MALANG, Beritalima.com|
Penasehat fraksi partai Demokrat DPRD provinsi Jatim DR drs. Agus Dono Wibawanto MHum mengungkapkan keprihatinannya terkait polemik Minyak goreng (MiGor) yang terus menimbulkan korban jiwa. Awalnya, pemerintah memberikan kebijakan HET (Harga Eceran Tertinggi) minyak goreng curah Rp 11.500,- per liter, untuk kemasan Rp 14.000,- per liter. Namun kebijakan tersebut justru menimbulkan kelangkaan Migor. Hal tersebut membuat masyarakat harus antri panjang jika ada penjualan Migor harga pemerintah. Bahkan di beberapa wilayah, antrian tersebut menimbulkan korban jiwa.
Gusdon, panggilan akrab Agus Dono Wibawanto, menyebutkan, Kelangkaan minyak goreng terjadi di berbagai daerah di Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini kemudian menyebabkan harga minyak goreng naik hingga dua atau tiga kali lipat di pasaran. Apalagi, sekarang pemerintah makin tak berdaya. Harga minyak goreng mengikuti mekanisme pasar. Artinya, negara harus tunduk kepada oligarki dan kapitalis. Sungguh ironis dan paradoks. Minyak goreng langka di negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia.
“Pemerintah telah gagal melindungi kepentingan masyarakat, disaat kondisi ekonomi masih belum stabil dan mendekati hari puasa, minyak goreng yang selama ini dibuat langka oleh para produsen minyak dengan alasan ekonomi dunia. Minyak cPO naik, harga minyak goreng curah maupun kemasan semua terkerek naik,” sambung wakil ketua DPD partai Demokrat Jatim ini.
Menurut Gusdon, para kapitalis benar-benar sudah menguasai perekonomian, sektor yang sangat vital buat masyarakat indonesia, yaitu minyak goreng. Pastinya kaum Ibu-ibu akan mengoreksi anggaran belanja rumah tangga hanya untuk membeli migor yang harganya menjadi 3 kali lipat dari harga sebelumnya.
“Padahal harapan masyarakat, pemerintah bisa menekan para pengusaha yang selama ini sudah memanfaatkan tanah air dengan menanam sawit dan membuat mereka sudah kaya raya. Namun tampaknya mereka masih tetap ingin kaya sendiri tanpa mau melihat kebutuhan masyarakat, ini menjadi suatu hal yang aneh bisa terjadi di negara Pancasila tercinta ini,” keluh Gusdon.
“Kita sangat sedih melihat kondisi seperti ini, pemerintah tidak berdaya dan terkesan diatur oleh pemilik modal. Saya berharap masyarakat kembali ke minyak nabati lainya. Manfaatkan potensi yang ada, seperti minyak kelapa, atau minyak-minyak yang lain yang dulu sama mbah-mbah kita sudah di ajarkan untuk selalu memanfaatkan sesuatu yang sudah ada,” tandas anggota komisi B ini.
“Kami menawarkan sebuah rekomendasi untuk mengurangi dan menekan kelangkaan minyak goreng ini, yaitu dengan konversi (beralih) ke minyak nabati. Kita harus bisa memanfaatkan potensi minyak nabati, yang sudah banyak dikonsumsi oleh para pendahulu kita sebelumnya. Minyak nabati ini diantaranya minyak zaitun, minyak bunga matahari, dan minyak alpukat. Selain untuk mengurangi kelangkaan minyak goreng yang berasal dari sawit, minyak nabati juga bagus bagi kesehatan,” tegasnya.
Gusdon menuturkan, Kultur telah mengajarkan kepada kita, bahwa memanfaatkan kebutuhan hidup sebaiknya memanfaatkan ketersediaan sumber daya alam di sekitar kita. Minyak kelapa, dari dulu digunakan nenek moyang kita, bahan minyak ini tidak dipengaruhi oleh musim sehingga kebutuhan minyak goreng selalu tersedia sepanjang masa.
“Meskipun kita ketahui bahwa minyak kelapa di pasaran harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan minyak kelapa sawit. Yang dimaksudkan disini adalah bagaimana jika minyak kelapa yang cenderung stabil harganya ini, tidak hanya difungsikan sebagai bahan bakar energi, namun dapat diproduksi oleh masyarakat sendiri seperti home industri,” tukasnya.
“Yang utama kita merasa sangat prihatin dan berpihak kepada masyarakat yang sangat dirugikan dengan kenaikan yang tanpa batas, dan langsung di lepas ke pasar internasional. Ini gak adil sama sekali,” pungkasnya.(Yul)