Okeh M.Mufti Mubarok
Direktur Lembaga Survey Regional (LeSURe)
Pilpres dan Pileg 2019 baru saja usai. Peran dan strategi Muhammadiyah bisa tergambar dengan jelas. PAN yang berbasis Muhammadiyah perolehannya stag dan cenderung turun. Sementara kader kader Muhammadiyah yang mencoba keberuntungan di partai partai lain pun sama stag dan cenderung turun. Sekedar ilustrasi, Muhammadiyah untuk mengusung satu DPD RI 3 kali pemilu gagal dan kader kader untuk legislatif pun banyak yang rontok. Kondisi ini setidaknya dipengaruhi tiga hal.
Pertama, Kapasitas Persyarikatan. Muhammadiyah tetap perlu politik dan akses politik untuk pengembangan persyarikatan. Namun dari pemilu ke pemilu muhammadiyah belum serius untuk akses politik. Terbukti bahwa poltik masih menjadi kajian, bahkan kadang sebagian Muhammadiyah ada yang cenderung alergi terhadap politik. Mestinya dengan pengalaman sudah 1 abad lebih muhammadiyah punya amal usaha atau lembaga adhock yang tugas nya full di politik.
Kedua. Kader Muhammadiyah cenderung elitia dan priyayi di bidang politik. Sahwat besar tenaga minim. Akibat banyak kader muhammadiyah yang ejakulasi dini di politik. Yang pada akhir tertarik pada amal usaha dan menjadi pegawai baik di MD maupun di nagara.
Ketiga. Anyar potensi baik persyarikatan dan kader masih berdiri sendiri. Belum ada akselerasi politik.
Dari tiga fenomana ini, tampaknya Muhammadiyah perlu revitalisasi amal usaha baru di bidang politik.
Pertama. Sejak awal kaderisasi politik harus mandiri dan independen. Artinya menyebar kemana mana dan tidak dimonopoli partai tertentu.
Kedua, Segera buat badan underground yang Terstruktur masih dan sistemik.
Ketiga, Saatnya muahmmadiyah perperan aktif dan jangan hanya masih dalam politik praktis.
Jika muhammadiyah serius maka dakwah politik muhammadiyah akan menjadi kekuatan baru di
Indonesia
Salam fastabikul khoirot