Oleh: Dr. Adi Suparto, M.Pd
Pandemi covid-19 telah memporak-porandakan kehidupan manusia secara sosial-ekonomi diseluruh dunia, tanpa terkecuali kehidupan masyarakat di Indonesia. Saat ini Pemerintahan Indonesia telah memasuki fase kedua gelombang penularan covid-19, yang telah mewacanakan era “New Normal”, atau era transisi ke kehidupan kenormalan baru.
Namun,setelah diwacanakan ‘new normal’ dan pembatasan berskala besar (PSBB) transisi selama 14 hari, kurva peningkatan korban positive malah semakin meningkat.
Maka dari itu, dalam mengatasi keadaan ini, pemerintah harus mengantisipasi adanya konflik dan kerusuhan sosial akibat pandemi Covid-19 yang berpotensi terjadi di Indonesia.
Dampak wabah ini begitu terasa, terutama terhadap kondisi ekonomi masyarakat secara luas, ada potensi yang cukup signifikan yang mengarah pada konflik sosial dan sekaligus kerusuhan sosial.
Ada sejumlah faktor dominan yang diprediksi sebagai menyebabkan terjadinya konflik sosial, di antaranya adalah perebutan sumber daya. Ketika sumber penyangga ekonomi masyarakat menghadapi masalah, maka perebutan akses dan penguasaan sangat mungkin terjadi, ini yang kita kawatirkan bersama.
Saat itulah, konflik sosial akan meletus, misalnya perebutan akses sumber kebutuhan pokok yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat terganggu, seperti kebutuhan beras, gula, telor, minyak goreng dan lain-lain macet atau terjadi kelangkaan.
Faktor berikutnya, ketika struktur sosial masyarakat paling bawah mulai tidak berfungsi. Misalnya peran tokoh masyarakat mulai berkurang karena mereka sendiri pun mengalami kesulitan ekonomi dan tak bisa lagi mengurus masyarakat. Kekosongan kepemimpinan kultural pun tak bisa dihindari.
Dalam konflik sosial masih ada ruang kontrol, misalnya dari aparat penegak hukum. Namun jika yang terjadi kerusuhan sosial, aparat penegak hukum dalam situasi yang sama sekali tak bisa efektif bekerja, kerusuhan sosial seringkali terjadi karena kelaparan yang meluas, kelangkaan bahan pokok kebutuhan dasar, serta ketidakadilan yang meluas, di sisi lain, publik kehilangan kepercayaan terhadap kekuasaan sehingga merasa seperti tak ada harapan. Ujungnya, mereka berbuat rusuh mengambil yang bukan miliknya untuk memenuhi kebutuhan dasar, Situasi ini (chaos) pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1998.
Kondisi itu bisa terulang kembali terjadi di Indonesia, jika pada bulan Agustus, September-Oktober mendatang pandemi ini belum menurun, karena daya tahan pergerakan ekonomi pelaku usaha menengah dinyatakan hanya bisa bertahan sampai di bulan Juni, sedangkan pedagang kelas bawah paling kuat hingga bulan puasa pada mei-juni (akhir bulan ini), solidaritas masyarakat untuk terus saling berbagi juga akan berkurang karena kemampuan ekonomi mereka juga menipis. Ketersediaan pangan pun jadi persoalan, sebagian petani padi mungkin tak akan memiliki cukup biaya untuk kembali menanam pada Juli nanti. Sedangkan cadangan pangan Bulog hanya tahan untuk tiga bulan saja.
Pemerintah dan elite kebijakan yang diambil malah terlalu mengedepankan kepentingan ego, oligarki politik, dan ekonomi yang bisa memicu menguatnya ketidakpercayaan publik, sikap para elite tersebut berbahaya. Perlu ada strategi antisipasi yang jitu dari seluruh pemangku kepentingan untuk siap-siap menghadapi situasi itu. Kalau tidak, siap-siap pula untuk menerima dan mengambil keputusan pahit dari situasi ini.
Masyarakat sangat rentan diliputi dengan prasangka. Jika prasangka ini dominan, maka yang muncul adalah ketegangan hingga bisa berujung pada konflik sosial. Lebih lanjut, faktor-faktor lain seperti ekses pemilihan presiden 2019 bisa muncul kembali.
(Penulis: Pengamat Kebijakan Publik / Wartawan BeritaLima)