SURABAYA, Beritalima.com |
Bagi Ade Putri Verlita Maharani, menjadi seorang ibu bukanlah perkara mudah. Ada banyak hal yang harus dilalui. Belum lagi ketika ibu dihadapkan pada stigma dan tuntutan di masyarakat. Berangkat dari kegelisahan atas persoalan itu, Verlita sapaan akrabnya, tergerak untuk menyebarkan pemahaman seputar lingkungan yang ramah ibu.
Pengamatan Verlita terhadap berbagai persoalan yang dialami para ibu salah satunya bermula dari pengalamannya selama menjadi pengajar di SD Kembang Tanjung, Musi Rawas, Sumatera Selatan tahun 2017-2018. Dia mengungkapkan, orang tua, khususnya ibu, di kawasan itu sebenarnya memiliki atensi yang besar dalam pendidikan anak mereka.
“Sayangnya, ibu-ibu di sana beranggapan bahwa pendidikan mereka tidak tinggi, sehingga merasa tidak ada kapasitas untuk mengajari anak-anaknya. Padahal, belajar bukan hanya perkara akademis saja. Akhirnya, pendidikan cenderung dipercayakan pada pihak sekolah saja. Mereka pun enggan membantu mengerjakan tugas sekolah anak-anaknya,” jelasnya.
Verlita lantas berinisiatif untuk membuat program belajar mengajar di rumah. Hal tersebut dipilih agar orang tua dapat memiliki rasa percaya diri dalam mendidik serta menyalurkan keterampilan yang mereka miliki kepada anak, seperti berkebun, bercocok tanam, memasak, bahkan memancing, dan hal lainnya yang memang dikuasai orang tua.
Satu tahun usai bertugas di Sumatera Selatan, Verlita terjun ke dalam sebuah organisasi filantropi yang fokus pada pengembangan ekosistem pendidikan anak usia dini (PAUD). Keterlibatannya dalam organisasi tersebut kembali membawanya untuk bersentuhan dengan kaum ibu.
Tidak hanya itu, dirinya juga memperoleh pelajaran baru.
“Kebetulan, organisasi ini terletak di pinggiran Kota Batu, Malang. Ketika itu, aku melihat sebuah fenomena yang berbeda. Jika dibandingkan dengan kawasan terpencil seperti Musi Rawas, kaum ibu di perkotaan lebih mau terlibat pada pendidikan anak. Tetapi, mereka cenderung memiliki ekspektasi yang tinggi juga terhadap pendidikan anak-anak mereka. Kadang jadi nggak membebaskan anak untuk menjadi dirinya sendiri,” tuturnya.
Pola itulah yang membuat Verlita penasaran. Menurut alumnus Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga itu, menjadi ibu sejatinya sangat menarik. Sebab, ibu adalah individu yang bersentuhan langsung dengan anak. Segala hal yang ditanamkan ibu berpengaruh pada tumbuh kembang anak yang kelak akan menjadi calon penerus masa depan bangsa.
“Selama ini, orang berpikir bahwa menjadi ibu adalah kodrat dan sesuatu yang naluriah. Padahal, dalam mendidik anak, ibu memerlukan dukungan dari lingkungannya. Namun, pada praktiknya, ibu masih mendapat stigma dan tekanan sosial bahkan dari orang-orang terdekat. Oleh karena itu, saat ini kami sedang berupaya bersama untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap berbagai persoalan yang dialami kaum ibu,” ujar Verlita.
Verlita mengatakan, masa terberat yang dialami ibu biasanya terjadi selama masa kehamilan hingga setelah melahirkan. Ketika mengandung hingga sang anak lahir, terdapat banyak perubahan yang mungkin tidak disadari oleh orang lain. Salah satunya adalah gejala perubahan hormon dan depresi selama masa perinatal. Selain merasa bingung dengan yang dialami, sebagian ibu juga kerap tidak tahu harus mengadu kemana.
Proses menjadi ibu semakin tidak mudah, saat ibu dihadapkan pada lingkungan yang kurang ramah. Beberapa pertimbangan yang menjadi hak ibu, seperti pilihan dalam melahirkan, menyusui, pengasuhan anak, hingga pilihan untuk meneruskan karir ataupun menjadi ibu rumah tangga seringkali disorot, sehingga membuat sebagian ibu tidak bebas.
