JAKARTA, Beritalima.com– Walau Pemilihan Umum (Pemilu) serentak baru dilakukan 17 April mendatang tetapi politisi senior, Firman Subagyo dan Effendi MS Simbolon sudah melontarkan uneg-uneg mereka kepada awak media.
Mereka ingin pemilihan presiden dan legislatif tidak digabung seperti saat ini. Keduanya ingin pemilu seperti sebelumnya dimana pemilihan legislatif dilakukan lebih awal, setelah itu dilangsungkan pemilihan presiden dan wakil presiden.
Harapan itu mereka sampaikan dalam diskusi bertema “Tenggelamnya Caleg Ditengah Hiruk Pikuk Pilpres” di Media Center Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (28/3).
Selain Firman dan Effendi, juga tampil sebagai nara sumber pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indnesia (LIPI), Muhammad Khoirul Muqtafa dan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI 2019, Manik Marga Mahendrata.
Menurut Effendi Simbolon, tingkat kerumitan pilpres dan pileg dilakukan secara serentak begitu tinggi. Tingkat kesulitan memilih saja sudah menjadi masalah karena ada lima surat suara yang akan dipilih. Belum lagi teknis penghitungan suara yang membutuhkan waktu cukup lama.
“Di ruangan ini (wartawan yang menjadi peserta diskusi -red) saja jika kita simulasi, yakin 50 persen belum ngerti. Jangan salahkan pemilih. Kerumitan ini kita yang membuatnya,” kata Effendi Simbolon.
Karena itu, anggota Komisi I DPR RI ini setuju kalau pemilu pemilihan legislatif dengan pemilihan presiden dipisahkan. “Bukannya harus, tapi seharusnya. Kita harus sadar. Menurut saya, bagi kita orang Indonesia, belum kebutuhanlah demokrasi itu. Jujur sajalah,” kata Effendi.
Dia juga heran dengan demokrasi yang terapkan Indonesia sekarang. “Demokrasi model predator seperti ini sudah ngak jelas. Jadi, kita yang memilih demokrasi dibilang seperti ini,” jelas dia.
Sedangkan Firman Soebagyo dari Fraksi Partai Golkar menyebutkan, fakta yang ditemuinya di lapangan bahwa pemilu serentak itu masih banyak kelemahannya.
Masyarakat tidak melihat pileg dan pilpres ini sama-sama penting. “Pada hal keduanya sama-sama penting. Pilpres menangani pemerintahan dan pileg menangani persoalan di legislatif yaitu membuat regulasi, kebijakan anggaran dan fungsi pengawasan.”
Kondisi itu, kata Firman, juga didukung media, baik cetak, elektronik dan media sosial sehingga dalam pemilu serentak ini kecenderungannya pemilu legislatif sudah dianggap tidak penting .
“Pada hal, justru pemilu legislatif jauh lebih penting. Soalnya, pemilu legislatif memilih calon-calon anggota DPR yang akan menjadi regulasi yang menjadi dasar aturan hukum dalam tata kelola pemerintahan dan negara.
Firman menyebut, UU Pemilu yang menjadi dasar hukum pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 ini merupakan musibah. “UU Pemilu ini musibah. Karena memang tidak pernah disimulasikan sedemikian rupa sehingga dampaknya sekarang. Nyaris yang namanya pileg tak tersentuh media.”
Kesimpulan sementara, kata pimpinan Komisi II DPR RI ini, pemilu seperti ini tidak boleh dipertahankan. “Ke depan harus kita rubah, agar lebih efektif dan efisien. Tujuannya kemarin pertama kali undang-undang diundangkan itu kan agar pemilu itu lebih efisien, jangan dilihat dari isis uangnya,” ulas dia.
Supaya lebih efektif dan efisien, pemilu legislatif secara serentak yaitu memilih DPR RI, DPRD provinsi kabupaten dan DPD RI. Kemudian Pemilu eksekutif secara serentak memilih presiden, kepala daerah.
Dengan demikian, pemilu itu hanya terjadi dua kali. “Kalau itu terjadi maka terjadi efisiensi yang sangat luar biasa dan itu akan lebih efektif untuk menurut pandangan saya,” demikian Firman Subahyo. (akhir)