Ponikem, Satu-Satunya Veteran ‘Ganyang Malaysia’ Asal Madiun

  • Whatsapp

MADIUN, beritalima.com- Sorot matanya masih tajam. Bola mata di balik kacamata itu masih menyiratkan ketegasan. Dialah Ponikem (74), salah satu anggota pasukan Sukarelawati Brigade Tempur saat konflik Indonesia-Malaysia, asal Kota Madiun, Jawa Timur. Nenek ini masih ingat betul betapa ia bersemangat membela negara yang dicintainya.

Ponikem, anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Markas Cabang Madiun dengan Nomor Pokok Veteran (NPV) 12.089.705 itu juga masih ingat saat ia harus berpatroli di sepanjang pantai Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, pada tahun 1964-1965. Selama hampir dua tahun, ia menjadi satu dari sekitar 300 sukarelawati bantuan tempur untuk Brigade Tempur Dwikora yang siap menghancurkan musuh yang datang ke bibir pantai.

Ditemui saat Peringatan HUT Ke-61 LVRI Cabang Madiun, Selasa (30/1/2018), warga Gang Bali, Kota Madiun ini menyebut, saat itu ia memang mengajukan diri sebagai pasukan tempur bersama salah satu gadis tetangganya. Tahun 1963, Ponikem yang bertubuh mungil bersama kawan sepermainan di Jakarta masuk ke Pusdiklat TNI di Kramat Jati.

“Selama beberapa bulan kami digembleng di sana. Belajar menembak dan semuanya. Lalu kami pun diberangkatkan ke Tanjung Balai Karimun. 300 orang itu lengkap, mulai dari pasukan infanteri seperti saya, pasukan para (parasut) sampai bagian administrasi,” kenang Ponikem.

Saat itu, lanjutnya, ia begitu bangga dengan seragam tempurnya. Mulai dari helm tempur baja luar dalam, kopelrim, pelples lengkap dengan sepatu larsnya. Tentu saja dengan baju tempur serba hijau mirip Kowad. Ia juga dilengkapi dengan senjata yang mungkin hampir setinggi dirinya, yakni senapan M1 Garand.

“Kami ditugasi menyisir pantai. Lebih dari lima kilometer kami membuat parameter dan berpatroli. Senapan Garand selalu ada di sini,” ucapnya sambil menepuk bahu kirinya.

Waspada dan tak boleh lengah sekalipun. Bersama pasukan dalam kode Dwikora, ia mengamankan pantai-pantai di Indonesia yang rentan dimasuki pasukan asing saat terjadi konflik dengan Malaysia.

“Saat itu memang lagi ramai-ramainya ‘Ganyang Malaysia’. Maka kami dikirim ke sana untuk mengamankan,” ujarnya.

Meski lebih berat dari senapan Lee Enfiled (LE) yang selalu jadi senapan latihannya, M1 Garand tak pernah lepas dari bahunya. Bahkan, di kawasan yang dipertahankannya, ia, sukarelawan dan sukarelawati lannya serta para anggota Kowad dan tentara lainnya tidak jarang berlatih senjata yang lebih berat.

“Kami juga latihan dengan PSO (senjata Penangkal Serangan Udara). Ya berat tapi bisa, kan diajari,” ujarnya sembari mengangkat jempol seperti sedang menekan picu senapan khusus untuk menembak pesawat.

Satu yang disyukurinya, saat berpatroli ia tidak pernah terkena halangan. Ular atau binatang liar yang belakangan ia ketahui sering berkeliaran di Tanjung Balai Karimun tak pernah menghampirinya. “Kalau sekarang mungkin ya ngeri juga. Dulu enggak ada perasaan takut sama sekali,” ulasnya.

Konflik Indonesia-Malaysia belum sempat pecah saat pasukan Dwikora akhirnya ditarik kembali ke Jakarta karena terjadi peristiwa pemberontakan G 30 S/PKI.

“Akhirnya kami kembali ke daerah masing-masing. Saya kembali ke Jakarta karena memang ikut kakak di sana. Lalu saya ke Madiun mengikuti suami,” ungkap nenek lima anak 13 cucu ini.

Penugasan inilah yang membuatnya mendapat penghargaan dari pemerintah. Ia mendapat kehormatan sebagai veteran pembela kemerdekaan pada tahun 1995. Saat ini ia adalah satu-satunya veteran perempuan yang bukan berasal dari TNI di Madiun.

“Anak muda sekarang juga bisa membela negara. Tidak perlu angkat senjata kayak saya. Jauhi narkoba dan pergaulan bebas. Membela negara dengan cara itu agar negara ini maju,” pungkas Ponikem, sang veteran wanita pembela kemerdekaan. (Kominfo).

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *