JAKARTA, Beritalima.com– Politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Komisi VII DPR RI, Dr H Mulyanto meminta Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara bertahap mengurangi bauran Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara.
Malah wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten itu mendorong Pemerintah mulai menggunakan sumber energi alternatif sebagai bahan bakar untuk PLTU. Alasannya, selain karena aspek lingkungan, harga batu bara juga mulai merangkak naik.
Permintaan Mulyanto yang disampaikan kepada Beritalima.com, Kamis (28/1) berkaitan dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Dalam draft revisi RUPTL 2021-2030, Pemerintah masih tetap memasukan opsi pembangunan PLTU. Bahkan Sampai 2024 kontribusi PLTU masih terus naik, mencapai 70 persen dari total bauran energi listrik nasional. Baru setelah 2024 kontribusi PLTU terhadap bauran energi perlahan turun.
Doktor Nuklir lulusan Tokyo Institute of Technology (Tokodai), Jepang itu mengakui, untuk saat ini kebutuhan terhadap PLTU berbahan bakar batu bara memang tidak terhindarkan. Alasannya, karena tingkat kebutuhan listrik nasional sangat tinggi. Karena Indonesia terdapat tambang batu bara dalam jumlah cukup besar, dengan demikian pemanfaatan batu bara di PLTU diakui membuat Biaya Pokok Pembangkit (BPP) PLTU menjadi sangat efisien dan murah.
Di saat negara lain mulai menghentikan pembangunan PLTU, di Indonesia justru sejak 2015 malah mulai membangun pembangkit jenis ini secara masif sebagai implementasi proyek 35.000 MWe. Proyek itu dibuat dengan asumsi pertumbuhan kebutuhan listrik mencapai 7-8 persen.
“Namun, nyatanya demand listrik kita sebelum Covid-19 hanya tumbuh di bawah lima persen dan makin merosot setelah musibah Covid-19 melanda Indonesia. Hari ini kondisi demand listrik belum beranjak baik. Menteri ESDM menyebut saat ini terjadi surplus listrik hingga angka 60 persen,” jelas Mulyanto.
Ditambahkan, berdasarkan data triwulan III 2020 diketahui beban bahan bakar listrik PLN (non-IPP) masing-masing untuk air, batu bara, panas bumi, gas dan bbm adalah masing-masing 23, 419, 832, 1035, dan 1878 Rp/kWh. Setelah energi air, sumber energi batubara adalah yang termurah. Hanya seperempat dari biaya beban pembangkit listrik berbahan bakar BBM.
Apalagi di tengah tekanan keuangan PLN, dimana utang perusahaan sudah hampir mencapai Rp 500 triliun, peran pembangkit yang efisien dan murah seperti PLTU ini masih diandalkan. Karenanya memang masih dapat dimaklumi bila PLTU masih dibutuhkan dalam jangka pendek-menengah.
Mulyanto mendesak Pemerintah, ke depan secara perlahan namun pasti, untuk mulai menurunkan kontribusi PLTU ini dalam bauran energi listrik nasional dan menggantikannya dengan Energi Baru Terbarukan (EBT), sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN).
“Terkait dengan proyek 35.000 MWe, yang terutama dari jenis PLTU, ini harus dijadwal ulang sesuai kondisi demand yang ada, agar tekanan surplus listrik tidak semakin kuat,” demikian Dr H Mulyanto. (akhir)