JAKARTA, Beritalima.com– Politisi senior PDIP, Effendi Simbolon merasa keberatan dilakukan pemilu serentak jika alasannya hanyalah soal penghematan anggaran. Terlebih, penghematan itu sudah masuk dalam tahap debat capres yang dimodali pihak swasta.
“Demokrasi itu mahal. Kalau dalam menjalankan pesta demokrasi itu dikatakan penghemat, ini kan lucu. Coba lihat saat memasuki debat pasangan paslon. Semua diatur pihak swasta. Esensinya jadi tidak mengena. Semuanya jadi terbatas,” kata wakil rakyat Dapil Jakarta Barat dan Utara ini kepada awak media.
Mestinya, kata Effendi, saat MK memutuskan Pemilu dilakukan secara serentak Presiden membatalkan jika melihat ekses yang ditimbulkan nantinya.
Apalagi alasan utamanya hanya penghematan. “Hasil dari pemhematan itu menurut saya outputnya sangatN gak banding dengan yang didapat nantinya. Ini negara. Kita sudah memilih demokrasi. Saya bingung melihat apa yang terjadi saat ini,” kata dia.
Di negara besar seperti Indonesia yang berdaulat, tidak bisa dibarengi antara pilpres dengan pileg. Apalagi dibarenginya itu dengan alasan penghematan.
“Saya jadi ngak paham di mana berdaulatnya kita. Jika semuanya, juga tidak dibiayai oleh negara. Harusnya, biayai inegara, termasuk debat. Berapa sih anggarannya debat. Jika kita hitung sekali debat Rp 2 miliar. Lima kali cuma Rp 10 miliar. Itu kecil dibandingkan biaya negara yang triliunan,” kata Effendi.
Akibat debat itu dibiayai swasta, yang terlihat menjadi diatur-atur. Ada suporter yang tak ngerti apa-apalah, moderator ancam-ancam keluarkan suporter. “Saya katakan lagi. Ini esensinya ngak kena. KPU juga jangan mau diatur-atur.”
Dia menganggap acara debat sampai saat ini, bukan arena beradu visi dan misi, tapi lebih kepada kampanye. “Moderatornya juga aneh. Pake ngusir-ngusir. Ini lucu. Kalo mau lucu-lucuan. Kenapa ngak sekalian kalo Olga masih hidup, Olga aja jadi moderator.”
Ada yang aneh lagi. Baru di Indonesia ini ada lawan tanding di pilres mengapresiasi pataha. Malah Patahana yang menyerang. Aneh lagi.
Terus tentang perhitungan suara. KPU akan menghitung hasil pilpres dulu baru pileg. Berangen itu sekarang sudah ada slogan-slogan dari dua kubu, “perang” dan “jihad”.
“Jika, nanti terjadi rusuh. Terus pileg belum dihitung. Nah, tidak jadi lah presiden itu. Ya, tapi mudah-mudahan sih tidak. Itu cuma analisa saja. Kita juga sudah bicara menkumham untuk hitungan pileg dulu,” kata dia.
Jadi, kata Effendi, intinya pemilu serentak yang akan dilakukan demi alasan penghematan ini, jauh dari kualitas yang diharapkan. Esensi yang diharapkan tidak akan mengena. (akhir)