Oleh:
Rudi S Kamri
Di tengah silang sengkarut masalah di negeri ini mulai dengan kasus MRS, tragedi Sigi, memanasnya isu Papua dan berbagai masalah lain termasuk berita nyempil kecil tentang pelaporan saya dan FH oleh putrinya Bapak Jusuf Kalla, yang menarik dicermati adalah permainan politik dua kaki yang dimainkan oleh Partai Gerindra. Fenomena ini seolah mendapat ‘blessing’ karena fokus perhatian publik lebih terarah ke masalah- masalah yang tersebut di atas. Jadinya para pemain sinetron politik dua kaki menjadi bebas berselancar memainkan perannya.
Dalam dinamika permainan ‘political games’ sebetulnya politik dua kaki merupakan hal yang biasa-biasa saja. Meskipun terkesan pragmatis dan seperti tidak punya ideologi sikap yang jelas, biasanya permainan politik dua kaki ini sering dimainkan oleh suatu partai untuk main aman di semua sisi. Tidak ada aturan manapun yang dilanggar dalam politik dua kaki, hal ini hanya menyangkut masalah etika politik dan kepantasan.
Untuk kasus Partai Gerindra, mungkin ini salah satu strategi agar tetap mendulang dukungan dari berbagai sumber. Karena mungkin bagi mereka posisi aman dan nyaman mereka di pemerintahan Presiden Jokowi saat ini dirasakan belum bisa menjamin ‘keamanan’ mereka dalam menuju Pemilu 2024 nanti. Makanya saya melihat salah satu Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon aktif mendekati kembali kelompok atau tokoh yang pernah dalam satu perahu dengan Partai Gerindra dalam Pilpres 2019 lalu, meskipun kelompok atau tokoh tersebut saat ini secara nyata berseberangan dengan Pemerintah.
Meskipun usaha merajuk, membujuk gaya manis-manis manja yang dimainkan oleh Fadli Zon dengan sowan ke rumah MRS, hadir secara virtual dalam Reuni 212 dan beberapa narasi yang diucapkan di media massa akhir-akhir ini belum tentu juga mendapat sambutan sepenuh hati dari mereka yang dicoba dirangkul kembali. Karena berdasarkan prediksi saya, luka hati kelompok Islam garis keras ini terasa belum sembuh benar saat mereka serta merta ditinggal Prabowo Subianto untuk bergabung di Pemerintahan Presiden Jokowi. Mungkin mereka merasa ditinggalkan atau dikhianati karena mereka merasa berkeringat bergobyos-gobyos saat mendukung Prabowo Subianto pada Pilpres 2019, meskipun akhirnya kalah dan kalah lagi.
Semua sikap, tindakan dan ucapan seorang Fadli Zon yang kanan-kiri oke, saya yakin tidak dibangun hanya dari dirinya sendiri, tapi pasti ‘by design’ dan merupakan strategi besar dari Partai. Meskipun strategi mereka agak kedodoran dan permainan menjadi berantakan saat terjadi kasus korupsi suap yang menimpa Edhi Prabowo mantan Menteri KKP. Kejadian ini membuat irama permainan menjadi kacau dan bahkan badai citra negatif langsung menghantam ulu hati mereka.
Nah, melihat konstelasi ini kita tinggal menunggu bagaimana Presiden Jokowi menyikapi hal ini. Secara realita politik, suka atau tidak suka keberadaan Partai Gerindra ikut andil menjaga kekokohan fondasi pemerintahan Presiden Jokowi karena kita melihat soliditas partai koalisi pendukung pemerintah agak ambyar akhir-akhir ini. Namun Presiden Jokowi tetap harus waspada dan siaga. Jangan sampai terlena dan seolah melakukan pembiaran ‘sleeping with the enemy’. Jangan sampai juga keberadaannya menjadi destruktif dan seolah Presiden sedang memelihara anak macan dengan memberi umpan daging segar setiap hari.
Inilah kondisi realistis perpolitikan di negeri ini. Memprihatinkan. Karena tidak ada satupun partai politik yang menunjukkan itikad baik untuk tulus menjaga Indonesia. Mereka hanya sibuk memikirkan kelangsungan hidup mereka sendiri dengan beternak suara meskipun harus berkubang di kandang kambing. Apalagi fenomena politik dua kaki yang terjadi saat ini. Memuakkan dan menjijikkan. Rakyat hanya dijadikan alas kaki untuk menopang kenyamanan dan kemewahan bagi para politikus.
Secara nyata pengaruh terhadap kita, aura kehidupan kita menjadi berwarna hitam kelam saat melihat Fadli Zon bernarasi.
Hati-hati, Presiden Jokowi ??
Salam SATU Indonesia
04122020