“Ketika ibu bercerita mengenai persoalan yang dialaminya kepada suami, belum tentu suaminya mengerti atau memiliki pemahaman yang sama. Begitu pula dengan keluarga besar, justru responnya melumrahkan. Akhirnya, ibu pun menjadi semakin bingung ketika mengalami perubahan yang signifikan dalam hidup dan dirinya. Hal inilah yang kemudian mendasari saya untuk menginisiasi platform sosial Rahim dan Janin (R&J),” terang Verlita.
Bersama ketiga rekannya, Verlita berupaya mengampanyekan lingkungan ramah ibu melalui media yang tidak konvensional, salah satunya adalah tayangan pendek. Pada edisi pertama, mereka menayangkan video seputar pengalaman personal Verlita yang disisipi dengan data-data mengenai berbagai persoalan para ibu dan perempuan pada umumnya.
Selanjutnya, dalam video kedua, R&J mulai mendatangkan sejumlah narasumber seperti pasangan suami istri yang baru menikah, pasangan suami istri yang sudah puluhan tahun menikah, serta dua pasangan ibu dan anak. Pada edisi tersebut, mereka mengusung konsep social experiment, yaitu berbagi surat cinta kepada orang tersayang (ibu atau istri).
“Awalnya, empat pasangan tersebut merasa agak kesulitan untuk menyampaikan surat cinta secara langsung. Tetapi, kami tidak menyangka bahwa hasilnya justru lebih dari itu. Mereka jadi lebih leluasa untuk mengungkapkan secara jujur mengenai apa yang selama ini dipendam kepada satu sama lain. Ada yang menyatakan apresiasi, keluhan atau rasa kecewa. Mereka terbantu karena selama ini susah mengomunikasikannya,” cerita Verlita.
Verlita melanjutkan, meski begitu, dirinya mengakui bahwa pembuatan video dengan mengundang narasumber menjadi tantangan tersendiri baginya. Sebab, pembicaraan yang diangkat merupakan pengalaman personal seseorang sehingga cukup sensitif.
Walaupun belum lama berdiri, R&J mulai mendapat respon yang positif dari masyarakat.
Bulan Januari lalu, Verlita juga menggagas acara R&J untuk yang pertama kalinya, berupa pameran foto, pemutaran film, dan diskusi. Mereka pun melibatkan beberapa pihak seperti psikiater, psikolog, sampai orang-orang yang berkaitan dengan isu perempuan dan anak. Kegiatan itu dikemas dengan menarik agar tidak terkesan membosankan atau berat.
Verlita berharap agar ke depan masyarakat dapat melihat dan memahami kehadiran sosial platform seperti R&J, khususnya dari segi konten dan topik yang mereka hadirkan. Dengan begitu, masyarakat akan semakin mengetahui berbagai persoalan yang dihadapi ibu, sehingga timbul kesadaran untuk menciptakan lingkungan yang mendukung para ibu.
“Sama halnya seperti yang lain, ibu bukanlah manusia yang sempurna, tapi tiap ibu pasti melakukan yang terbaik. Isu mengenai ibu ini sangat penting. Apalagi, kemarin sempat tercetus Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga. Meski tujuannya positif, namun di beberapa poin terkesan terlalu mengatur ranah privat keluarga,” sebut Verlita.
Perempuan kelahiran Malang itu menguraikan, ada dua pasal yang menurutnya memiliki tujuan positif. Pada pasal 1 ayat 7 misalnya, disebutkan mengenai perwujudan dalam suasana belajar, serta pasal 3 poin D yang mengulas seputar pemberdayaan keluarga. Namun, ada juga sejumlah pasal yang menurutnya masih perlu dikritisi dan ditinjau ulang.
“Beberapa pasal yang perlu dikritisi, antara lain, pasal 77 ayat 2 tentang Krisis Keluarga. Menurut saya, pasal tersebut, cenderung menyudutkan orang tua, baik ayah maupun ibu yang single parent dan memilih bekerja. Justru, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) jauh lebih penting untuk disahkan karena berkaitan dengan KDRT,” pungkasnya. (yul)