panca Sila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia harus berani menyatakan secara tegas Panca Sila Yes, Komunisme No!” tegas alumni Program Pendidikan Singkat (PPS) angkatan XV Lemhanas RI.
Mulyanto mengutip istilah ‘jas merah’ dan ‘jas hijau’ untuk menjelaskan sikap yang sepatutnya dipahami masyarakat dalam menghayati nilai-nilai Panca Sila. ‘Jas merah’ atau jangan sekali-kali melupakan sejarah dan ‘jas hijau’ atau jangan sekali-kali melupakan jasa ulama merupakan prinsip dasar untuk memahami spirit Panca Sila secara tepat.
Bung Karno, kata anggota Komisi VII DPR RI itu, dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1 Juni 1945 mengusulkan Panca Sila dengan sila kelima, ‘Ketuhanan Yang Berkebudayaan’.
Namun, Panitia Sembilan dengan ketuanya Bung Karno yang menghimpun kaum kebangsaan dan para ulama, berhasil memantapkan rumusan Panca Sila 22 Juni 1945 menjadi Panca Sila sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta dimana Sila Pertama berbunyi: ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ .
Karena ada elemen bangsa yang keberatan dengan rumusan Panca Sila Piagam Jakarta tersebut, khususnya Sila Pertama dan karena kebesaran hati para ulama, sehingga pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 7 kata dalam Sila Pertama yaitu “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” diubah. “Barulah 18 Agustus 1945, PPKI menetapkan Panca Sila sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD tahun 1945, seperti yang ada sekarang ini,” jelas Mulyanto.
Tiga bulan setelah itu muncul pemberontakan PKI yang tidak puas dengan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Karena itu, menurut Mulyanto, dalam RUU Haluan Ideologi Panca Sila, yang sedang dibahas DPR RI, perlu memasukkan Tap MPRS No: 25/1966 tentang larangan penyebaran faham komunisme dalam konsideran, sebagai penegasan Panca Sila menolak ajaran komunisme, marxisme dan leninisme.
Selain itu Mulyanto minta pasal-pasal terkait ‘Trisila’, ‘Ekasila’ dan ‘Ketuhanan yang berkebudayaan’ dalam Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Panca Sila (RUU HIP) dihapus serta mengembalikan makna Panca Sila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Kalau Panca Sila dapat diperas menjadi tri sila dan eka sila, itu sama saja kita mundur ke 1 Juni 1945. Dan, ini terkesan tidak menghargai perjuangan Bung Karno sebagai Ketua Panitia Sembilan pada sidang BPUPKI, 22 Juni 1945, yang dengan pilu dan sangat memelas kepada peserta sidang untuk menerima Panca Sila Piagam Jakarta. “Dan, kita tidak menghormati kebesaran hati para ulama yang berlapang dada menghapus ‘7 kata’ dalam Sila Pertama Panca Sila’ 18 Agustus 1945,” tegas anggota Badan Legislasi DPR RI ini. (akhir)